Selebriti media sosial, Abu "Permadi" Janda (APJ), tiba-tiba mengagetkan banyak orang yang menyaksikan tayangan ILC TVOn, Senin (5/12) lalu. Ia menyebut angka 200 tahun menyangkut penulisan awal kodifikasi hadits. Saat merespon argumentasi Felix Siaux terkait bendera/panji Islam, al-Liwa al- Royah, APJ nampaknya ingin mematahkannya dengan menyatakan terdapat problem akurasi penulisan hadits, yang baru terkodifikasi sekitar 150- 200 tahun setelah Nabi wafat.
Sayangnya, APJ tidak punya kesempatan menjelaskannya lebih detil di forum tersebut. Lelaki ini makin tersudut saat Prof. Mahfud MD (MMD) mengingatkannya agar berhati-hati dengan statemen 200 tahun itu karena bisa membuat orang marah.
Beberapa hari kemudian, setelah mendapat kecaman hebat di medsos, APB merasa perlu mengunjungi salah habib di Jawa Barat. Nampaknya ia ingin menjernihkan masalah ini. Misteri apa yang sesungguhnya ingin dibuka APJ menyangkut klain 200 tahun ini?
Saya tertarik menelisiknya lebih jauh. Bagi saya, sinyalemen APJ ini bermakna sangat dalam. Begitu dalamnya hingga MMD merasa perlu menanggapinya secara emosional dengan mengatakan pandangan APJ bertentangan dengan pandangan pesantren.
Pertanyaan hipotesis yang sepertinya ingin diajukan APJ kira-kira demikian; jika ada peristiwa hari ini namun laporannya ditulis 150-200 tahun mendatang, sejauh mana akurasi pemberitaannya?
Dalam pandangan saya, APJ sebenarnya ingin mendorong semua pihak berfikir kembali dengan nalar kritis –nalar yang kerap diharamkan ketika berhadapan dengan teks agama.
Dalam teori riak air, semakin jauh dari pusat riak, sebuah gelombang
akan semakin kecil dan habis. Cara berfikir ini bisa diimplementasikan
dalam berbagai studi, termasuk sejarah hadits.
Zubayr Siddiqi dalam salah satu
karyanya, “Hadith Literature: Its Origin, Development And Special Features,” membeber secara benderang sejarah perhaditsan yang diwarnai berbagai praktek tidak terpuji fabrikasi hadits. Praktek ini barangkali yang membuat al-Zurqani (w. 1710) menyatakan Kitab Muwatta’ milik Imam Malik (w. 793), kitab kodifikasi hadits paling awal, hanya memilih ratusan hadits dari sekitar 4.000 – 10.000 yang ia kumpukan.
Pemalsuan ini memang tidak bisa dilepaskan dari kuatnya sosok agung dan berpengaruhnya nabi Muhammad. Hal ini saya yakini
menggoda banyak pihak untuk membawa-bawa figur ini sebagai
legitimasi.
Ibn Hazam, sebagaiman dikutip Siddiqi dari al-Dhahabi (w. 1348 M), menyatakan pemalsuan otoritas Nabi pertama kali berlangsung saat di Madinah, Nabi masih hidup. Saat itu ada lelaki yang datang ke salah satu suku mengaku mendapat mandate dari Nabi.
Kabarnya, dia berbuat demikian karena tengah mengicar perempuan dari suku tersebut. Saat dikonfirmasi langsung salah satu elit suku, nabi membantah dirinya telah memberikan otoritas tersebut. Ketika kekuasaan Islam berada ditangan Abu Bakar dan Umar, pemalsuan hadits yang dilakukan oleh orang murtad meningkat. Itu sebab keduanya sangat selektif terhadap hadits. Abu Bakar dikabarkan pernah membakar 500 hadits yang dianggapnya bermasalah.
Booming hadits abal-abal semakin menggila pascameninggalnga khalifah III Utsman bin Affan. Hal ini disebabkan tajamnya fragmentasi umat Islam seiring menguatnya konfrontasi politik sebagai akibat perpecahan di internal umat Islam. Perpecahan ini terus awet sebagai konsekuensi gagalnya Ali bersikap tegas terhadap para pelaku pembunuh Utsman. Ini skisma terbesar umat Islam yang dampaknya masih terasa hingga kini, yakni ketegangan dua raksasa Islam; Sunni - Syiah.
