Aplikasi Injil berbahasa Minangkabau seketika lenyap dari playstore setelah surat Gubernur Sumatera ramai di media sosial.
Siapapun pejabat publiknya ---apalagi selevel menteri-- sepanjang KTPnya tidak Islam, akan mengkeret jika disomasi untuk urusan yang dianggap sensitif.
Pancasila, UUD 45, UDHR, dan aneka kovenan yang menjamin kesetaraan dan kemerdekaan ekspresi keagamaan, minggir dulu. Fokus utama Menteri, bagaimana agar si Bungsu di Sumatera Barat yang susah dewasa berhenti tantrum karena fobia.
Ini tidak berarti sang menteri takut, namun sebaliknya, aku melihat ia merupakan kakak yang sangat perhatian pada adiknya. Tidak tega melihat si bungsu kepanasan melihat ada alkitab berbahasa Minang. Pak Menteri seperti tengah menjalankan perannya sebagai seorang Katolik sejati; work out his own salvation with fear and trembling (Phillipians 2 12).
Benarlah adanya. Orang yang sedang tantrum karena fobia tidak boleh dibully, dimaki, dicemooh atau dikritik. Itu sangatlah tidak bijak. Semakin ia diperlakukan seperti itu, semakin sulit sembuh, dan yang terparah, semakin lukanya menganga.
Entah tantrum karena fobia atau motif politik elektoral, namun ketakutan terhadap kekristenan adalah nyata. Orang seperti Gubernur Sumatera Barat perlu diajak bicara, dilawat, diajak ngobrol, disowani, terutama oleh PGI atau KWI dengan ditemani ormas Islam Sumbar yang masih moderat --jika ada.
Semakin interaksi antara Islam dan Kristen/Katolik terjadi di sana, semakin besar peluang fobia akan sembuh. Tanpa interaksi yang intensif, Pancasila hanya akan jadi pajangan.
Hal ini tentu tidaklah mudah. Ketakutan dan rasa gentar selalu akan mengiringi hal tersebut. Padahal, dua perasaan itu kerap membuat kita tidak nyaman dan sering memaksa kita menghindarinya.
Pagi ini, aku akhirnya bisa menginstal aplikasi Injil Minangkabau yang sudah raib dari playstore. Dengan cara ini, dan menuliskannya untuk publik, aku merasa telah menghormat Sumatera Barat, sebagai seorang Muslim.
Aku buka beberapa halama aplikasi tersebut dan membayangkan teman-temanku berbicara dengan logat Minang. Aku tertawa-tawa sendiri membayangkannya.
Selanjutnya aku mencari salah satu ayat yang aku kenal. Ayat ini telah lama aku dengar --baik ketika digunakan melengkapi citra rasa humor atau saat khotbah. Ayat ini pula yang menjadi pusat perhatianku sewaktu menonton "Imitation Game," karena digunakan sebagai kunci enkripsi sandi dalam film tersebut.
"Mintaklah, mako angkau ka mana-rimo. Carilah, mako angkau ka man-dapek. Tokoklah pintu, mako pintu ka dibukakkan untuak angkau."
*** warkop pasar pithik
No comments:
Post a Comment