Entah siapa Setijadi itu. Yang pasti ia tentu lelaki. Aku berani bertaruh. Tak pernah aku bertemu dengannya, baik maya ataupun nyata.
Dua minggu lalu, aku diminta para senior Tionghoa menemani perempuan Tionghoa, dosen di Singapura. Namanya Charlotte Setijadi. Never heard that name.
Saat aku lacak di Google Scholar, karyanya bertebaran bak cendawan di musim hujan. "Pinter sekali nonik satu ini," batinku. Forum online kami dengan tajuk "Menganalisis Survei Relasi Tionghoa-Non Tionghoa," berjalan cukup lancar.
Ya, terbukti, Charlotte memang pintar. Kalau tidak, mana mungkin Prof. Robin Bush berkehendak menjadikannya sebagai asisten mengajar. Kami hanya bertemu maya saat itu. Tidak ada kontak lanjutan.
Dua hari setelah itu, kira-kira, aku mendapat pesan privat di instagram, dari perempuan yang bukan temanku. Namanya Sasha. Ia memintaku bersedia menjadi salah satu narasumber untuk riset tesisnya, di UPH Jakarta. Ia mengambil jurusan komunikasi, sedang menulis tentang pesan toleransi sebuah tayangan yang sempat kontroversial.
"Iya boleh, silahkan," kataku.
Ia sangat senang atas kesediaanku. Sejurus kemudian aku penasaran kenapa dan dari mana ia memperoleh informasi tentangku.
"Aku disarankan oleh mom Naniek, pembimbingku, Gus," katanya riang.
"Mom Naniek? Siapa dia?" kataku makin penasaran. Iki sopo maneh --aku membatin.
"Naniek Setijadi, Gus. Itu lho mamanya Charlotte Setijadi -- yang baru saja seforum sama gus Aan," katanya dengan percaya diri.
Aku googling sebentar. Naniek Setijadi ternyata dekan FISIP UPH Jakarta. Aku stalking nama tersebut di Facebook. Ia tidak cukup aktif. Pastilah. Mana mungkin dekan universitas seserius UPH lebih fokus ke FB ketimbang urusan kampus --aku menduga.
Namun meski aku tidak mengenalnya, aku sempat melihat interaksinya di FB, khususnya dengan beberapa nama yang aku kenal lama. "Ooohh ternyata masih dalam lingkaran yang sama. Santai." aku membatin.
Dua hari setelah berinteraksi dengan Sasha, tak kusangka anaknya Mom Naniek Setijadi, yakni Charlotte Setijadi, mengirim email padaku. Isinya undangan nongkrong di kelasnya.
"Ya awwohh kenapa aku tidak bisa jauh-jauh dari Setijadi?" batinku, sambil tersenyum sendiri.
Charlotte mengajakku nongkrong di kelas yang ia ampu, kelas antropologi di Singapore Management University (SMU). Entah di Singapura sebelah mana. Aku memang pernah ke negeri kecil itu. Namun sekedar transit saja di bandara dalam perjalanan pulang dari Amerika.
Namun di manapun SMU berada, aku senang sekali bisa berbagi perspektif dengan puluhan nonik dan sinyo di kelas tersebut. Rupanya kelas tersebut telah menerapkan offline.
Begitu melihat para nonik dan sinyo di kelas, dari warkop Persada, tempatku beronline-ria, aku jadi kangen kelas offlineku di Ciputra. Ya, mereka mengingatkanku pada para mahasiswi/aku.
Bedanya, di ruang SMU, banyak yang memakai celana pendek, sedangkan di Ciputra tidak diperbolehkan. Aku jadi mikir kenapa nggak boleh pakai celana pendek, lha wong aku tidak keberatan mengajar pakai celana yang sama. Saat online bersama mereka, aku memakai celana itu. Koloran.
Kolor itu elastis, tidak kaku. Longgar. Tidak seperti model pendidikan agama di Indonesia yang rata-rata kaku. Misalnya, siswa/i Islam hanya diajar tentang Islam, tidak agama lain. Padahal tanpa pengetahuan tentang agama lain, pastilah seseorang berpotensi menjadi kaku, seperti kadrun. Itu
Namun aku percaya dua Setijadi merupakan orang yang lebih suka longgar ketimbang kekakuan. Sangat mungkin kelonggaran itulah yang membuat keduanya bertemu denganku, meski hanya dalam bentuk simbol.
Beberapa menit setelah Charlotte memposting suasana kelas tadi, dengan menandaiku di FB, aku mengomentarinya "Your class did make me nervous,"
Ibu dan anak, dari klan Setijadi itu, memberikan emoticon pada komentar tersebut. Aku memang tidak bisa jauh-jauh dari Setijadi.
No comments:
Post a Comment