Pages

Friday, July 31, 2020

Soal Berkurban, Kita Perlu Belajar dari Mereka


Kawan-kawan, terima kasih atas ucapan Idul Adhanya. Hari raya kurban.

Kurban dan korban adalah identik.

Di Indonesia, dalam berkorban, aku merasa non-Muslim masihlah tetap sebagai teladan terbaik. 

Berpuluh-puluh tahun mereka tidak hanya dihajar babak-belur namun juga dianaktirikan sedemikian hebatnya. Saat ini bisa dikatakan merupakan masa-masa sulit bagi mereka. Vivere pericoloso. The year of living dangerously

Betapa tidak. Riset terakhir, sebagaimana disampaikan Mirtzner-Muhtadi (2020), menyatakan 52% Muslim, 54% pengikut NU (NU) dan 39% pengikut Muhammadiyah (MU)keberatan dengan rumah ibadah non-Muslim. Sebanyak 52% muslim, 52% NU dan 41% MU keberatan non-Muslim menjadi bupati/walikota. Angka ini relatif konstan untuk keberatan terhadap gubernur non-Muslim 

Sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah rumah ibadah/bangunan sakral milik non-Muslim yang dibuat lumpuh tidak bisa digunakan. Bahkan kadang aku berfikir, seandainya ada gereja dijual karena kesulitan finansial, niscaya akan sangat banyak muslim berlomba-lomba infaq dan sadaqah untuk membelinya. Setelah dibeli, mereka akan ubah menjadi masjid. Mereka akan melalukan itu dengan gembira, tanpa perasaan bersalah sekalipun. Aku berani bertaruh.

Yang mencengangkan, alih-alih membenci dan menyerang balik, non-Muslim senyatanya tetap kokoh berdiri dalam cinta dan keyakinan mereka; berupaya mati-matian mencintai Muslim dan meyakini Indonesia sebagai rumahnya. Edan kan? Sudah diperlakukan sangat buruk namun tetap saja mencintai. They are the number one bucin!  

Maka, bagaimana idealitas Muslim Indonesia memaknai Idul Adha yang usianya sudah lebih dari 1.300 tahun ini? 

Tidak ada pilihan lain, kecuali semua Muslim perlu kembali mengingat perintah agung Allah yang senantiasa dibaca imam shalat Jumat di ratusan ribu masjid setiap minggunya, termasuk hari ini. 

"Sesungguhnya Allah menyuruhmu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarangmu berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu mengambil pelajaran." (QS. 16:90)  

Sederhananya, perintah ini meminta kita agar bertindak adil dan berbuat baik, tidak melakukan hal jelek pada sesama manusia. Ingat; s-e-s-a-m-a -- m-a-n-u-s-i-a. BUKAN HANYA sesama Muslim. 

Bagaimana kita tahu kita melakukan hal itu? Sangat simple, perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Jika kita merasa terganggu dengan bunyi lonceng rumah ibadah agama lain, maka jangan melakukan hal yang sama di masjid/mushalla. Jika kita merasa tersiksa melihat rumah ibadah kita ditolak agama lain maka jangan melakukan hal yang sama.

Sesimpel itu; simpel namun butuh pengorbanan, sebagaimana yang telah mereka teladankan.

Selamat berkorban.
 

Wednesday, July 29, 2020

Misteri 200 Tahun; Antara Abu Janda, Mahfud MD dan Felix Siauw di ILC

Selebriti media sosial, Abu "Permadi" Janda (APJ), tiba-tiba mengagetkan banyak orang yang menyaksikan tayangan ILC TVOn, Senin (5/12) lalu. Ia menyebut angka 200 tahun menyangkut penulisan awal kodifikasi hadits. Saat merespon argumentasi Felix Siaux terkait bendera/panji Islam, al-Liwa al- Royah, APJ nampaknya ingin mematahkannya dengan menyatakan terdapat problem akurasi penulisan hadits, yang baru terkodifikasi sekitar 150- 200 tahun setelah Nabi wafat.

