Pages

Tuesday, August 31, 2021

ANGGRA DAN PACARAN BEDA AGAMA

Cukup sering aku merasa hidupku seperti dikelilingi de javu --semacam perasaan menempuh dan mengalami hal sama. Salah satunya, peristiwa yang terjadi pada Jumat (27/8).

Aku bersama anak-anak muda, mahasiswa/i, menonton film yang pernah aku tonton bersama anak muda lainnya 9-10 tahun lalu. Judulnya 3 dunia 2 hati 1 Cinta.

Film jadul yang dibintangi Reza Radian dan Fira Basuki ini bercerita tentang lika-liku asmara beda agama antara Rosyid dan Delia; Islam dan Katolik.

BBukan tanpa sebab aku dan puluhan anak=anak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Univ. Darul Ulum dan Univ. Wahab Chasbullah memilih film ini.

Aku ingin mendorong mereka berani mengeksplorasi isu terlarang ini.

Dalam benak mereka, aku yakin, pacaran beda agama bukanlah hal yang patut dibanggakan. Alih-alih, hal tersebut bisa dianggap sebagai tanda penggelinciran iman; mencari kesengsaraan.

"Lha wong pacaran seagama saja belum tentu lancar apalagi beda agama," kira-kira-kira demikian yang ada dalam benak mereka.

Setelah tuntas menonton lebih dari 1,5 jam, kami pun berdiskusi. Forum dimoderatori Tama, kader PMII transpuan asal kampus Wahab Chasbullah.

Dia tampak agak gugup saat mengelola forum. Sangat mungkin karena di hadapan banyak peserta yang bukan dari kampusnya. Acara memang diselenggarakan di selasar Fakultas Ekonomi Univ. Darul Ulum.

Malam itu, ada dua narasumber yang hadir dari tiga yang telah direncanakan; Anggrani, pendeta GKJW Mutersari Bareng dan aku sendiri. Bill Halan tidak hadir karena kurang sehat badannya.

"Hai Anggra, welcome to my campus," sambutku sebelum acara. Dia datang bersama 3 anak muda, salah satunya adalah Yosia, mahasiswa Teologi UKDW yang sedang stage (baca; stasi) di gerejanya Anggra.

Anggra tampil mempesona malam itu. Betapa ia mengagumi uminya Rasyid dalam film tersebut.

Sosok sang umi begitu kuat menjembatani konflik Rosyid dan abahnya terkait Delia, pacar Rosyid yang Katolik. Sang abah sangat menentang pacaran beda agama --sekeras mama dan papanya Delia.

"Selain umi, saya juga sangat memahami betul perasaan yang dialami Delia," ujar Pdt. Anggra.

Aku meyakini dia, sebagai pendeta, memiliki pengalaman mempastorali jemaatnya yang mengalami hal sama. Pastilah tidak mudah.

Baginya, perpindahan agama yang kerap ditempuh banyak orang saat mencari jalan keluar relasi beda agama merupakan keniscayaan. Saat seseorang sampai pada titik tersebut, Anggra berpandangan ia haruslah memiliki komitman beragama secara serius, bukan hanya sekedar karena alasan perkawinan.

Keseriusan ini sekaligus menjadi titik tolak mengeksplorasi sejauhmana komitmen cinta kasih beda agama.

"Mencintai itu memerdekakan bukan memaksa, termasuk dalam urusan agama atau keyakinan," ujarku meneruskan sebagai narasumber kedua.

Jika ada kekuatiran setelah perkawinan beda agama, misalnya; nanti anaknya ikut agama bapak atau ibunya,  bagaimana model beribadah keduanya, satunya makan babi dan lainnya mengharamkan --maka, menurutku, ada ketidakberesan saat pacarannya.

"Jangan-jangan pas pacaran, motifnya adalah penunduan agama satu atas agama lainnya? Kalau benar demikian maka aku meragukan ketulusan relasi tersebut," tambahku.

Penundukan tersebut, lanjutku, merupakan dampak pendidikan seputar agama yang dijejalkan kita sejak lahir. Kita dirawat untuk senantiasa merasa agama kita paling benar.

Kita terus menerus diracuni; bahwa agama lain adalah sesat dan lebih rendah dari kita. Yang paling membahayakan; kita terus diprovokasi bahwa mereka senantiasa membuat plot untuk merongrong agama kita.

Ujungnya, cara terbaik melumpuhkan sekaligus "menyelamatkan," mereka adalah dengan menggiringnya masuk agama kita.

Bahkan jika perlu, dengan cara licik, tipu daya, maupun kekerasan. Rasanya aneh, namun melegakan bagi sebagian orang.

