Pages

Wednesday, July 15, 2020

MERAGU DAN LUCIFER MORNINGSTAR

Siapa saya ini, berani-beraninya membincang Tuhan dan kesalehan di hadapan banyak orang? Saya sendiri  masih ragu dengan kualitas dua hal tersebut dalam diri saya. Namun bukankah kita semua harus terus meragu agar bisa percaya?

Seminggu terakhir ini, saya sedang gandrung menonton serial Lucifer Morningstar di Netflix. Sosoknya secara umumnya dianggap sebagai energi atau kekuatan setara tuhan yang merepresentasi  sisi paling jahat dan mengerikan. Barangkali, penggambaran Lucifer paling "ideal' ada dalam film The Exorcism of Emily Rose.


Namun Lucifer Morningstar (LM) dalam serial Netflix benar-benar memporakporandakan imaji kebengisan dan kekejaman Lucifer --dalam pandangan klasik.

Ia, dengan akses British medok, digambarkan begitu seksi, charming, good-looking, dan pintarnya minta ampun.  Tidak ada satupun perempuan dan gay yang tidak kedodoran jika berhadapan dengannya.

Dalam film tersebut, ia diceritakan kabur dari neraka --tempatnya, dan turun ke Los Angeles. Kekaburan ini merupakan bentuk protesnya pada Sang Ayah (Tuhan); kenapa ia diperlakukan sangat buruk dan semena-mena dengan cara ditaruh sebagai penanggung jawab Neraka. Tempat aneka kebengisan, ketidakmanusiawian, dan angkara murka bersatu padu.

Di Los Angeles, LM menubuh dan mendaging, menjadi manusia dan berinteraksi langsung dengan manusia lainnya. Uniknya, pelan tapi pasti, watak kejam dan jahatnya mulai luntur. Sedikit demi sedikit pria ini berubah menjadi baik dan mengasihi.

Kenapa bisa demikian? Jawabannya sederhana; ia terus dibenturkan dengan realitas-langsung, bukan angan-angan dari langit. Benturan ini laksana tetesan air yang terus-menerus menimpa batu hitam, hingga cekung.

Lucifer Morningstar menjadi perenungan serius bagi saya menyangkut bagaimana kita mempersepsi tentang Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam agama Islam, tuhan Allah dipercaya mempunyai 99 nama. Uniknya, ada beberapa nama yang terindikasi merepresentasi sosok Lucifer klasik. Misalnya, al-dhaar (yang maha menimpakan kemudlaratan), al-Qabith (yang maha menyempitkan), dan al-Mudzil (yang maha menghinakan).

Saya tidak terlalu peduli seberapa banyak kita mau menyematkan nama atau sifat Tuhan yang beraroma negatif. Sebab Tuhan, dalam pikiran saya, punya otoritas untuk memilih --atau tidak memilih-- apa saja yang Ia kehendaki. 

Ia juga tidak butuh dipercayai atau tidak dipercayai oleh cipataannya. Pandangan kita atas keberadaannya, saya kira, tidak akan memengaruhi ketuhanannya.

Semudah itu.
 
Ya, tuhan memang mudah sekaligus rumit. Mudah karena Ia --secara logika-- gampang ditemui. Kapanpun, dimanapun, oleh siapapun. Ia adalah representasi kasih-sayang terbaik gabungan dari orangtua. 

Namun jangan lupa, di sisi lain, Ia juga sekaligus rumit. Sebab, namaNya seringkali dibawa-bawa untuk menghancurkan, menindas, mengkorupsi, bahkan tidak jarang namanya dicatut untuk memperkosa dan melecehkan identitas gender tertentu.

"Wajah baik" tuhan terlihat begitu babak belur dan  sangat direndahkan dengan adanya praktek-praktek di atas, Menghinakan, menyempitkan dan menciptakan kemudlaratan --ketimbang mengagungkan, meluaskan dan merawat kemanfaatan.

Sifat-sifat ini akan selalu ada, sebagaimana Lucifer. Namun saya berharap, akan ada tambahan nama di belakangnya menjadi; Lucifer Morningstar. (*)

No comments:

Post a Comment