Pages

Wednesday, January 20, 2021

Memberi Makan atau Tidak?

ITULAH
sanderaan pertanyaan di kepalaku ketika melihat Brown duduk persis depan aku makan. Tidak terbantahkan lagi anjing ini tengah kelaparan. Namun percayalah, memberi makan padanya tidaklah mudah bagiku.


Brown adalah satu dari empat anjing yang datang menyambut kami di pepanthan Sumbergogor GKJW Wonosalam, Senin (6/1).


Aku merasa hanya ia yang menaruh perhatian padaku. Pikiran konspiratifku langsung berkata; jangan-jangan ia memang ditugaskan genk anjing tersebut untuk menakut-nakutiku, mencobaiku, selama di sana.


Aku sendiri sebenarnya sudah tidak terlalu takut pada anjing. Ini penting aku sebutkan karena tidak demikian halnya kebanyakan Muslim. Sejak orok, mereka telah dikondisikan takut dan, pada titik tertentu, membencinya.


Dari mana aku tahu? Mudah, sebab aku dibesarkan dalam tradisi Muslim-Sunni-Nahdliyyin-Syafi'iyan --denominasi Islam terbesar di Indonesia sekaligus penentu kebenaran secara politik dan sosial.


Syafiiyan adalah sebutan penganut hukum Islam klasik (fikih) madzhab Imam Syafii. Sosoknya hidup antara 767-820 M. Ia adalah raksasa yang begitu kuat menggenggam nalar hukum Muslim Indonesia. Ada lebih dari 27.000 pesantren Indonesia yang hampir semuanya berpayung padanya. 

 

Padahal, ada 8 madzhab fikih lain yang bisa dipilih selain Syafii. Yakni; Hanafi, Maliki, Hanbali, Ja'fari, Zaydi, Zahiri, Ibadis dan Mu'tazili. Kesembilan dewa fikih seringkali berbeda pandangan satu dengan yang lain dalam banyak hal. Termasuk soal anjing.


Kesembilannya tentu mengambil basis alQuran dan kemudian menafsirkannya. Produk tafsir inilah yang "wajib" dikonsumsi oleh kebanyakan Muslim saat ini --disebut Muslim awam --termasuk aku. Tugas Muslim awam adalah read and follow. Praktek norok bunthek seperti ini yang dulu dikritik hebat Soekarno lewat "Islam Sontoloyo,"


Entah bagaimana ceritanya, terutama oleh Syafiian, anjing dianggap binatang --tidak hanya najis namun -- supernajis. Mungkin Imam Syafii pernah memiliki pengalaman personal terkait anjing sehingga berposisi demikian.


Syafiian sangat mungkin mendasarkan posisinya pada perkataan yang kabarnya dari Nabi Muhammad. Misalnya, malaikat tidak akan masuk rumah yang ada gambar, lukisan maupun anjingnya; Nabi memerintahkan membunuh anjing.


Perkataan ini (jika memang benar dari Nabi) selanjutnya "ditelan," mentah-mentah, tanpa dicerna konteksnya saat itu. Para sarjana psikologi modern yang juga pakar anjing, misalnya Stanley Coren, menganggap pelarangan tersebut sangat mungkin berkaitan dengan wabah rabies.


Selain itu, beberapa hadits antianjing dinarasikan Abu Hurairah (father of little cat). Tokoh hadits tersohor ini oleh beberapa kalangan kalangan dianggap cukup anti terhadap anjing dan, perempuan.


Sikap antianjing dalam Islam patut ditelisik karena aneh. AlQuran sendiri tidak pernah menyebut kenajisan binatang ini. Tidak seayat pun. Yang terjadi justru sebaliknya; Anjing (Qitmir) diposisikan dalam cerita heroik-spiritual ashabul kahfi (seven sleepers) dan bahkan kabarnya ikut ke surga.


Aku menduga kuat ketidaksukaannya terhadap anjing kemudian diwariskan, secara turun-temurun, menggunakan rantai epistemologi hukum klasik Islam yang dikenal sangat rigid.


"Afala yatadabbaruuna al-qur'ana walaw kana min 'indi ghayr allaha lawajaduu fiihi ikhtilaafan katsiroo," -- Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS.4:82)

**

Tak kusangka, Brown mendekat saat aku duduk santai di depan. Lidahnya dijulur-julurkan. Gigi-gigi berderet rapi. Taringnya, uuuhhh.. menyeramkan.


