Pages

Tuesday, November 24, 2020

Gegeran Saksi Ahli di Persidangan Eljibiti (Bag.1)

"Majelis Hakim, dengan melihat kualifikasi yang kami dengar, kami menyatakan keberatan dengan calon saksi ahli yang diajukan Penggugat," kata salah satu perwakilan Tergugat. Aku yang telah duduk di tengah persidangan, di hadapan tiga hakim dan di antara penggugat dan tergugat, agak kaget. "Mudah banget orang ini menganggapku tidak cukup kompeten ngomong soal gender dan seksualitas hanya dengan melihatku kurang dari 10 menit?" rutukku kecut.

Pengacara Penggugat, Maruf Bajamal, langsung merespon keberatan Tergugat. Pria ini menyatakan diriku merupakan aktifis yang telah lama berkecimpung dalam urusan gender dan seksualitas.

"Aktifitas dan pandangannya mengenai gender dan sekualitas, akan sangat berguna bagi persidangan ini untuk lebih mengetahui duduk perkara yang kami ajukan," katanya kepada majelis hakim -- dua lelaki dan satu perempuan.

Ruangan sidang hening. Krik...krik..

Dadaku berkecamuk. Pikiranku membayangkan aku tidak jadi bersaksi di persidangan ini. Padahal sudah berkereta lebih dari 7 jam dari Jombang ke Semarang. Ingatanku tiba-tiba melayang ke pak Mahfud MD ketika gagal jadi wapres, padahal sudah santer dikabarkan media dan dikontak Jokowi langsung. MMD sudah menunggu dekat lokasi pertemuan tempat Jokowi berada, menunggu kabar baik, sampai kemudian diminta menjauh karena koalisi partai meminta Jokowi memilih Ma'ruf Amin.(1)

"Apakah aku akan terusir dari kursi ini?" batinku terus bertanya-tanya. Pandanganku terus menatap ke meja para hakim. Aku melihat ketua majelis hakim tampak berfikir keras. Ia kemudian berbisik sebentar ke masing-masing hakim anggota, kiri dan kanan.

***

Seorang polisi, sebut saja XX, tidak terima dirinya dipecat karena orientasi seksualnya. Ia bukan seorang heteroseksual. Kesatuannya menganggap yang bersangkutan menyalahi kode etik dan tidak layak lagi berproses. XX bersama pengacaranya dari LBH Masyarakat menggugat pemecatan tersebut ke PTUN Semarang.(2) Dari sinilah keterlibatanku bermula, hingga aku duduk di kursi persidangan PTUN Semarang, 18 November 2020.

Sekitar seminggu sebelumnya, sebuah WA dari nomor yang tidak aku kenal masuk ke gadgetku, Pengirimnya seorang perempuan, Aisyah, dari LBH Masyarakat. Ia meminta bantuanku agar hadir dalam persidangan kasus gugatan XX kepada Kapolda Jawa Tengah.

"Saya dapat nomor Gus Aan dari #&&^@*@," katanya sembari menyebut nama temanku, seorang petinggi di Komnas Perempuan.

Aku tidak langsung menyetujuinya. Butuh waktu untuk memikirkannya. Aku memang pernah diuji beberapa kali di ILC dan persidangan akademik saat mempertahankan tesis 4 tahun lalu. Namun, aku belum pernah diuji di persidangan formal yang melibatkan hakim, tergugat dan penggugat.

"Why me? begitu tanyaku pada anak-anak LBH Masyarakat. Aku merasa, masih banyak ahli gender dan seksualitas yang jauh lebih mumpuni dariku. Juga, yang memiliki kemampuan menjelaskannya dalam perspektif Islam.

"Mayoritas sumber-sumber kami mengarahkan ke Gus Aan," kata Maruf.

Aku tentu saja merasa terhormat sekaligus gelisah. Kegelisahanku lebih karena aku tidak memiliki pengalaman secuilpun bersaksi di forum persidangan. Bukankah berbicara di aneka forum pada dasarnya sama saja? Secara teknis iya. Namun secara psikologis, tentulah sangat berbeda. Striker nomor wahid di turnamen sepak bola antarkampung belum tentu moncer saat berlaga di stadion level kabupaten, maupun provinsi. Apalagi jika harus berlaga di Gelora Bung Karno atau Old Trafford.

