Urusan akidah –salah satunya- juga menyangkut hal paling sensitif dalam hubungan Islam-Kristen, yakni terkait Isa (Yesus). Tidak dalam aspek ketuhanan Isa yang ingin saya bahas, namun terkait bagaimana polarisasi pandangan beberapa cendekia Muslim awal memotret peristiwa penyaliban hingga diangkatnya nabi berpredikat 'ulul azmi ini oleh Tuhan.
Yang dibenamkan dalam memori kolektif saya dan teman-teman di madrasah dulu; Isa masih hidup. Dia tidak salib, apalagi mengalami penderitaan-sangat via dolorosa sebagaimana film kontroversial besutan Mel Gibson. Justru, yang merana di tiang salib adalah Yudas, sang pengkhianat. Dia, Isa, diangkat Allah ke langit, yang nanti akan turun kembali ke bumi empat puluh hari sebelum Kiamat. Dia -lanjut guru-guru saya- akan memerangi Dajjal dan menjadi eksekutor bagi umat Kristen yang tidak mau memilih Islam semasa hidup mereka. Andai guru-guru saya pernah membaca Personal Narrative of a Pilgrimage to al-Madinah & Meccah karya Richard Burton, mereka sangat mungkin akan menambahkan bahwa liang lahat untuk Isa telah disediakan, berjejer dengan makam Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Sayyida Umar. Kuburan itu konon akan digunakan setelah Isa menyelesaikan tugasnya. Wallohu a'lam.
Tidak Tunggal
Namun demikian, apakah kisah di atas merupakan satu-satunya cerita-teologis terkait Isa? Ternyata tidak. Bahkan soal penyaliban, kematian dan diangkatnya Isa ke langit memicu polemik sendiri di kalangan para penafsir al-Quran dan cendekia Islam. Kontroversi ini dimulai dari penggalan teks QS. 4:157.
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِيناً
Hampir semua penafsir al-Quran menganggap teks yang digarisbawahi telah jelas menyatakan; yang dibunuh dan disalib adalah orang yang diserupakan dengan Isa. Saya katakan hampir karena ternyata diksi shubbiha lahum membuat al-Zamakhsari (d.1144) terkesan cukup kerepotan memaknainya. Dalam buku al-Kasyf ‘an haqaiq ghawamid al-tanzil, dia berargumen; jika sejak menit pertama subyek dari dua ayat itu adalah Isa, maka kata syubbiha, yang bermakna pasif; diserupakan, disamarkan terasa janggal. 'Isa diserupakan' dengan siapa? Bukankah lebih tepat “seseorang diserupakan dengan Isa”?. Justru sebaliknya, banyak literatur klasik Islam menyatakan orang lain yang diserupakan menjadi Isa. Zamakhsari seperti tengah mengajukan kuis pada pembacanya untuk menyingkap misteri subyek diksi syubbiha lahum, sebelum akhirnya dia menetapkan pandangannya bahwa peristiwa penyaliban itulah yang disamarkan, bukan khusus pada Isa.
Saya tentu merasa terusik. Tidak mungkin 'ajaran' yang bersifat qath'i (definitif) ini dikacaukan sedemikian rupa. Saya melakukan komparasi beberapa terjemahan al-Quran, tentu saja selain milik Kementerian Agama RI karena sudah jelas “posisinya”. Saya semakin terperanjat menemukan fakta tidak sedikit penerjemah bersikap senada dengan Zamakhsari. Penerjemah seperti Pickthall (1930), Muhammad Asad (d.1992), Shakir (d.1939), Yusuf Ali (1938), dan Fakhry (1997) -- mereka menggunakan kata 'it' (peristiwa penyaliban) ketimbang 'him' (Isa) dalam menjelaskan siapa (atau apa) yang disengketakan dalam diksi syubbiha. Saya tambah penasaran.
Ragam terjemahan ini sekaligus menyadarkan saya terdapat dispute mengenai penyaliban itu sendiri dalam Islam. Jemaat Ahmadiyah barangkali merupakan salah satu yang bisa diajukan sebagai contoh. Kelompok yang kerap mendapat persekusi di beberapa negara termasuk Indonesia ini meyakini Nabi Isa mengalami penyaliban namun tidak sampai terbunuh di tiang salib. Mereka --yang juga mendasarkan keyakinannya pada ayat yang sama ini, berpandangan Isa telah wafat, sebagaimana utusan Allah lainnya.
Stuntman vs Voluntary?
Di sisi lain, saya juga menemukan adanya perbedaan pandangan di kalangan penafsir al-Quran -yang mendukung nabi Isa selamat dari peristiwa penyaliban- terkait siapa yang akhirnya berposisi sebagai stuntman. Muqatil bin Sulayman (d.c 767), sosok yang dikenal sebagai penafsir al-Quran generasi awal, dalam kitab Tafsir-nya menyatakan Isa dikhianati oleh seseorang bernama Yudas Iskariot. Oleh Allah, wajah lelaki ini lalu diserupakan Isa. Yudaslah yang ditangkap dan disalib. Sedangkan Nabi Isa sendiri dinaikkan ke langit oleh Allah.
Pandangan Muqatil ini selanjutnya "diperkaya" oleh Abu Ja'far al-Tabari (d.923). Dalam masterpiece-nya Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, sosok paling disegani dalam tafsir dan sejarah ini mengungkapkan, pria yang disalib merupakan salah satu dari pengikut setia Isa (hawariyyun). Lelaki tersebut, Sergius namanya -menurut Ibn Kathir (d.1373), mengajukan dirinya sebagai stuntman.
Lebih lanjut, al-Tabari menambahkan sebenarnya Isa sudah mendapat kabar dari Allah terkait rencana penangkapan itu. Setidaknya ada dua skenario bagaimana wajah pria itu diserupakan. Pertama, sebelum digerebek, Isa mengumpulkan semua muridnya dalam sebuah kamar. Allah mengubah wajah semuanya menjadi serupa Isa. Saat pintu kamar didobrak, tentara Roma kebingungan dan menanyakan mana Isa yang asli. Nabi isa lalu berkata "Which one of you will win paradise for his soul today? ". Setelah murid yang mengaku Isa maju menyerahkan diri dan dibawa keluar rumah, wajah murid-muridnya yang tersisa kembali seperti semula. Nabi Isa lalu terangkat ke langit melalui atap dalam kondisi tertidur (asleep).
Skenario kedua, Nabi Isa berada dalam satu ruangan bersama 13 pengikut setia. Sebelum digrebek ada 1 orang yg bersedia menggantikan posisi Isa. Laki-laki itu selanjutnya berubah paras sperti Isa, dibawa oleh prajurit Roma lalu disalibkankan. Isa sendiri kabarnya diangkat Allah ke langit dalam posisi tertidur. Ibnu Kathir -sebagaimana dikutip Said Reynold (2009)- menambahkan opininya bahwa telah terjadi 3 polarisasi pandangan menyangkut peristiwa itu di kalangan para hawariyyun. Pertama, faksi Jacobites (ya'qubiyyah) yang berkata "God was among us and then ascended to heaven". Kedua, kelompok Nestorian (Nasturiyyah) yang menyatakan sikap "The son of God was among us and then God raised him to Himself". Sedangkan ketiga, kelompok Muslim dengan keyakinannya "A servant of God and His messenger was among us and then God raised him to Himself". Kathir lantas berpandangan dua kelompok pertama selalu berusaha memberangus kelompok terakhir.
Memusingkan Tawaffa
Diferensiasi pandangan di kalangan para penafsir al-Quran dalam hal penyaliban ini berlanjut hingga pada aspek kematian dan pengangkatan (ke langit) Isa. Ini -sekali lagi- dipicu oleh firman Allah dalam QS. Al-Imran. Dalam potongan ayat 55, ada larikan penting "idz qala allohu yaa isaa inni mutawaffika wa raafiuka". Muqotil mengartikan kata "mutawaffika" dengan "wafat/mati" dalam konteks setelah Isa turun ke bumi dan menyelesaikan tugasnya mengalahkan Dajjal. Untuk memperkuat pandangannya, Muqatil menawarkan cara baca terbalik (taqdim al-muakhkhar/hysteron proteron) sehingga larikan itu berbunyi "Aku mengangkatmu lalu mewafatkanmu". Pandangan ini diamini oleh Ibn Kathir. Terus terang saja, saya agak sulit untuk tidak mengatakan Muqotil bin Sulayman terkesan sedang memperkosa teks.