Sayangnya, APJ tidak punya kesempatan menjelaskannya lebih detil di forum tersebut. Lelaki ini makin tersudut saat Prof. Mahfud MD (MMD) mengingatkannya agar berhati-hati dengan statemen 200 tahun itu karena bisa membuat orang marah.

Beberapa hari kemudian, setelah mendapat kecaman hebat di medsos, APB merasa perlu mengunjungi salah habib di Jawa Barat. Nampaknya ia ingin menjernihkan masalah ini. Misteri apa yang sesungguhnya ingin dibuka APJ menyangkut klain 200 tahun ini?

Saya tertarik menelisiknya lebih jauh. Bagi saya, sinyalemen APJ ini bermakna sangat dalam. Begitu dalamnya hingga MMD merasa perlu menanggapinya secara emosional dengan mengatakan pandangan APJ bertentangan dengan pandangan pesantren.

Pertanyaan hipotesis yang sepertinya ingin diajukan APJ kira-kira demikian; jika ada peristiwa hari ini namun laporannya ditulis 150-200 tahun mendatang, sejauh mana akurasi pemberitaannya?

Dalam pandangan saya, APJ sebenarnya ingin mendorong semua pihak berfikir kembali dengan nalar kritis –nalar yang kerap diharamkan ketika berhadapan dengan teks agama.

Dalam teori riak air, semakin jauh dari pusat riak, sebuah gelombang
akan semakin kecil dan habis. Cara berfikir ini bisa diimplementasikan
dalam berbagai studi, termasuk sejarah hadits.

Zubayr Siddiqi dalam salah satu
karyanya, “Hadith Literature: Its Origin, Development And Special Features,” membeber secara benderang sejarah perhaditsan yang diwarnai berbagai praktek tidak terpuji fabrikasi hadits. Praktek ini barangkali yang membuat al-Zurqani (w. 1710) menyatakan Kitab Muwatta’ milik Imam Malik (w. 793), kitab kodifikasi hadits paling awal, hanya memilih ratusan hadits dari sekitar 4.000 – 10.000 yang ia kumpukan.

Pemalsuan ini memang tidak bisa dilepaskan dari kuatnya sosok agung dan berpengaruhnya nabi Muhammad. Hal ini saya yakini
menggoda banyak pihak untuk membawa-bawa figur ini sebagai
legitimasi.

Ibn Hazam, sebagaiman dikutip Siddiqi dari al-Dhahabi (w. 1348 M), menyatakan pemalsuan otoritas Nabi pertama kali berlangsung saat di Madinah, Nabi masih hidup. Saat itu ada lelaki yang datang ke salah satu suku mengaku mendapat mandate dari Nabi.

Kabarnya, dia berbuat demikian karena tengah mengicar perempuan dari suku tersebut. Saat dikonfirmasi langsung salah satu elit suku, nabi membantah dirinya telah memberikan otoritas tersebut. Ketika kekuasaan Islam berada ditangan Abu Bakar dan Umar, pemalsuan hadits yang dilakukan oleh orang murtad meningkat. Itu sebab keduanya sangat selektif terhadap hadits. Abu Bakar dikabarkan pernah membakar 500 hadits yang dianggapnya bermasalah.

Booming hadits abal-abal semakin menggila pascameninggalnga khalifah III Utsman bin Affan. Hal ini disebabkan tajamnya fragmentasi umat Islam seiring menguatnya konfrontasi politik sebagai akibat perpecahan di internal umat Islam. Perpecahan ini terus awet sebagai konsekuensi gagalnya Ali bersikap tegas terhadap para pelaku pembunuh Utsman. Ini skisma terbesar umat Islam yang dampaknya masih terasa hingga kini, yakni ketegangan dua raksasa Islam; Sunni - Syiah.

Perpecahan ini menjalari tidak hanya dalam aspek hukum Islam, namun juga merangsek hingga filsafat, teologi dan aspek lainnya. Dalam konteks ini, hadits menjadi perangkat penting pertikaian, terutama untuk mengungulkan kelompoknya sekaligus menjatuhkan lawan politiknya.