Sekiranya dua jam kemudian, aku membalas WA Aisyah; tidak keberatan untuk datang. Aisyah kemudian menjelaskan singkat apa yang harus aku lakukan di hadapan persidangan. Intinya, aku diminta menjelaskan pandanganku terkait gender dan seksualitas, termasuk dalam perspektif Islam dan hukum positif ---sebuah hal yang sering aku lakukan di banyak forum

***

"Begini, kami memutuskan menerima saudara calon saksi ahli bisa bersaksi. Jika Tergugat keberatan, itu haknya. Tidak bertanya juga tidak apa-apa. Begitu ya. Untuk itu kami persilahkan saudara calon saksi ahli maju ke depan untuk disumpah. Ikuti perkataan saya," kata ketua majelis hakim.

Aku beranjak dari kursi dan maju ke depan. Di belakangku, ada seorang petugas menyorongkan buku tebal, mirip Al-Quran, dekat kepalaku -- buku yang akan digunakan membela dan melawan XX, polisi gay yang diberhentikan secara tidak hormat dari kesatuannya.

(BERSAMBUNG)

-----

(1) Simak testimoni MMD di https://www.youtube.com/watch?v=W4Dbd3b9GSo

(2) Apa Kabar Gugatan Polisi yang Dipecat Gegara Kasus LGBT di Semarang,” https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5214812/apa-kabar-gugatan-polisi-yang-dipecat-gegara-kasus-lgbt-di-semarang

Sunday, November 8, 2020

YESUS DI TANGAN MAHASISWI BERJILBAB

Kubaca berkali-kali lembar jawaban UTS yang ada di gadgetku. Milik Talitha Sani --mahasiswiku kelas Religion Ciputra. Benarkah ini ditulis oleh seorang muslimah? Jika iya, mungkin ia adalah satu-satunya mahasiswi Muslim yang cukup berani menulis apresiasinya atas kekristenan selama UTS.

Ia menjuduli tulisan pendeknya, "Pengorbanan Yesus Menebus Dosa Manusia," sekitar 2,5 halaman kuarto.

Karena tak terlalu percaya dengan dirinya aku mengontak Liechel, mahasiswi yang paling aku kenal di kelas. Dia mengkonfirmasi Talitha seorang muslimah. "Ia tenglang, Chel?" tanyaku lagi. Liechel malah tidak tahu apa itu tenglang.

Kelas online selama semester ini memang sedikit memaksaku menginvestigasi profil mahasiswa lebih mendalam. Aku tak pernah bertemu fisik dengan mereka. Nama dan penampilan profil pic di kelas maya tidak menjadi jaminan aku dapat menebak agama mereka secara akurat.

Tidak sedikit dari mereka yang sengaja tidak memasang profil pic foto mereka --baik di aplikasi Line maupun Moodle. Aku memang tidak memaksa mereka untuk memasang. Kecuali dalam kondisi terpaksa, seperti dalam kasus Talitha.

"Tha, aku barusan membaca tulisan UTSmu," aku mengechatnya personal.
"Oooh... Apakah ada masalah, Pak?" tanyanya balik. Aku membayangkan ia kuatir.



Aku baru sadar jika sebelum UTS kami pernah terlibat dalam sebuah percakapan. Arsip percakapan kami di Line ,masih ada. Saat itu ia mengusulkan topik yang akan ia tulis untuk UTSnya. Namun aku tolak karena ia menulis tentang sesuatu yang kurang pas.

UTS matakuliah Religion semester ini memang mengajak mahasiswa menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan pemeluk agama lain, dan ajaran dari pemeluk tersebut.

Ajaran apa saja yang menarik minat mahasiswa. Tulisan tersebut tidak hanya bersifat appreciative inquiry namun juga tetap memberikan ruang mahasiswa untuk memasukkan analisanya atas apa yang ia ceritakan.

Misalnya tidak sedikit dari mahasiswaku, Kristen dan Katolik, yang menulis apresiasinya terkait Saksi Yehuwa. Sekte yang kerap dianggap sesat tidak sedikit orang Kristen trinitarian ini memang diundang khusus dalam kuliah umum kampusku semester ini, bersama Millah Ibrahim, Ahmadiyyah, dan Kristen Ortodok Syiria.

Dari banyak mahasiswa yang menulis tentang SY, ada dua orang yang menggunakan kata 'Iblis," dan "sesat," untuk mengasosiasikannya dengan SY. Aku sangat kaget saat membacanya. Tak pernah aku mengajari kelasku untuk menggunakan atribut seperti itu agi orang/kelompok yang berbeda.

Alih-alih menghubungi dua mahasiswa tersebut, aku memilih mengirim pesan umum ke grup Line kelas, agar dibaca semuanya.

