Cukup sering aku merasa hidupku seperti dikelilingi de javu --semacam perasaan menempuh dan mengalami hal sama. Salah satunya, peristiwa yang terjadi pada Jumat (27/8).
Aku bersama anak-anak muda, mahasiswa/i, menonton film yang pernah aku tonton bersama anak muda lainnya 9-10 tahun lalu. Judulnya 3 dunia 2 hati 1 Cinta.
Film jadul yang dibintangi Reza Radian dan Fira Basuki ini bercerita tentang lika-liku asmara beda agama antara Rosyid dan Delia; Islam dan Katolik.
BBukan tanpa sebab aku dan puluhan anak=anak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Univ. Darul Ulum dan Univ. Wahab Chasbullah memilih film ini.
Aku ingin mendorong mereka berani mengeksplorasi isu terlarang ini.
Dalam benak mereka, aku yakin, pacaran beda agama bukanlah hal yang patut dibanggakan. Alih-alih, hal tersebut bisa dianggap sebagai tanda penggelinciran iman; mencari kesengsaraan.
"Lha wong pacaran seagama saja belum tentu lancar apalagi beda agama," kira-kira-kira demikian yang ada dalam benak mereka.
Setelah tuntas menonton lebih dari 1,5 jam, kami pun berdiskusi. Forum dimoderatori Tama, kader PMII transpuan asal kampus Wahab Chasbullah.
Dia tampak agak gugup saat mengelola forum. Sangat mungkin karena di hadapan banyak peserta yang bukan dari kampusnya. Acara memang diselenggarakan di selasar Fakultas Ekonomi Univ. Darul Ulum.
Malam itu, ada dua narasumber yang hadir dari tiga yang telah direncanakan; Anggrani, pendeta GKJW Mutersari Bareng dan aku sendiri. Bill Halan tidak hadir karena kurang sehat badannya.
"Hai Anggra, welcome to my campus," sambutku sebelum acara. Dia datang bersama 3 anak muda, salah satunya adalah Yosia, mahasiswa Teologi UKDW yang sedang stage (baca; stasi) di gerejanya Anggra.
Anggra tampil mempesona malam itu. Betapa ia mengagumi uminya Rasyid dalam film tersebut.
Sosok sang umi begitu kuat menjembatani konflik Rosyid dan abahnya terkait Delia, pacar Rosyid yang Katolik. Sang abah sangat menentang pacaran beda agama --sekeras mama dan papanya Delia.
"Selain umi, saya juga sangat memahami betul perasaan yang dialami Delia," ujar Pdt. Anggra.
Aku meyakini dia, sebagai pendeta, memiliki pengalaman mempastorali jemaatnya yang mengalami hal sama. Pastilah tidak mudah.
Baginya, perpindahan agama yang kerap ditempuh banyak orang saat mencari jalan keluar relasi beda agama merupakan keniscayaan. Saat seseorang sampai pada titik tersebut, Anggra berpandangan ia haruslah memiliki komitman beragama secara serius, bukan hanya sekedar karena alasan perkawinan.
Keseriusan ini sekaligus menjadi titik tolak mengeksplorasi sejauhmana komitmen cinta kasih beda agama.
"Mencintai itu memerdekakan bukan memaksa, termasuk dalam urusan agama atau keyakinan," ujarku meneruskan sebagai narasumber kedua.
Jika ada kekuatiran setelah perkawinan beda agama, misalnya; nanti anaknya ikut agama bapak atau ibunya, bagaimana model beribadah keduanya, satunya makan babi dan lainnya mengharamkan --maka, menurutku, ada ketidakberesan saat pacarannya.
"Jangan-jangan pas pacaran, motifnya adalah penunduan agama satu atas agama lainnya? Kalau benar demikian maka aku meragukan ketulusan relasi tersebut," tambahku.
Penundukan tersebut, lanjutku, merupakan dampak pendidikan seputar agama yang dijejalkan kita sejak lahir. Kita dirawat untuk senantiasa merasa agama kita paling benar.
