"Sekarang, mari kita main survei kecil-kecilan. Silahkan masuk mentimeter untuk ikut polling ini. Jangan Kuatir, identitas kalian terlindungi," ucapku di akhir presentasi pada peserta sekolah gender Korps HMI-Wati (KOHATI) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di layar zoom, Sabtu (27/2/2021).
Sejak awal aku sudah deg-degan memikirkan apa hasilnya nanti. Yang terlintas, mereka akan memilih apa yang aku kuatirkan. Survei ini sebenarnya merupakan post-test untuk melihat sejauhmana materi yang aku sampaikan mendarat dengan baik.
Acara tadi tidak hanya diikuti anak KOHATI saja. Peserta umum bisa ikut bergabung. Namun aku tidak bisa mengindentifikasi satu per satu mereka. Kekuatiranku makin bertambah manakala aku hanya memiliki waktu terbatas untuk mempresentasikan gagasanku. Bagaimana mengharapkan perubahan besar dalam waktu singkat? Perubahan pemikiran seseorang biasanya berjalan gradual, evolutif, bukan revolutif.
Rupanya kekuatiranku tak terbukti. Banyak dari mereka menjatukan pilihan yang luarbiasa; tidak setuju tentara tersebut dipecat.
Ya, aku menanyakan respon mereka atas peristiwa pemecatan salah satu tentara dari kesatuannya. Ia, oleh pengadilan militer, dianggap terbukti melanggar pasal 103 KUHP Militer atau pasal 281 KUHP tentang perbuatan asusila. Tidak hanya dipecat, tentara ini juga dihukum penjara selama 8 bulan.
"Aku tidak akan banyak ngomong soal pasal. Alih-alih, aku mendorong kalian sebagai seorang scholar cum activist untuk berani mempertanyakan pasal. Berpikirlah lebih substantif. Mainlah di arena filsafat hukum," kataku menggebu-gebu.
Dengan menggunakan trisula kekerasan yang pernah ditawarkkan Galtung, aku yakinkan mereka bahwa kekerasan langsung dipicu oleh kekerasan struktural. Kekerasan struktural sangat tergantung kekerasan kultural.
"Kekerasan kultural bisa berbentuk norma dan epistemologi serta model bergama yang kita anut," ujarku.
Pelan-pelan aku kuliti; bagaimana pekatnya narasi klasik keislaman yang masih sangat bias identitas gender dan seksualitas prokreasi. Narasi didistribusikan secara massif dan sistematis melalui kanal-kanal pendidikan formal maupu pesantren.
"Siapa yang tidak hujjatul Islam Imam Ghazali dengan karya agungnya Ihya 'Ulumuddin? Jika kita tidak hati-hati menjelaskan pandangannya terkait perempuan di kitab tersebut, peradaban ini akan mundur kembali," kataku sembari menampilkan slide berisi 11 poin "idealitas," perempuan versi Imam Ghazali.
"Namun aku tidak akan berhenti mencukupkan penjelasanku soal perempuan tanpa menyinggung mereka yang lesbian, biseksual, aseksual, atau mereka yang memilih tidak mau bereproduksi. Aku tidak yakin dosenmu di UB memberimu informasi terkait hal ini. Begini....." aku pun mulai berbusa-busa menjelaskan panjang lebar latar belakang ketakutan nalar Islam klasik terhadap LGBT dan seksualitas yang tidak reproduktif.
Entah karena pemaparanku atau faktor lainnya, mereka seyatanya telah memilih posisinya atas kasus LGBT dan tentara. Gambaran polling ini merupakan potret yang harus kita syukuri. Berkali-kali aku mengatakan rasa syukurku, di forum, atas kesediaan HMI-Wati mendengar suara alternatif yang aku yakini.
"Ingat, jangan pernah biarkan orang lain menentukan apa yang terbaik bagi tubuhmu, bahkan dengan membawa-bawa agama sekalipun. Kalian diberi akal dan nurani. Biarkan keduanya menuntun kalian," tutupku.