"Guys, selamat pagi. Aku sedang membaca tulisan UTS kalian. Menurutku bagus. Ada beberapa diantara kalian menggunakan diksi yang terlalu tajam dan emosional saat membahas Saksi Yehuwa, misalnya, iblis dan sesat. Please, do not use those words again to describe those who differed from your beliefs. It hurts as well as when it stabbed you. Happy Sunday,"

Tidak ada yang menjawab postinganku. Namun tak seberapa lama, ada pesan personal Line masuk; dari salah satu mahasiswa yang menggunakan kata iblis. Ia meminta maaf dan mengakui hal tersebut merupakan dampak dari kuatnya doktrin dari pendetanya. Ia berjanji tidak akan melakukannya lagi, Aku tersenyum sembari mengucapkan terima kasih dan "Happy Sunday," Ia mengirimkan emoticon lega.

**

"Tha, jika tidak keberatan, bolehkah aku melihat foto profil picmu?" pintaku pada Talitha --permintaan yang tentu saja berpotensi disalahpahami. Dosen kok meminta foto diri mahasiswinya.

Aku hanya ingin memastikan seperti apa Talitha mencitrakan dirinya di etalase terdepan personalnya. Aku merasa penting untuk mengetahuinya. Profil pic Linenya memang kosong. Aku coba lacak ia di Instagram namun akunnya berstatus private, padahal aku ingin stalking.

'Ini profil saya pak," jawabnya sembari mengirimkan foto diri. Tak menyangka ia berjilbab relatif rapat.

Aku lantas meminta ijin untuk mengunggah tulisan dan fotonya sekalian. Ia tidak keberatan.

Friday, November 6, 2020

Deru KALABAHU

Kalabahu singkatan dari Karya Latihan Bantuan Hukum -- sebuah elemen pengkaderan milik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lembaga hukum bereputasi mentereng ini memiliki puluhan kantor LBH seantero Indonesia, termasuk Surabaya.

"Saya Aan Anshori. Silahkan googling nama saya. Barusan lulus dari S2 Hukum Keluarga Islam Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng," kataku membuka perkenalan.

"Siapa di sini yang di ahwal al-yakhsiyyah?" tanyaku. Itu adalah nama Arab dari prodiku. Entah berapa gelintir dari mereka yang tahu.

"Saya, mas," kata peserta perempuan, yang tentu saja berjilbab.


Aku memang merasa perlu menandaskan latar belakangku, khususnya kampus Tebuireng karena beberapa hal.

Pertama, banyak yang memakai jilbab. Kedua, begitu banyak diksi Madura dari peserta laki-laki. "Jilbab," "NU," dan "Madura," memang harusnya familiar dengan kata "Tebuireng," -- kebangetan kalau tidak.

Ketiga, topik yang aku bawakan relatif berat, khususnya jika dihantam dari perspektif keagamaan. Aku memang diminta mengampu topik problem struktur keadilan gender, dan memilih untuk menggenjot mereka dengan pilihan non-binary dan non-conforming gender a.k.a LGBTIQ. Keempat, mereka memandangku dengan heran saat aku masuk kelas dengan celana pendek dan berbatik. Sorot mata mereka terasa ingin mengiris-irisku.

Aku memang sengaja tidak membawa celana panjang. Sudah aku niati untuk bercelana pendek dari rumah ke hotel Arcadia hingga balik lagi ke rumah.

Seingatku, sudah dua kali aku mengisi Kalabahu LBH Surabaya dengan memakai celana pendek. Panitia tidak pernah mengirimkan surat keluhan resmi padaku. Tidak juga kami pernah membicarakannya. Mereka tahu aku tidak pernah berniat secuilpun merendahkan forum.

"Aku akan mendorong kalian mampu seperti para Hakim Konstitusi yang bertugas mereview hukum, bukan sekedar pemakai hukum,"


Selama satu jam lebih aku mengocok-ocok pikiran mereka seputar gender, hukum, agama, dan seksualitas. Berkali-kali aku menanyakan pada peserta apakah mereka memahami apa yang aku sampaikan. "Aku terbuka jika kalian memiliki dissenting opinion terhadapku," ujarku.

Kelas terasa semakin panas saat ada peserta --laki-laki berlatar belakang pesantren dengan logat Madura kental-- mulai tersulut. Ia mengemukakan pandangannya soal cerita kaum Luth dari perspektifnya. Aku mengamini ceritanya yang mencampuradukkan nrasi Alquran dan sumber lain.

"Menurutmu, dalam ceritamu tadi, aktifitas kaum Nabi Luth berkategori pemaksaan kehendak atau suka-sama-suka," tanyaku
"Iya juga sih. Pemaksaan," ujarnya sambil tertawa.

Aku juga ikut tertawa.

"Nah kawan-kawan, sekarang bayangkan, aku memperkosa Irkhas," kataku pada mereka sembari mendekati Irkhas, peserta perempuan. "....maka yang salah adalah pemerkosaannya atau karena aku suka perempuan?"