Begitu "produktifnya" hadits mengalami pembiakan, Dr. Mahatir Mohammad pernah menyatakan Bukhari, yang hidup 200an tahun setelah Nabi wafat, mengumpulkan lebih dari 600.000 hadits. Dari ratusan ribu tersebut, dia hanya memilih sekitar 7000an saja untuk dikumpulkan dalam kitab Sahih yang dianggap sangat otoritatif di kalangan Sunni. Itu pun, setelah disinkronisasi agar tidak terjadi duplikasi, jumlahnya menciut jadi 2712 hadits.

Catatan dari al-Amini dalam al-Ghadeer vol. 5 sungguh menarik. Menurutnya, hingga tahun 200 Hijriyah (1858 Masehi), dari total 600.000 hadits, sebanyak 408.324 dianggap hasil fabrikasi oleh 620 pemalsu.

Saya tidak terlaku yakin semua muslim Indonesia tahu mengenai sejarah gelap pemalsuan hadits. Sejarah ini nampak dikunci rapat. Tidak banyak yang tahu karena bersifat tabu.

Egoisme peradaban Islam kontemporer telah sedemikian tingginya hingga memaksa banyak orang merasa jengah jika ada pihak yang mulai mengingatkan soal ini. Alih-alih memberikan ruang diskusi yang nyaman, APJ malah dirisak sedemikian rupa di media sosial.

Saya setuju dengan MMD bahwa hadits yang digunakan, salah satunya oleh kalangan pesantren, telah mengalami proses filterisasi sangat ketat. Dalam pandangan saya, ini sekaligus meneguhkan keberadaan hadits-hadits lain yang bermasalah (sehingga perlu difilter).

Di luar ketelitian mahahebat yang pernah dilakukan Bukhari maupun Muslim, perkembangan kritik-hadits era kontemporer malah menunjukkan perkembangan yang mengejutkan. Adalah Jamal al-Banna, sarjana Mesir adik Hasan al-Banna pendiri Ikhwan al-Muslimin, yang berani melakukan kritik secara terbuka terhadap dua kitab hadits paling otoritatif di kalangan Sunni; Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Melalui karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, "The Cleansing of Bukhari and Muslim from Useless Hadiths," Jamal menilai terdapat 653 hadits bermasalah di dua kitab tersebut. Hadits-hadits tersebut, menurutnya, berkisar tentang hal-hal yang merendahkan martabat perempuan, membelenggu kemerdekaan beragama dan keharaman berpindah dari Islam (murtad), pemaksaan masuk Islam dan penggunaan kekerasan atas nama agama, keajaiban mukjizat Nabi serta cerita-cerita yang tidak logis (Pierce 2012).

Sebelum Jamal, ada juga nama Zakaria Ouzon yang mengeluarkan trilogi karya kritiknya terhadap Bukhari, Muslim dan Imam Sibawayh, salah satu judulnya cukup kontroversial, Jinayat al-Bukhari: Inqadz al-Ummah min Imam al-Muhadditsin --Kejahatan al-Bukhari: Menyelamatkan Umat dari Penghulu Para Ahli Hadis (Novrianto 2008)

Quo Vadis Hadits?
Skandal 200 tahun di ILC telah menggiring semua muslim untuk merenung secara serius saat berhadapan dengan sumber hukum Islam in. Hemat saya, dalam hal ini kita setidaknya memiliki tiga pilihan; mengamini mentah-mentah apapun yang dianggap sebagai hadits dan menggunakannya untuk mengcopy-paste masa lalu ke saat ini (model revivalis-salafis); meletakkan hadits dalam konteks lebih luas sesuai semangat substantif Islam (model rekonstruksionis-reformis); atau menganggap hadits sebagai "anak dari zamannya" yang belum tentu dapat dipakai dengan ukuran saat ini (model dekonstruksionis-kritis).

Sekarang ini, banyak organisasi Islam seperti kroni-kroni HTI telah sedemikian terobsesi mengubah Indonesia menjadi khilafah Islam. Di sisi lain, MMD, APJ, NU dkk. secara tegas menolaknya. Kedua kubu sama-sama mengklaim punya justifikasi hadits. Mana yang benar? Waktu yang akan menguji. Wallohu a'lam

Monday, July 20, 2020

Tentang Tuhan Yang Berbuntut Panjang

Aku tak menyangka. Keterlibatanku sebagai narasumber di webinarnya Srikandi Lintas Iman, Sabtu (18/7), berbuntut agak panjang.

Saat itu aku memaparkan pandanganku seputar kesalihan dan Tuhan. Dan besoknya, aku dichat oleh salah satu orang yang mengaku peserta webinar.


Sebut saja namanya Qibtiyah. Muslimah berkeluarha. Ia tidak menjelaskan detil latar belakangnya padaku. Aku tak keberatan dengan hal itu.

"Saya mendapatkan nomor gus Aan dari Instagram," ujarnya.

Kami selanjutnya berkorespondensi via Whatsapp. Lebih tepatnya, Qibtiyah mengurai kemarahan dan kegelisahannya selama ini. Ia gelisah dengan dirinya dan menuding Tuhan tidak lagi mencintainya.

Ah betapa aku sangat senang ia berani berfikir seperti itu.

Berikut ini adalah percakapan kami. Aku mengedit penggunaan kata yang ia tulis agar sebisa mungkin bisa lebih dipahami maksudnya.

Salam.

Aan

-----

19/7/2020 Qibtiyah:
Assalamualaikum Gus, perkenalkan nama saya Qibtiyah. Saya adalah salah satu peserta pada Webinar Srili tentang mengenal kesalehan & Tuhan. Saya sangat terpicu oleh diagram yang Gus sampaikan yang terdiri dari kita, agama, sekte & ritual serta kesalihan. Oleh sebab itu saya bertanya apakah mungkin kita mencintai Tuhan tanpa melalui agama, sekte & ritual. 

Jawaban dari Gus tentang Tuhan yang Rahman & Rahim sedikit melegakan saya tetapi itu pula membuat saya tidak bisa tidur tenang karena pikiran-pikiran yang ruwet. Saya seorang muslimah tetapi telah lama saya marah akan konsep ketuhanan. Saya merasa tidak suka atas aturan-aturan yang diberlakukan untuk perempuan. 

Saya kecewa dengan konsep anak berbakti dan istri solehah, seolah-olah seberapapun usaha yg saya lakukan sebagai anak perempuan & istri tidak akan terhitung bila tanpa restu orang tua dan suami. 

Bertahun-tahun saya mencoba menjadi seperti itu tetapi kecewa dan galau terus. Hal ini membuat saya mempertanyakan kasih sayang Tuhan. 

Saya berterima kasih karena Tuhan dengan rencananya mempertemukan saya dengan webinar kemarin. Sebab saya mendapatkan pencerahan atas kegalauan yang telah saya jalani selama 7 tahun ini.

Dua tahun terakhir ini saya memiliki konsep bahwa saya mencintai Tuhan (dalam Islam). Namun saya tidak ingin terikat dengan aturan-aturan yang saya pikir sangat patriarki dan mengekang kehidupan saya -- baik sebagai anak yang terus-menerus dituntut berbuat apapun atas nama berbakti pada orang tua dengan mengabaikan perasaan saya sebagai seorang anak, maupun sebagai istri. 

Saya muak dengan semua penindasan yang dilakukan --atas nama istri harus solihah agar mendapat ridha seorang suami. Saya diwajibkan harus tabah menerima semua perilaku buruknya kepada saya. 

Saya marah, Gus. Marah dgn Tuhan. Saya merasa Tuhan tidak adil. Saya begitu mencintaiNya, melalukan apa yg diperintahkanNya sesuai apa yg diajarkan sejak kecil, mati-matian. Tapi Tuhan malah menempatkan saya  di titik terendah. 

Saya enggan melakukan itu semua lagi. Saya terus-menerus mempertanyakan aturan-aturan itu, Gus, hingga titik konsep ketuhanan yang saya rumuskan semdiri saat ini;  bahwa saya bisa tetap mencintaiNya tanpa perlu terikat pada aturan-aturan dan ritual-ritual itu. 

Saya tetap mencintai Tuhan Islam saya Allah SWT tapi menolak semua penindasan terhadap diri saya atas nama aturan danritual. Beberapa org mengatakan saya sesat karena saya hanya Islam di KTP tanpa menjalankan ritual-ritual dan hukum keagamaan secara menyeluruh.

Namu saya merasakan kedamaian, Gus. Damai dalam hati saya. Saya lebih bisa mencintai Tuhan tanpa beban, menerima manusia dengan welas asih dan mentolerir semua perbedaan yang ada. 

Karena itu saya ingin bertanya pada Gus, apaka keIslaman saya memang tersesat? Apakah saya tidak pantas mendeklarasikan diri saya Islam tanpa menerima semua aturan-aturan dan konsep-konsep perempuan dalam Islam? 

Mohon pencerahannya Gus. 

Terima kasih sebelumnya Gus. Oh iya maaf sebelumnya saya memutuskan menghubungi Gus setelah stalking IG Gus semalam dan menemukan kontak ini πŸ˜πŸ˜πŸ™πŸ™


-----


[7/19, 17:20] Aan Anshori: Hai Qibtiyah.. Thank you mempercayaiku membaca keresahanmu. Aku merasa terhormat. 

Apa yang kita rasakan dalam beragama adalah sesuatu yang penting. Itu sebabnya Gusti kabarnya pernah bilang "siapapun yang sudah tahu tentang dirinya maka ia akan mengenalKu,". 

Menurutku siapapun punya kemerdekaan untuk mengenal Tuhannya. Bukan hanya "punya," namun juga harus "merasa merdeka," mendefinisikan model relasinya dengan Tuhannya. Model bertuhan secara personal, menurutku perlu dipikirkan sebagai alternatif tatkala model mainstream tak lagi nyaman diikuti.

Model mainstream adalah kreasi/persepsi manusia/ulama atas Tuhannya. Belum tentu model tersebut satu-satunya yang dikehendaki Allah. 

Ini berarti sangat mungkin kamu marah terhadap Tuhan yang digambarkan oleh model mainstream. Belum tentu Tuhan seperti itu.

Ciptakanlah modelmu sendiri, pastikan outputnya adalah rahmatan lil 'alamin. 

Soal perempuan, ya aku tahu betapa misogini-patriarkhisnya fiqh kita. Aku kadang ketawa sendiri melihat bagaimana mereka/fiqh mengatur perempuan. Mereka mengatasnakan Tuhan mengatur orang lain. 

Dalam bertuhan, merdekakan dirimu ya, sebagaimana Lady Sukayna memerdekakan dirinya sendiri.☺☺☺

http://www.aananshori.web.id/2017/05/lady-sukayna-sejarah-islam-berhutang.html?m=1

-----
[7/19, 18:26] Qibtiyah: Wah terima kasih Gus atas responnya. Saya membacanya sambil tersenyum, ada rasa lega. Saya suka dengan konsep merasa merdeka mengenal Tuhan. 

Sejarah tentang Lady Sukayna membuat saya terkagum-kagum bagaimana seorang perempuan di jaman dahulu begitu sangat modern pemikirannya tapi jarang dikemukakan riwayatnya. 

Oh iya Gus, saya dulu diajarkan tentang sejarah penyebarluasan Islam. Menurut pengetahuan saya  bahwa Islam juga disebarluaskan dengan jalan peperangan, dan berbagai film2 (terutama India - maaf saya penggemar India😁) menceritakan bahwa penyebaran Islam menggunakan penaklukan wilayah-wilayah. 

Saya ingin minta pendapat dari Gus bagaimana saya dapat mengenal kembali Islam dari awal dimana hanya ada kedamaian di dalamnya, apakah ada sumber referensi yg bisa sy pelajari?

[7/19, 20:11] Aan Anshori: Iya dong.. Islam disebarkan, kala itu, dengan banyak cara. Yang paling dominan, ya menggunakan kekuatan militer, sejak jaman Nabi. 

Banyak orang Islam yang tidak bisa menerima ini karena mungkin dianggap aib. Namun, facts are stubborn. Banyak kok buku yang mengulas soal ini.

----
[7/20, 14:45] Qibtiyah: Hari ini saya terbangun dengan perasaan yang sangat lega dan bahagia. Terasa seperti lahir kembali. Saya tahu sekarang bahwa Tuhan sangat penyayang & pengasih, yang akan menerima saya apa adanya tanpa tuntutan. Tuhan saya lebih tinggi dan pemurah dari semua aturan-aturan yang yang dibuat atas nama Agama. 

Tuhan yang akan memeluk saya maupun saudara-saudara yang beragama lain maupun tidak beragama dengan kasih sayangnya. 

Terima kasih, Gus. Jika Tuhan tidak mempertemukan sy dgn Webinar kemarin & menguatkan saya untuk mengechat Gus mungkin saya akan tetap melalui hari saya dengan mempertanyakan Tuhan saya. 

Semoga Gus sehat selalu & selama sy belajar kembali tentang Tuhan mudah2an Gus tidak berkeberatan bila nantinya saya bertanya kembali apa-apa yang saya temukan dan membuat resah. πŸ™πŸ™

----
[7/20, 15:06] Aan Anshori: Haii... Duh.. Aku ikut senaaaang.... Senang karena Qibtiyah semakin bisa menemukan dirinya sendiri. God loves us no matter how bad we are. 🌹

Wednesday, July 15, 2020

MERAGU DAN LUCIFER MORNINGSTAR

Siapa saya ini, berani-beraninya membincang Tuhan dan kesalehan di hadapan banyak orang? Saya sendiri  masih ragu dengan kualitas dua hal tersebut dalam diri saya. Namun bukankah kita semua harus terus meragu agar bisa percaya?

Seminggu terakhir ini, saya sedang gandrung menonton serial Lucifer Morningstar di Netflix. Sosoknya secara umumnya dianggap sebagai energi atau kekuatan setara tuhan yang merepresentasi  sisi paling jahat dan mengerikan. Barangkali, penggambaran Lucifer paling "ideal' ada dalam film The Exorcism of Emily Rose.


Namun Lucifer Morningstar (LM) dalam serial Netflix benar-benar memporakporandakan imaji kebengisan dan kekejaman Lucifer --dalam pandangan klasik.

Ia, dengan akses British medok, digambarkan begitu seksi, charming, good-looking, dan pintarnya minta ampun.  Tidak ada satupun perempuan dan gay yang tidak kedodoran jika berhadapan dengannya.

Dalam film tersebut, ia diceritakan kabur dari neraka --tempatnya, dan turun ke Los Angeles. Kekaburan ini merupakan bentuk protesnya pada Sang Ayah (Tuhan); kenapa ia diperlakukan sangat buruk dan semena-mena dengan cara ditaruh sebagai penanggung jawab Neraka. Tempat aneka kebengisan, ketidakmanusiawian, dan angkara murka bersatu padu.

Di Los Angeles, LM menubuh dan mendaging, menjadi manusia dan berinteraksi langsung dengan manusia lainnya. Uniknya, pelan tapi pasti, watak kejam dan jahatnya mulai luntur. Sedikit demi sedikit pria ini berubah menjadi baik dan mengasihi.

Kenapa bisa demikian? Jawabannya sederhana; ia terus dibenturkan dengan realitas-langsung, bukan angan-angan dari langit. Benturan ini laksana tetesan air yang terus-menerus menimpa batu hitam, hingga cekung.

Lucifer Morningstar menjadi perenungan serius bagi saya menyangkut bagaimana kita mempersepsi tentang Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam agama Islam, tuhan Allah dipercaya mempunyai 99 nama. Uniknya, ada beberapa nama yang terindikasi merepresentasi sosok Lucifer klasik. Misalnya, al-dhaar (yang maha menimpakan kemudlaratan), al-Qabith (yang maha menyempitkan), dan al-Mudzil (yang maha menghinakan).

Saya tidak terlalu peduli seberapa banyak kita mau menyematkan nama atau sifat Tuhan yang beraroma negatif. Sebab Tuhan, dalam pikiran saya, punya otoritas untuk memilih --atau tidak memilih-- apa saja yang Ia kehendaki. 

Ia juga tidak butuh dipercayai atau tidak dipercayai oleh cipataannya. Pandangan kita atas keberadaannya, saya kira, tidak akan memengaruhi ketuhanannya.

Semudah itu.
 
Ya, tuhan memang mudah sekaligus rumit. Mudah karena Ia --secara logika-- gampang ditemui. Kapanpun, dimanapun, oleh siapapun. Ia adalah representasi kasih-sayang terbaik gabungan dari orangtua. 

Namun jangan lupa, di sisi lain, Ia juga sekaligus rumit. Sebab, namaNya seringkali dibawa-bawa untuk menghancurkan, menindas, mengkorupsi, bahkan tidak jarang namanya dicatut untuk memperkosa dan melecehkan identitas gender tertentu.

"Wajah baik" tuhan terlihat begitu babak belur dan  sangat direndahkan dengan adanya praktek-praktek di atas, Menghinakan, menyempitkan dan menciptakan kemudlaratan --ketimbang mengagungkan, meluaskan dan merawat kemanfaatan.

Sifat-sifat ini akan selalu ada, sebagaimana Lucifer. Namun saya berharap, akan ada tambahan nama di belakangnya menjadi; Lucifer Morningstar. (*)

Sunday, July 5, 2020

MERABA PERABA

Mau ngompori orang Katolik aaah....

Ini adalah kartun di Peraba III Juli 1968, majalah yang berafiliasi ke Katolik. Kartun tersebut berisi kritikan kepada politisi Islam yang selalu ngotot memasukkan Piagam Jakarta dalam aturan formal Indonesia. 

Kartun tersebut, secara khusus, adalah perayaan "kemenangan," kelompok nasionalis ketika berhasil mengKO kelompok Islam dalam pertarungan Piagam Jakarta di pembahasan GBHN MPRS 1968. 

Aku melihat betapa ekspresifnya Peraba menarasikan gagasannya. Ekspresi ini di mata kelompok Islam dianggap cuka yang dilelehkan di atas luka, sebelum cuka lain disiramkan di tahun berikutnya. 

Cuka ini membuat banyak politisi Islam semakin jengkel terhadap Katolik sekaligus memupuk keyakinan akan kekalahan Islam melawan non-Islam. 

Kelompok Islam pantas meradang atas kekalahan yang tidak terduga ini, setidaknya karena dua hal. Pertama, kelompok Islam sangat yakin mampu memenangkan Piagam Jakarta setelah membabat habis --hingga ke akar-akarnya-- pendukung utama Pancasila non-Piagam Jakarta, yakni PKI. 

Kedua, pada Januari 1966, saat parade harlah NU ke-40, terdapat aneka banner yang diusung. Isinya, seruan agar Piagam Jakarta segera dikompilasi sebagai produk hukum. Menariknya, parade tersebut juga diikuti romo, suster dan para pelajar Katolik. Mereka ikut larut dalam perayaan tersebut. Bahkan dalam parade yang sama di Jawa Barat, kelompok Protestan ikut menyumbang kesenian angklung. Keren tho?

NU-Katolik-Protestan berjalan bersama saat perayaan meski diketahui banyak politisi NU saat itu masuk dalam barisan  pendukung Piagam Jakarta. 

Maka, bisa dibayangkan, betapa nelongsonya saat politisi Islam menghadapi kenyataan --tidak hanya kalah di GBHN, namun juga disentil dengan keras oleh Peraba.


Peraba hanya masa lalu. Ia tidak lagi terdengar sekarang. Padahal suara nyaringnya tengah dibutuhkan saat ini --saat banyak politisi Islam beramai-ramai ingin membangunkan Piagam Jakarta. 

Peraba oh Peraba....


*nyamuknya banyak banget di sini.
** sumber: "Feeling Threatened: Muslim ‐Christian Relations in Indonesia's New Order" ( Mujiburrahman, 2009)