Pages

Monday, March 15, 2021

"Menemui" Pak SBY

Mungkin Pak SBY bukanlah sosok idola banyak orang akhir-akhir ini. Apalagi setelah ia dan partainya tengah menjalani lakon teraniya di balik isu kudeta.

Persentuhan terakhirku dengan SBY secara maya terjadi beberapa waktu lalu. Ketika itu aku bersuara agak keras seputar keinginannya membangun museum dengan bantuan dana provinsi. Museum itu akan didirikan di kota kelahirannya, Pacitan.

Pacitan bukanlah kota besar. Alih-alih, kabupaten ini termasuk kategori terpencil. Jauhnya minta ampun, terutama bagi orang yang belum pernah ke sana sebelumnya, sepertiku. Berkali-kali aku berpiki kota ini sangat cocok untuk pensiunan. Dekat pantai dan tidak terlalu ramai.

"Selamat datang di Pacitan Bumi Kelahiran SBY Presiden Republik Indonesia yang ke-6"

Aku melihat tulisan itu di balik kaca mobil yang aku tumpangi, Jumat (5/2/2021). Tanda sudah sampai Pacitan, setelah hampir dua jam aku tertidur melewati rute penuh kelokan dari Ponorogo.

Ya, akhirnya aku bisa mencapai kabupaten itu. Satu-satunya wilayah di Jawa Timur yang belum pernah aku kunjungi meski telah hidup satu provinsi.

Tulisan selamat datang itu ternyata masih cukup jauh dengan lokasi di mana aku akan mengisi acara Sekolah Gender PMII Putri. "Kurang 30 menit lagi kira-kira, gus" kata penjemputku. Aku menatapnya getir.

Setelah sempat beristirahat sejenak di warung kopi, akhirnya aku tiba di Paroki Fransiscus Xaverius. Aku langsung dibawa panitia ke meja besar tempat berkumpul banyak orang, termasuk Romo Sabas, empunya paroki. Panitia memang aku wanti-wanti agar mempertemukanku dengannya sebelum mengisi acara.

Meski tidak pernah berjumpa sebelumnya, aku tidak canggung sedikit pun dengannya. Aku kenal dekat banyak teman Romo Sabas. Pun sebaliknya. Jika ada orang bertanya padaku; dari paroki mana aku berasal, aku sudah menyiapkan jawabannya; semua paroki yang ada di wilayah keuskupan Surabaya -- bisa Kristus Raja, Santa Maria Jombang, Salib Suci, Kelsapa, SMTB, dan tentu M17. Aku memang merasa dekat dengan keuskupan ini, kecuali Mgr. Tikno tentu saja.

"Mo, dengan setulus hati, aku ingin mengucapkan matur nuwun memperbolehkan anak-anak PMII ikut menikmati bagian dari paroki ini. Aku memang tidak mau datang jika tempat pelatihannya tidak di gereja," kataku sembari mendedas aneka makanan di atas meja.

Aku menjelaskan motivasiku dibalik kenapa harus gereja. Romo Sabas tersenyum. Tanda sangat memahami motivasiku. Ia mengaku sangat senang jika parokinya senantiasa ramai dikunjungi banyak orang, khususnya dulur-dulur Islam. Menurutnya itu semakin menunjukkan betapa harmonisnya kehidupan di Pacitan selama ini.

Dengan berat hati aku kemudian pamit karena harus mengisi acara. Puluhan kader putri PMII sudah menungguku di ruang sebelah, persis di belakangku.

"Mo, sebelum usai, kami minta barokah doa dulu ya," pintaku sembari meminta beberapa panitia untuk mendekati meja. Romo Sabas terlihat agak kaget, begitu juga mas Bianto -salah satu jemaat yang ikut nongkrong dengan kami. Doa kemudian dilarungkan dengan penuh hikmat.

"Gus, aku yo pamit sik ya, mimpin ibadah sik. Mengko bar maghrib kita main ke GKJW. Grejo nang sebelah. Gak adoh kok," " kata Romo Sabas. Kami pun bubar, menunaikan tugas masing-masing.

Hampir tiga jam aku dan puluhan kader putri PMII Pacitan dan Ponorogo belajar tentang gender dan seksualitas. Suasananya begitu akrab, meski awalnya agak seret. Maklumlah, tidak ada yang lebih menantang ketimbang belajar dari pengalaman masing-masing. Sebagaimana sering aku sampaikan; perempuan di kalangan Islam-Sunni-Nahdliyyin-Jawa tidak terlalu terbiasa menyatakan secara merdeka apa yang dialami menyangkut seksualitas, apalagi di hadapan banyak lelaki. Ini berlaku sebaliknya juga.

"Pak, aku mau cerita," kata salah satu kader. Ia kemudian menceritakan betapa hidupnya sebagai perempuan dibedakan dalam keluarganya. Bapaknya pernah mau membelikan laptop dan motor.

"Lha tapi bapak tidak mau mendengarkanku. Yang ditanya selalu kakakku, laki-laki. Pokoknya dia yang menentukan apa yang terbaik untukku," ujarnya. Ia tidak mampu menahan kekesalannya.

"Podo, mbak. orang tuaku juga keberatan aku ikut pencak silat, padahal aku suka," timpal peserta lain.

Silih berganti mereka menarasikan ceritanya "sebagai perempuan," dalam kehidupan. Aku lebih banyak mendengarkan mereka. Sesekali aku menimpali dan menautkannya dengan materiku.

"Oke begini, siapa di antara kalian yang pernah berciuman?" tanyaku.

Sontak forum menjadi senyap. Aku perhatikan mereka. Malu-malu, menundukkan kepala sembari menahan tawa-tawa. Aku yakin belum ada satupun dari mereka yang pernah mengalaminya.

"Aku mau cerita, pak," perempuan yang dilarang ikut pencak silat mengacungkan tangannya. Ia memang tampak paling berani diantara peserta lainnya.

"Tentang ciuman?" tanyaku mengkonfirmasi.
"Iya" jawabnya tegas.
Semua sorot mata terarah padanya menikmati setiap kalimat yang ia rangkai seputar pengalamannya.

Aku sangat bersyukur menemukan banyak kader perempuan PMII yang mulai tumbuh keberaniannya --keberanian untuk menyatakan apa yang dialaminya selama ini. Keberanian akan menentukan masa depannya. Sebagaimana yang pernah dialami Lady Sukayna, Lady Diana, atau Meghan Markel.

Selesai forum, aku selanjutnya mengunjungi mas Sapto, pendeta yang melayani di GKJW Pacitan. Aku tidak sendirian. Ada Romo Sabas dan beberapa kader PMII yang ikut bersama.

"Mas, grejo sampeyan kok uapik. Gak koyo kebanyakan grejo GKJW yang aku temui," kataku kepada mas Sapto setelah mengelilingi komplek GKJW.

Bangunan GKJW terlihat menteren. Begitu juga ruang ibadah dan bangunan pendukung lainnya. Bagus sekali. Aku menduga jemaatnya pasti banyak.

"Gak akeh kok, gus. Hanya saja mereka militan," katanya sembari tertawa.

Aku dan Mas Sapto ternyata pernah bertemu saat di Banyuwangi. Ia pindahan dari sana. Aku sendiri sudah lupa jika tidak diingatkannya.

"Ini lho, gus, kita pernah berfoto," katanya sembari menyodorkan gadgetnya. Ada aku dia dan istrinya. Dengan polosnya aku menimpali, "Ini foto pas di mana ya, mas?" Tawa kami pun kembali berderai.

Hampir jam 9 malam. Dingin Pacitan mulai mengurung. Kami pamit. Aku sudah ditunggu puluhan anak PMII yang sudah berkumpul di STAINU Pacitan untuk berdiskusi seputar 9 nilai Gus Dur. Saking semangatnya, forum STAINU selesai sekitar jam 23 lebih.

Aku baru sadar jika tenggorokanku bermasalah. Suaraku tidak sempurna. Berkali-kali aku ngomong sesuatu namun yang keluar dalam bentuk bunyi hanya 60-70 persen saja. Terkorupsi entah di mana.

"Kepegelen, Gus, istirahat dulu. Nanti akan pulih," kata Romo Sabas, sekembalinya aku dari STAINU. Romo Sabas juga memintaku tidur di pastorinya. Aku mengiyakan. Panitia yang telah menyiapkan tempat beristirahat di rumah dinas seseorang bisa memakluminya.

Aku terus berusaha menormalisasi suaraku dengan cara terus ngomong. ternyata semakin sering ngomong suaraku semakin terkorupsi. Aku benar-benar panik karena sore harinya aku harus mengisi acara di TVRI Surabaya. Tubuhku benar-benar penat. Jika dihitung, aku memang nonstop berbicara lebih dari 8 jam, sejak pukul 15 hingga 23.30.

"Gusti, tolonglah aku," pintaku lirih sembari merebahkan tubuh di kasur. Sebenarnya aku malu sekali meminta tolong padaNya. Maksudku, betapa tidak tahu dirinya aku ini; menggunakan pemberianNya dengan ugal-ugalan kemudian meminta tolong saat rusak.

Yang mengagetkanku, panitia kemudian berinisiatif mengantarkanku sampai rumah. Membawa tubuhku yang lungkrah dari Pacitan menuju Jombang. Mungkin begitu besar anugerah yang aku terima sehingga tubuhku meminta penyesuaian. Penyesuaian yang tidak mudah. Tuah Kota Pak SBY memang benar-benar dahsyat.(8)

No comments:

Post a Comment