Perpecahan ini menjalari tidak hanya dalam aspek hukum Islam, namun juga merangsek hingga filsafat, teologi dan aspek lainnya. Dalam konteks ini, hadits menjadi perangkat penting pertikaian, terutama untuk mengungulkan kelompoknya sekaligus menjatuhkan lawan politiknya.
Begitu "produktifnya" hadits mengalami pembiakan, Dr. Mahatir Mohammad pernah menyatakan Bukhari, yang hidup 200an tahun setelah Nabi wafat, mengumpulkan lebih dari 600.000 hadits. Dari ratusan ribu tersebut, dia hanya memilih sekitar 7000an saja untuk dikumpulkan dalam kitab Sahih yang dianggap sangat otoritatif di kalangan Sunni. Itu pun, setelah disinkronisasi agar tidak terjadi duplikasi, jumlahnya menciut jadi 2712 hadits.
Catatan dari al-Amini dalam al-Ghadeer vol. 5 sungguh menarik. Menurutnya, hingga tahun 200 Hijriyah (1858 Masehi), dari total 600.000 hadits, sebanyak 408.324 dianggap hasil fabrikasi oleh 620 pemalsu.
Saya tidak terlaku yakin semua muslim Indonesia tahu mengenai sejarah gelap pemalsuan hadits. Sejarah ini nampak dikunci rapat. Tidak banyak yang tahu karena bersifat tabu.
Egoisme peradaban Islam kontemporer telah sedemikian tingginya hingga memaksa banyak orang merasa jengah jika ada pihak yang mulai mengingatkan soal ini. Alih-alih memberikan ruang diskusi yang nyaman, APJ malah dirisak sedemikian rupa di media sosial.
Saya setuju dengan MMD bahwa hadits yang digunakan, salah satunya oleh kalangan pesantren, telah mengalami proses filterisasi sangat ketat. Dalam pandangan saya, ini sekaligus meneguhkan keberadaan hadits-hadits lain yang bermasalah (sehingga perlu difilter).
Di luar ketelitian mahahebat yang pernah dilakukan Bukhari maupun Muslim, perkembangan kritik-hadits era kontemporer malah menunjukkan perkembangan yang mengejutkan. Adalah Jamal al-Banna, sarjana Mesir adik Hasan al-Banna pendiri Ikhwan al-Muslimin, yang berani melakukan kritik secara terbuka terhadap dua kitab hadits paling otoritatif di kalangan Sunni; Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Melalui karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, "The Cleansing of Bukhari and Muslim from Useless Hadiths," Jamal menilai terdapat 653 hadits bermasalah di dua kitab tersebut. Hadits-hadits tersebut, menurutnya, berkisar tentang hal-hal yang merendahkan martabat perempuan, membelenggu kemerdekaan beragama dan keharaman berpindah dari Islam (murtad), pemaksaan masuk Islam dan penggunaan kekerasan atas nama agama, keajaiban mukjizat Nabi serta cerita-cerita yang tidak logis (Pierce 2012).
Sebelum Jamal, ada juga nama Zakaria Ouzon yang mengeluarkan trilogi karya kritiknya terhadap Bukhari, Muslim dan Imam Sibawayh, salah satu judulnya cukup kontroversial, Jinayat al-Bukhari: Inqadz al-Ummah min Imam al-Muhadditsin --Kejahatan al-Bukhari: Menyelamatkan Umat dari Penghulu Para Ahli Hadis (Novrianto 2008)
Quo Vadis Hadits?
Skandal 200 tahun di ILC telah menggiring semua muslim untuk merenung secara serius saat berhadapan dengan sumber hukum Islam in. Hemat saya, dalam hal ini kita setidaknya memiliki tiga pilihan; mengamini mentah-mentah apapun yang dianggap sebagai hadits dan menggunakannya untuk mengcopy-paste masa lalu ke saat ini (model revivalis-salafis); meletakkan hadits dalam konteks lebih luas sesuai semangat substantif Islam (model rekonstruksionis-reformis); atau menganggap hadits sebagai "anak dari zamannya" yang belum tentu dapat dipakai dengan ukuran saat ini (model dekonstruksionis-kritis).
Sekarang ini, banyak organisasi Islam seperti kroni-kroni HTI telah sedemikian terobsesi mengubah Indonesia menjadi khilafah Islam. Di sisi lain, MMD, APJ, NU dkk. secara tegas menolaknya. Kedua kubu sama-sama mengklaim punya justifikasi hadits. Mana yang benar? Waktu yang akan menguji. Wallohu a'lam
No comments:
Post a Comment