Al-Tabari sendiri menyatakan ada berbagai tafsir berkaitan dengan mutawaffika dalam ayat tersebut. Dia mencatat terdapat penafsir yang mengartikan kata itu dengan “tertidur”, "menggenggam" (qabada, to seize), maupun model terbalik ala Muqatil. Tabari juga menambahkan bahwa ada juga yang mengartikannya dengan 'wafat sementara' dan 'wafat'; dalam arti benar-benar mati. Meskipun akhirnya Tabari cenderung memilih arti “menggenggam” karena menurutnya seseorang hanya bisa mati sekali.
Sedangkan Zamakhsari malah lebih unik. Dia memaknai kata tersebut menjadi 'berakhirnya masa hidup Isa namun tidak mati". Kelak –lanjutnya- Allah akan mewafatkan Isa secara natural, bukan dibunuh seperti yang dilakukan tentara Romawi.
Said Reynolds pernah menghitung kata tawaffa dalam al-Quran. Dia menemukan 25 kata. Hampir semuanya dimaknai sebagai perpisahan antara tubuh dan jiwa alias mati. Tidak sedikit muslim kerap menjadikan QS. 7:126 sebagai doa seraya mengartikan kata tawaffani dengan wafat/mati. Saya terkadang juga menggumam lirih kepada Allah saat sepi; tawaffani musliman wa alkhikni bi al-sholikhin. Kalau mau dimaknai ala pesantren, kira-kira begini; Tawaffa, mugi mejahi Panjenengan. Ni, ing ingsung. Wa al-khik, lan mugi ngempalaken Panjenengan. Ni, ing ingsun. Bi al-sholikhin, kaliyan tiyang-tiyang ingkang soleh.
Namun yang agak aneh, saat kata tawaffa bertemu dengan Isa di al-Quran, suasananya menjadi rikuh dan terasa serba salah. Para mufassir berlomba-lomba menggeber berbagai kemungkinan adanya makna lain yang kita semua tahu kemana tendensinya. "Matinya" Isa sebenarnya telah disinggung dalam beberapa ayat, setidaknya bisa kita baca pada QS.Maryam 33 dan dialog panjang QS al-Maidah 167-8.
Setuju untuk Tidak Setuju
Saya ber-husnudzon saja, kitab-kitab tafsiir di atas disusun para mufassir dalam situasi konfrontatif antara Islam-Kristen. Mereka barangkali merasa perlu membangun tembok kukuh teologis untuk melindungi akidah umat Islam. Di Indonesia yang majemuk ini, tembok tersebut masih tetap terasa auranya hingga sekarang, bahkan sampai kapanpun. Persekusi atas nama keyakinan berserak banyak, dan sangat mungkin dikontribusi oleh tembok yang subtil ini. Lantas bagaimana mengatasi problem seperti ini? Entahlah. Menjebolnya bukanlah hal yang sepenuhnya bijak. Ia akan berimplikasi pada pengaburan identitas masing-masing.
Saya, sebagai Muslim bersyukur mendapati karya-karya besar sosok seperti Muqatil, Tabari, Zamakhsari dan Kathir. Usaha mereka mengapresiasi pandangannya patut dilestarikan. Dari mereka, yang tampak nyata oleh saya adalah tersedianya keragaman tafsir seputar peristiwa penyaliban dan wafatnya Isa. Umat Islam perlu berterima kasih karena keragaman ini semakin memudahkan kita memahami dan tidak gampang menyalahkan keyakinan orang lain. Dari Tabari, saya belajar kejujurannya menghampar hampir semua pandangan yang berbeda terkait peristiwa itu. Sangat jelas terlihat, dia begitu percaya diri umat tidak akan tersesat meski dissenting opinion para ulama dibuka ke publik. Memang, terdapat beberapa ciri ketidakpercaya-dirian seseorang dalam beragama, yakni ia yang selalu mudah was-was, kaya kekuatiran, punya keminderan melimpah, dan gampang merasa terancam oleh keyakinan lainnya. Ciri-ciri ini biasanya hanya akan menyebabkan seseorang terjerembab dalam tindak destruksi dan intoleransi. Wallohu a’lam.(*)
*Tulisan ini pertama kali tayang di Kompasiana.
**Aan Anshori | @aananshori |Jaringan Islam Anti-Diskriminasi| No.KARTANU 13.120612.0288.02