"Perkosaannyaaaaaaaaaaa..." mereka berkoor.

Aku gembira mereka mulai semakin dapat berfikir jernih menyangkut kabut kelam kaum Nabi Luth. Aku mendengar ada suara peserta yang menyatakan ia baru menyadari hal ini meski telah mendengar cerita kaum nabi Luth sejak lama. Bagiku ini sungguh kemajuan yang berarti.

Agar suasananya semakin panas, aku selanjutnya mengajak mereka bermain debat terbuka, antarpeserta. Aku belah mereka menjadi dua kelompok; jaksa penuntut umum dan pengacara.

Aku beri mereka sebuah kasus; seorang prajurit TNI terancam dipenjara dan pecat karena dianggap LGBT.

"Tugas kalian adalah membela dan menghukumnya," kataku.

Kelas Kalabahu selanjutnya berubah seperti arena demonstrasi. Argumentasi saling bersahutan, dengan penuh deru.

Tuesday, November 3, 2020

PENGUSIRAN ARWAH DAN EMMANUEL MACRON

Kemarin malam aku nonton The Exorcism of Emily Rose. Entah sudah yang keberapa kalinya. Aku suka banget film itu. Film bersetting Katolik yang kabarnya didasarkan pada kejadian nyata Anneliese Michel dan Linney.

Ceritanya, ada romo yang dibawa ke pengadilan gara-gara dituding melakukan pembunuhan saat proses pengusiran arwah yang merasuki Emily, salah satu jemaatnya. 

Perempuan ini mati sangat mengenaskan. Tubuhnya sangat kurus dengan penuh luka. Tragis. 

Pemerintah kota merasa perlu menegakkan keadilan. Harus ada yang dihukum atas peristiwa ini. 

Oleh karena tidak mungkin mengadili Lucifer dan 5 setan lain yang merasuki Emily, maka tentu saja romo tersebut yang harus menanggungnya. 

Duel menarik pun terjadi antara sang pengacara  dan jaksa penuntut. Yang menarik, pengacara romo adalah agnostik, perempuan. Tau sendirikan orang agnostik? Rasionalitasnya membumbung ketimbang hal-hal yang bersifat absurd. Iman masuk dalan kategori itu.

"Romo, apakah Emily termasuk orang yang taat beragama?" tanya si pengacara.
"Sangat taat,"
"Lalu kenapa Tuhan sampai setega itu membuatnya sengsara dan menderita?" si loyer terus memburu kliennya di kursi pesakitan.

Lalu si Romo membacakan surat yang ditulis Emily sehari sebelum meninggal --setelah proses pengusiran arwah yang sangat apik dan melelahkan. 

Dalam surat itu Emily bercerita. Ia mimpi ketemu Holy Mary dan mengajukan pertanyaan persis seperti yang diajukan loyer tadi ke romo

Aku sejak awal sudah galau, dag-dig-dug menduga-duga apa persisnya jawaban Holy Mary. Sebab, menurutku, ini merupakan pertanyaan kelas berat secara teologis.

Holy Mary menawarkan dua pilihan kepada Emily; tetap menderita untuk hal yang lebih besar dari penderitaannya, atau mengakhiri penderitaan dari "gangbang-an" kuasa gelap 5 rajanya setan. 

"I choose to stay," kata Emily kepada Holy Mary. Maka ia pun mati dengan cara menyedihkan dan mengenaskan.

Aku belajar banyak dari film ini, khususnya menyoal penderitaan yang selalu ditawarkan realitas dan begitu banyak dari kita memilih menghindarinya. 

Emmanuel Macron termasuk seperti Emily. Lelaki ini menurutku memilih tidak mau menyerah meski tengah didera penderitaan hebat. Dicaci maki jutaan orang Islam, termasuk teman-temanku sendiri.

Ia memilih menderita menjaga hal paling fundamental dalam demokrasi; kemerdekaan berekspresi, meskipun sangat mungkin ia bisa dengan mudah menghindarinya. 

Diakhir film, romo tadi mengunjungi makam Emily bersama si pengacara. Saat melihat nisan Emily, sang pengacara membaca tulisan yang tergurat di sana. 

Bunyinya; work out your own salvation with fear and tremblings --- petikan surat Paulus ke jemaat Filippi, yang hingga kini aku simpan rapi dalam memori dan sanubariku, bersama ayat serupa di Alquran.

Featured Post

SEPUTAR LOKASI KELAHIRAN YESUS; MENYINGKAP KLAIM AL-QURAN

Sebelum aku menemukan tulisan Mustafa Akyol, "Away in a Manger... Or Under a Palm Tree?" terbit 7 tahun lalu di The New York Times...