Pages

Sunday, June 7, 2020

CERITA DI KILOMETER 44


Hari ini, usiaku bertambah (atau berkurang?). Jika dihitung, sudah 44 tahun aku hidup dan berproses di dunia ini. Entah berapa ratus film yang sudah aku tonton. Yang terakhir, tadi jam 23.30, berjudul "The Visitor," Betapa aku sangat menyukainya. 

Tak pernah menyangka aku bisa menikmati hidup penuh liku-liku. Dididik dalam tradisi Islam-Sunni yang relatif ketat, termasuk dengan aneka pengalaman yang ada di dalamnya. Tanpa pernah merasa akan berada dalam sebuah situasi di mana aku mulai mempertanyakan doktrin-doktrin klasik  yang telah lama terinstal.

Masih terasa sekali memori betapa aku merasa tidak senang dengan orang yang  berbeda agama, khususnya Kristen, dan juga Tionghoa. Memori masa kecilku yang sering mengolok waria dan ikut sekumpulan orang dewasa memburu anjing --untuk dibunuh ramai-ramai, masih juga mengendap di otakku. 

Aku sungguh bersyukur dengan memori tersebut, yang telah menjadi modalitasku untuk bisa berdamai dengan hal-hal tersebut, pada akhirnya. 

Tuhan memang penuh teka-teki. Bagaimana tidak, aku kini malah justru didekatkan dengan hal-hal yang dulu aku takuti dan benci. Lebih dari separuh teman FBku beragama Kristen/Katolik. Bergaul dengan transgender, keluar-masuk gereja, adalah aktifitas yang cukup dominan, setidaknya dalam 15 tahun terakhir ini. Yang lebih "parah," sudah dua semester ini aku mengampu kelas di mana 95% mahasiswanya adalah Tionghoa. 

Aku bersyukur atas hidupku, atas setiap hal yang telah dianugerahkan padaku. Termasuk anugerah bisa nongkrong di warung kopi dan online tiap hari. Ke pasar, bersepeda, belanja, masak, membaca dan menulis apapun yang aku inginkan. 

Mungkin hidupku lebih mirip bapakku --lelaki yang bisa dikatakan punya kekurangan dalam kepiawaiannya berbisnis. Tidak seperti ibuku. Bapakku orang politik. Waktunya dihabiskan untuk rapat, mengetik, dan mengarsip file ---ketimbang berbisnis. 

Pada tahun itu, 80an, saat aku kecil, ia berseberangan dengan Golkar. Otomatis ia tidak suka dengan Soeharto. Ia mungkin tidak menyadari bahwa anaknya ini, laki-laki yang sedang menulis ini, lahir pada tanggal yang sama dengan orang yang dibencinya. 

Kalau ingat pak Harto, aku jadi ingat seseorang. Orang besar dengan nama sangat mentereng, melampaui Puncak Himalaya. Ia meninggal sama dengan tanggal aku lahir, 8 Juni. 

Kematiannya bisa dikatakan tragis. Mungkin itu sebabnya tidak dirayakan layaknya orang besar.

Mungkin sekitar 2-3 hari sebelum meninggal, ia jatuh sakit. Tidak diketahui secara persis apa sebabnya. Namun dari informasi yang tersedia, ia sakit sehabis memakan daging yang dimasak seorang perempuan Yahudi. Kabarnya, daging itu dibubuhi racun olehnya, dengan sengaja. 

Perempuan ini melakukannya didorong keinginan balas dendam atas apa yang dianggapnya telah dilakukan laki-laki itu, tidak hanya terhadap ayah dan saudara-saudaranya, namun juga kelompoknya. 

Laki-laki itu dianggap bertanggung jawab atas kematian mereka saat menyerang desanya. 

Sewaktu perempuan tersebut ketahuan meracuninya, para pengawal laki-laki itu langsung meminta izin untuk membunuhnya. Namun izin tidak diberikan. 

Laki-laki itu terus berjuang dengan rasa sakit yang dialaminya. Ia begitu menderita akibat daging tersebut. Tubuhnya limbung tak berdaya. Ia kemudian memilih tinggal bersama salah satu istrinya, yang sangat ia sayangi. Hingga akhirnya meninggal, dipelukan sang istri. 

Yang menarik, sebelum meninggal, ia berpesan dengan nada marah agar para pengikutnya bertindak keras terhadap orang Yahudi dan Kristen. Sangat mungkin pesan itu muncul akibat kondisinya yang tidak sehat. 

Entahlah. Namun uniknya, hingga saat ini negara di mana ia dilahirkan masih steril dari pemeluk dua agama tersebut, persis seperti desaku. 

Inilah kisahku. Di titik yang ke-44. 

Selamat ulang tahun, untuk diriku sendiri.

No comments:

Post a Comment