Kita terus menerus diracuni; bahwa agama lain adalah sesat dan lebih rendah dari kita. Yang paling membahayakan; kita terus diprovokasi bahwa mereka senantiasa membuat plot untuk merongrong agama kita.
Ujungnya, cara terbaik melumpuhkan sekaligus "menyelamatkan," mereka adalah dengan menggiringnya masuk agama kita.
Bahkan jika perlu, dengan cara licik, tipu daya, maupun kekerasan. Rasanya aneh, namun melegakan bagi sebagian orang.
"Bagaimana dengan sikap Islam seputar pindah agama? Bukankah telah jelas disampaikan dalam AlQuran?" tanya seorang peserta.
Alquran adalah kitab pedoman kita, jawabku. Menurutku, kitab ini terlalu suci yang tidak membutuhkan sepasukan orang untuk memaksa orang lain agar percaya ia sebagai kitab petunjuk.
Lemah sekali agama kita seandainya memaksa pengikutnya untuk mempersekusi orang lain agar mempercayainya.
"Tidak ada paksaan dalam Islam," jawabku. Saat banyak orang Islam ikut kerabatnya yang Yahudi meninggalkan Madinah karena pengusiran, Nabi memperbolehkan hal tersebut.
Mereka tidak dipaksa tinggal di Madinah bersama orang-orang Islam. Demikianlah konteks turunnya ayat tersebut.
"Lalu, gus, bukankah telah jelas dalam AlQuran 2:221, seorang Muslim tidak diperkenankan menikahi orang musyrik?" ujar yang lain.
Musyrik itu menyekutukan tuhan, jawabku. Yang percaya Tuhan, dalam ayat tersebut, dinamakan mukmin. Bahasa Inggrisnya; The Believers.
"Sekarang aku akan tanya pendeta Anggra," ujarku sembari langsung menatap Anggra yang duduk di sampingku. "Kamu dan semua orang Kristen, apakah menyekutukan Tuhan?"
"Yo enggak lah, gus," sahutnya sembari tertawa.
Mukmin, menurutku, adalah mereka yang mempercayai adanya Gusti. The Believers. Tidak hanya orang Islam saja, namun juga Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya.
Dengan demikian, lanjutku di forum, Al-quran QS. 2:221 tidak cukup relevan digunakan untuk mengatur larang perkawinan Islam-Kristen. Apalagi menurutku telah jelas pemeluk Kristen memiliki kitab yang keberadaannya juga wajib diimani oleh orang Islam, merujuk pada QS 2:4.
"Bayangkan, mana mungkin kita tega mengutuk kebahagiaan yang kuat terpancar dari raut muka Tenaya dan Nathanael?" ujarku meyakinkan peserta diskusi sembari menayangkan video pendek "Mesranya Cinta Terlarang," karya Norfa Baroroh, mahasiswiku di Ciputra. https://www.youtube.com/watch?v=kOBSwufNJQw
Malam itu, aku merasa cukup banyak berondongan bersifat teologis dari peserta forum. Begitu banyak ayat-ayat Alquran disemai dan dikutip untuk mempertahankan keyakinan yang selama ini memang dihidupi.
Sejujurnya, aku sangat senang dengan hal itu. Sangat mengasyikkan dapat mendengar mereka berargumentasi menggunakan kitab sucinya.
Namun bagaimana dengan perasaan Pdt. Anggra yang menyaksikan itu semua? Apa yang ada dalam benaknya saat tahu kuatnya resistensi dalam forum tersebut?
Aku memilih membiarkannya, tidak menanyakannya secara khusus saat diskusi usai. Yang justru aku sampaikan adalah rasa senangku melihat kampus ini kembali dikunjungi pendeta GKJW.
"Tahukah kamu kapan terakhir kali pendeta GKJW mengisi acara di kampus ini?" tanyaku
"Kapan, gus?" tanyanya pendek
"Sekitar tahun 2011 atau 2012. Saat itu Nicky yang ke sini," ujarku sembari mengantarkan Anggra ke mobil.
Pelan-pelan kendaraan itu ditelan gelapnya kampus. Balik ke GKJW Mutersari. Thank you Anggra.