Aku makin kalut. Antara berani, takut dan jijik. "Ia baik.. ia baik.. ia baik..: begitulah yang terus aku wiridkan saat ia mulai mengendus sepatuku. Jaraknya begitu dekat. Aku berusaha setenang mungkin. Mencoba mengajaknya berbicara -- padahal sebenarnya aku sedang menutupi kegugupanku.


Aku berhasil menguasai diriku sendiri. Tidak lari menyingkir, menjauhinya. Brown kemudian memilih menjauhiku. Sangat mungkin ia menganggapku "undangerous," dari hasil endusannya.


Menurutku ia berbuat baik padaku. Sama sekali tidak membahayakan. Itu sebabnya, saat ia tidur-tiduran, aku menghampirinya. Mengelusnya sebagai tanda terima kasihku atas sambutannya.


Percayalah, aku benar-benar berusaha memberanikan diriku sendiri, berkalang rasa takut dan ketidakpastian yang terus menjalar. Mungkin ini seperti yang pernah dirasakan Soekarno saat datang ke rumah nonik Belanda untuk melamarnya, sebelum akhirnya diusir calon mertua lakinya secara tragis.


"Thank you for being nice to me," kataku padanya dalam hati.

**

Aku, Pdt. Ridha, Edi dan Pdt. Anggi bergerak menuju ruang makan. Terhidang aneka makanan khas Wonosalam, terutama sayur plompong --sejenis sayur lodeh dengan bahan dasar batang talas. Empuk seperti spon dan enak, jika bisa masaknya.


Tersedia juga lele goreng, telur dadar, sambal goreng tongkol dicampur tempe, sambal dan, tentu saja, krupuk.


Awalnya aku makan di dalam ruangan. Kemudian bergeser ke luar. Aku ingin makan sembari menikmati suasana pegunungan.


Aku melihat brown berjalan mendekatiku. Saat dekat ia duduk di depanku. Dua kaki depannya berdiri. Bokongnya diletakkan di lantai. Mukanya memelas. Lidahnya dikeluarkan. Tanda ia ingin makan juga.


Aku reflek mengambil potongan lompong dan aku lempar ke sebelahku. Ia mengambilnya. Begitu selesai, ia kembali duduk di depanku. Posisi semula; minta makan.


"Ini anjing opo tho yooo. Mosok mangane lodeh lompong," aku bicara sendiri sambil tertawa. Sejenak aku berpikir; kenapa makanannya harus aku lempar? Kenapa tidak aku berikan langsung dengan tanganku sendiri? Tapi bagaimana jika tanganku yang justru diterkamnya? Siapa yang akan menjamin tanganku tidak digigitnya?


Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk dalam pikiranku. Berputar-putar dengan sendirinya. Terjadi pergolakan dalam diriku.


Entah dorongan apa menggerakkan tanganku untuk menyodorkan potongan lompong ke mulutnya. "Awas jika tanganku kau gigit, aku tendang kamu," batinku mengambil ancangan.


Saat mulutnya hanya berjarak dua sentimeter dengan posisi terbuka, aku kaget sekali. Reflek aku tarik tanganku cepat. Lompong terjatuh antara aku dan Brown. Ia menjumputnya dengan mulut dan mengunyah. Entahlah apakah apakah ia tahu aku sedang berjuang dengan ketakutanku sendiri. Ia begitu santainya. Duduk dan berposisi semula; ingin makan.


Aku mencoba lagi mengulurkan lompong, langsung dari tanganku. Kali ini aku meyakinkan diriku; tidak akan digigit. "Kalau dia berkehendak menikmati dagingku, ia lho bisa melakukannya sejak awal. Namun ternyata tidak kan?" kataku meyakinkan diri.


Keyakinanku terbukti. Mulut Brown hanya mengambil lompongnya saja. Tanganku dibiarkan tak terjamah. Mungkin ia sadar, jika tanganku ikut-ikutan dilahap maka hal tersebut akan mengubah nasibnya.


Aku menikmati proses relasiku dengan Brown. Ini adalah pengalaman pertamaku selama hidup hampir 50 tahun. Tak pernah akku sedekat ini dengan anjing. Aku membayangkan apakah keintiman seperti ini yang terjadi pada peristiwa ashab al-kahfi dengan anjing Qitmir.


Tahu berapa kali aku bolak-balik ke meja makan untuk nambah sayur lompong? Delapan kali! Gara-gara si Brown.

1 comment: