Pages

Sunday, October 18, 2020

Menderita di Kelas Agama

Sudah tiga hari ini aku menikmati waktu membaca tulisan para mahasiswaku kelas religion. Aku minta mereka menulis bebas, seputar penderitaan yang paling "berkesan," dalam kehidupan mereka.

Bagaimana jluntrungannya hingga tiba-tiba mereka menulis tentang itu? Topik apa sebenarnya yang sedang kami bahas?

Inilah uniknya kelas Religion di salah satu kampus yang barangkali paling mahal seantero Jawa Timur.

Di kelas ini, agama diajarkan secara agak liberal dan progresif. Yang paling kentara, dosen pengajarnya belum tentu punya agama sama dengan mahasiswanya.

Aku misalnya, Muslim-Jawa, mengajar matakuliah ini di kelas dengan populasi Kristen-Tionghoa lebih dari 90%. Sisanya, Tionghoa Katolik, Khonghucu, Buddha, Jawa-Islam, dan yang menyenangkan, beberapa mahasiswaku mengaku atheis. Paling tidak, agnostik.

Itu sebabnya, topik-topik di kelas Religion kami terbilang cukup berbeda dari pengajaran umumnya di institusi-institusi pendidikan. Misalnya, seputar konsep ketuhanan, simbol dan ritual, agama dan sains, kematian, dan tentu saja; penderitaan.

Kelompok yang mempresentasikan penderitaan telah menunaikan tugasnya dengan sangat baik minggu lalu. Presentasinya memantik pembicaraan hangat di dua kelas yang aku ampu.

"Bukannya penderitaan sebenarnya menjadi bukti Tuhan tidak ada? Atau setidaknya tengah mempermainkan kita, guys? Cobalah kita pikir lagi; kalau dia sayang kita, kenapa ia biarkan kita menderita," kata Jon, nama samaran, mulai memprovokasi kelas. Aku langsung ngakak.

Menurutnya, banyak orang beragama merasa diminta Tuhan untuk membelaNya dalam hal ini. Yakni, dengan menyatakan Tuhan ingin kita menganggap penderitaan ini sebagai ujian, bukan ketidakmampuan Tuhan atau ketidakadaan Tuhan.

Pendapat Jon mendapat respon beragama dari beberapa temannya, yang beragama. Uniknya, mereka tidak marah atau memintaku memarahi Jon atas pendapatnya.
Jon dan siapapun di kelas mendapat perlakuan sama dariku; tak peduli mengakui Tuhan atau tidak; tak peduli beragama atau tidak.

Di kelasku, kami sebisa mungkin menganut freedom to believe or not to believe. Justru yang tidak kami anut adalah kebolehan mempersekusi orang yang tidak sama dengan yang lain.

"Dalam kitab suci, potret penderitaan muncul dalam dua gambar besar; yang tampak dan disadari, serta yang tersembunyi dan kadang tidak disadari," kataku.

Contoh pertama misalnya kisah Ayub atau pekerja seks yang dibela Yesus saat dilempari batu orang-orang kampung. Sedangkan contoh kedua, menurutku, adalah mereka yang mendapat peran jelak dan jahat dalam kitab suci.

"Mereka yang sombong, gemar mengumbar kekerasan dan berprilaku melawan keadilan dan kesensitifan, sebenarnya sedang dalam penderitaan," kataku.

Hanya saja, tambahku, mereka tidak menyadarinya. Mereka merusak reputasinya, dan menjadi contoh sepanjang hayat, agar kita tahu hal itu merupakan perbuatan jelek dan kita berhenti menirunya.

Penderitaan selanjutnya aku tautkan dalam narasi postkolonial, betapa cukup banyak dari kita yang dulu menjadi korban dan menderita. Namun ketika sudah merdeka, mereka malah justru balik membuat orang lain menderita.

"Kini, aku undang kalian untuk menuliskan penderitaan yang pernah kalian alami. Ini undangan lho ya. Ndak wajib. Yang nulis akan dapat nilai," kataku setelah aku terlebih dahulu menceritakan salah satu penderitaanku di Stasiun Senen.

Aku awalnya tak menyangka jika undanganku akan direspon dengan riang gembira. Aku tidak tahu apa motivasinya. Bisa jadi soal nilai, namun aku ragu karena ini matakuliah yang "tidak terlalu penting," menurutku.

Hampir semua mahasiswa mengirimkan tulisan refleksi. Ada yang memberi catatan dalam tulisannya; tidak untuk disebarkan, tidak untuk didiskusikan dalam kelas. Untuk bapak saja.

Namun ada juga yang menuliskan ia tidak keberatan kisahnya dipublikasikan; "supaya tidak ada yang mengalami lagi seperti saya," -- kata Joyce, samaran. Perempuan ini beberapa kali ingin bunuh diri, tidak kuat karena menjadi bahan risakan teman-temannya.

Joyce tidak sendirian. Ada banyak yang menjadi korban serupa saat kecil. Dibully karena agama, fisik, atau sikapnya yang pendiam. Aku membacanya dengan perasaan galau dan teraduk.

Ada juga yang menceritakan penderitaannya, nangis hampir seminggu, kala anjingnya mati. Padahal aku berfikir sebaliknya setelah kejadian dua minggu lalu. "Pak, tolong doain Holy ya. Ia tiba-tiba muntah. Saya harus bawa ke dokter. Saya nggak ikut kelas sampai tuntas ya pak," kata Fara

Soal nangis, bukan Fara saja yang mengalami. Beberapa mahasiswi mengaku kerap menangis karena begitu banyak tugas di kampus.

Tugas seringkali memerangkap mereka, tereksklusi dari teman, rutinitas, dan orang tua. "Orang tua saya kerap marah-marah kenapa saya tak lagi membantu kerjaan mereka. Saya sudah katakan namun tidak dimengerti," kata Annabel, juga bukan nama asli.

Namun yang membuat keningku berkerut sembari tersenyum justru ketika membaca tulisannya Judith.

"...dan penderitaan terakhir yang paling berkesan adalah ketika my dad got caught cheating and had a lover. It was such a heartbreaking thing for us cos he’s actually a very bad person and we didn’t know about it. It was so chaotic and my mom was very stressed and was depressed. It was a very dark memory for our family,"

Kisah-kisah mereka mengingatkanku pada Denzel Washington. Dalam The Equalizer 2, pria ini menyatakan; there are two kinds of pain in this world. The pain that hurts, the pain that alters.

Aku percaya mereka berada dalam kuadran kedua.

No comments:

Post a Comment