"Bagaimana dengan sikap Islam seputar pindah agama? Bukankah telah jelas disampaikan dalam AlQuran?" tanya seorang peserta.

Alquran adalah kitab pedoman kita, jawabku. Menurutku, kitab ini terlalu suci yang tidak membutuhkan sepasukan orang untuk memaksa orang lain agar percaya ia sebagai kitab petunjuk.

Lemah sekali agama kita seandainya memaksa pengikutnya untuk mempersekusi orang lain agar mempercayainya.

"Tidak ada paksaan dalam Islam," jawabku. Saat banyak orang Islam ikut kerabatnya yang Yahudi meninggalkan Madinah karena pengusiran, Nabi memperbolehkan hal tersebut.

Mereka tidak dipaksa tinggal di Madinah bersama orang-orang Islam. Demikianlah konteks turunnya ayat tersebut.

"Lalu, gus, bukankah telah jelas dalam AlQuran 2:221, seorang Muslim tidak diperkenankan menikahi orang musyrik?" ujar yang lain.

Musyrik itu menyekutukan tuhan, jawabku. Yang percaya Tuhan, dalam ayat tersebut, dinamakan mukmin. Bahasa Inggrisnya; The Believers.

"Sekarang aku akan tanya pendeta Anggra," ujarku sembari langsung menatap Anggra yang duduk di sampingku. "Kamu dan semua orang Kristen, apakah menyekutukan Tuhan?"

"Yo enggak lah, gus," sahutnya sembari tertawa.

Mukmin, menurutku, adalah mereka yang mempercayai adanya Gusti. The Believers. Tidak hanya orang Islam saja, namun juga Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya.

Dengan demikian, lanjutku di forum, Al-quran QS. 2:221 tidak cukup relevan digunakan untuk mengatur larang perkawinan Islam-Kristen. Apalagi menurutku telah jelas pemeluk Kristen memiliki kitab yang keberadaannya juga wajib diimani oleh orang Islam, merujuk pada QS 2:4.

"Bayangkan, mana mungkin kita tega mengutuk kebahagiaan yang kuat terpancar dari raut muka Tenaya dan Nathanael?" ujarku meyakinkan peserta diskusi sembari menayangkan video pendek "Mesranya Cinta Terlarang," karya Norfa Baroroh, mahasiswiku di Ciputra. https://www.youtube.com/watch?v=kOBSwufNJQw

Malam itu, aku merasa cukup banyak berondongan bersifat teologis dari peserta forum. Begitu banyak ayat-ayat Alquran disemai dan dikutip untuk mempertahankan keyakinan yang selama ini memang dihidupi.

Sejujurnya, aku sangat senang dengan hal itu. Sangat mengasyikkan dapat mendengar mereka berargumentasi menggunakan kitab sucinya.

Namun bagaimana dengan perasaan Pdt. Anggra yang menyaksikan itu semua? Apa yang ada dalam benaknya saat tahu kuatnya resistensi dalam forum tersebut?

Aku memilih membiarkannya, tidak menanyakannya secara khusus saat diskusi usai. Yang justru aku sampaikan adalah rasa senangku melihat kampus ini kembali dikunjungi pendeta GKJW.

"Tahukah kamu kapan terakhir kali pendeta GKJW mengisi acara di kampus ini?" tanyaku
"Kapan, gus?" tanyanya pendek
"Sekitar tahun 2011 atau 2012. Saat itu Nicky yang ke sini," ujarku sembari mengantarkan Anggra ke mobil.

Pelan-pelan kendaraan itu ditelan gelapnya kampus. Balik ke GKJW Mutersari. Thank you Anggra.

Sunday, August 8, 2021

I Will Not Make It Easier For You


Sejak kemarin pikiranku agak terganggu dengan peristiwa di Menganti Gresik. Seorang bayi meninggal, agamanya Kristen, dan tidak boleh dimakamkan di desanya.

Dari data kartu keluarga yang aku dapatkan, adik bayi ini adalah satu-satunya anak yang beragama Kristen. Ia punya tiga saudara/i. Semuanya Islam. Ayah ibunya Kristen.

Status tiga anaknya yang Islam menurutku cukup unik. Sangat mungkin orang tuanya sangat memahami situasi yang akan dihadapinya saat mereka tetap berkristen -- situasi yang kini menimpa adik bungsu mereka.

Aku berpikir kenapa ada komunitas Islam setega itu, melarang warganya mendapatkan hak yang setara, gara-gara tidak seagama.

