Pages

Saturday, August 8, 2020

Saragih Nomor Berapa? 16? 17? 18?

"Aku ucapkan selamat bagi kalian yang sudah sampai pada level ini. Jangan sampai nggak lulus ya. Ikuti setiap prosesnya dengan baik," kataku menyapa peserta katekisasi GKI Pandok Indah Jakarta, Sabtu (8/8).

"....and you should be proud of yourself. Sebab bisa jadi kalian adalah angkatan pertama katekisasi yang sangat unik karena ternodai orang yang dianggap tidak selamat dalam doktrin klasik kekristen," lanjutku tertawa cekikikan di forum.

Aku tidak tahu perasaan mereka kala itu. Niatku hanya guyon. Menertawakan batas-batas teologi antara Kristen dan Islam, yang terkadang sangat nggilani. Nggilani adalah bahasa Jawa dari disgusting. Jika diucapkan dengan penuh emosi a la Jombangan, tulisannya; nggguuuuuuuuilani. 

Menurutku, adalah nggilani jika seorang muslim merasa kecewa atau bahkan marah, saat menemukan teman, saudara atau bahkan pacarnya, memilih keselamatan melalui agama lain --misalnya Kristen. Begitu juga sebaliknya. 

Jika kamu ke Jakarta naik pesawat dan geram,gemes, marah melihat yang lain naik kereta api atau bahkan jalan kaki, pertanyaannya; kamu sehat?

"Gus, gimana pandangannya terkait pacaran beda agama?" kata salah satu satu katekisan. Cewek --entah Tionghoa atau Batak, lupa aku. Aku baru tahu kalau banyak orang Batak di GKI PI.

"Pacaran beda agama itu bagus jika dilakukan dengan kedewasaan tinggi. Namun tentu tidak mudah karena mensyaratkan kedewasaan dua belah pihak," kataku. Tidak banyak orang yang benar-benar sukses berelasi campur oleh karena  niatnya tidak tulus sejak awal. 

"Tidak sedikit pemuda islam yang model beragamanya seperti sales MLM, mencari pacar Kristen untuk diislamkan. Jika ketemu yang seperti ini, sebaiknya hindari. Pikirkan ulang. Cinta  sebenarnya kan memerdekakan, bukan malah menjajah. Just follow your heart," kataku.

Aku senang sekali  berdiskusi dengan mereka. Mengetahui gairah mereka yang menggebu-gebu tentang Islam adalah hal yang menyenangka. Mereka seperti kakak yang terpisah sangat lama dengan adiknya, dan akhirnya bertemu. Jasa Pdt. Joas dan Pdt. Bonnie begitu besar.


"Dik, jihad dan mati syahid itu apa sih?"
"Dik, kabarnya nabimu menikahi gadis di bawah umur. Gimana sih cerita sebenarnya?"
"Dik, gimana sih sebenarnya pandanganmu dan kawan-kawanmu seputar model bertuhan a la tritunggal yang dianut kakak? Tuhanku satu lho, dik, bukan tiga,"
"Dik....
"Dik....

Begitu banyak pertanyaan mengemuka --dari seorang kakak yang telah lama terluka oleh adiknya. Pertanyaan yang tulus campur geregetan.

"Dik, katakan padaku, kenapa teman-temanmu nakal banget kalau ketemu teman-temannya kakak? Kakak harus bagaimana?"

Aku meminta maaf sembari memohon mereka senantiasa tidak kehilangan harapan.

 "Hanya kalian yang bisa menyadarkan. Jika kami tantrum dan kalian menyerah pada kami, nggak peduli, kami tidak akan sembuh. Aku tahu banyak dari kalian yang jengkel, marah dan nggak peduli, bahkan takut. Mari kita berani," kataku.  

Keberanian bagiku bukanlah sebatas menunjukkan rasa tidak takut. Lebih jauh, "Daring is to do what is right in spite of the weakness of our flesh," -- aku mengutipnya dari film The Help. 
***

Meski hanya 1,5 jam namun aku senang sekali bersama mereka. Semoga mereka juga. Aku berharap bisa ketemu mereka kembali.  Jika tidak salah lihat, ada 112 orang yang ikut katekisasi GKI Pondok Indah, Sabtu (8/8), via Zoom. Rata-rata anak-anak muda. Millenial. 

Saat masuk aku langsung disapa Alex, calon pendeta di gereja tersebut yang selama ini bertindak sebagai laison officer. Tiba-tiba muncul seorang perempuan di layar besar zoom. Terlihat senior. Aku menduga ia orang penting di GKI PI. Sekelas penatua. Aku tahu dia Batak dari nama yang tertera. 

"Hai mbak... Apa kabar? Saragih nomor berapa? 16? 17? 18?" aku langsung  menyapanya. Ia terlihat begitu keras mengingat kembali berapa nomor punggungnya.(*)


Laaafff



No comments:

Post a Comment