Peristiwa ini sekaligus menambah daftar praktek diskriminasi pemakaman di Jawa Timur. Sebelumnya, dua warga desa Sooko Mojokerto juga dilarang dimakamkan di desanya, karena keduanya bukan Islam.


"Bagaimana terlukanya seandainya orang Islam diperlakukan seperti itu?" batinku. Pastilah sangat menyakitkan.

Meskipun pada akhirnya adik bayi tersebut bisa dimakamkan di pekuburan Kristen namun bukanlah itu masalahnya, kan?

Peristiwa demi peristiwa ini membuatku makin berkomitmen mendorong sebanyak mungkin orang Islam berkenalan dengan Kekristenan. Kurangnya pengetahuan sangat mungkin membawa seseorang tega bertindak intoleran. 

Pagi ini, Minggu (8/8), aku bersyukur bisa mewujudkan komitmen tersebut. Sebanyak lebih dari 20 mahasiswa/i Islam aku ajak mengunjungi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jombang. 

Mereka adalah adik-adikku, peserta pelatihan kader dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayom Tabassam Fakultas Agama Islam Universitas Wahab Hasbullah Tanbakberas.

Aku memang mengajukan syarat ketika diminta mengampu sesi "Berkenalan dengan Teori Perubahan Sosial,"; lokasinya harus di gereja.

Kenapa harus gereja? 

Aku ingin memberikan kesan tak terlupakan pada mereka. Sebuah kesan yang aku yakin mampu mengupgrade keislaman mereka. 

"Selamat datang di gerejaku. Beruntunglah kalian, masuk di PMII dan bertemu denganku. Tak semua organisasi mahasiswa berlabel Islam menyediakan fasilitas masuk ke gereja seperti PMII," kataku saat menyambut mereka. Aku melihat ada larikan bangga di wajah mereka. 

Aku memang memakai kata "gerejaku," sebab aku merasa sangat dekat dengan GKJW Jombang. Sudah dianggap keluarganya sendiri. 

Jika tidak, mana mungkin mas Yono, pendeta GKJW Jombang, memperbolehkanku berkunjung dalam tempo waktu yang singkat. Surat kunjungan aku buat dua hari sebelum acara. Cukup mendadak.


"Mas, aku nyelang grejone yo. Aku mau bawa adik-adikku PMII ke sana," ujarku padanya.

Mas Yono sangat welcomed meski ia sendiri tak bisa menemani pagi ini karena harus ke Banyuwangi. Maka Pak Soleh didapuk untuk menerima kami. Dia adalah salah satu jemaat senior. Guru Injil juga. 

"Apa artinya lambang A dan Omega itu?", "Hiasan itu apa maknanya?", "Itu foto dan lukisan bercerita tentang apa?", "Bagaimana gereja ini merespon konflik?", " Bagaimana gereja mengembangkan dirinya?" 

Itulah deretan pertanyaan yang diberondongkan peserta saat acara penyambutan di ruang ibadah GKJW.  Aku memang secara spesifik meminta mereka menjajal kursi yang biasa digunakan para jemaat beribadah.

Aku ingin mereka --dengan segenap keislaman klasik yang mereka miliki- merasakan sebanyak mungkin pengalaman yang tidak setiap hari ditemui. 

"Mana mungkin kamu bisa masuk gereja seperti ini saat di rumah, ndak mungkinlah.." kataku pada salah satu panitia, cewek, dari Jambi. 

"Hahahaaa, iyaa, kalau nggak di Jombang, nggak bisa kayak gini, gus," ujarnya sumringah. 

Pagi itu semua peserta dan panitia begitu menikmati kunjungan tersebut. Ada beberapa dari mereka aku undang maju menceritakan kesannya pagi tadi. 

Di akhir acara, aku menginjak kencang "pedal gas," dengan cara meminta Pak Soleh menutup acara dengan doa a la Kristen. Biar lebih mantap keseluruhan prosesnya.

"Kalau kamu takut autokristen, silahkan cek kolom agama di KTP kalian. Kalau berubah Kristen, aku sanggup menguruskannya di Dispendukcapil," ujarku guyon. Mereka pun ngakak. 

Dalam hati, aku berkata lirih; silahkan saja membawa agamaku menjadi alat intoleransi but merely keep my promise that I will not make it easier for you!

#pkd1tabassam

Wednesday, August 4, 2021

Come Sunday; "Korupsi Iman," Jemaat sebagai Taruhan


Apa yang paling menangkutkan seseorang selain kehilangan pengikut? Apalagi jika hampir semua aspek kehidupannya terkoneksi dengan mereka --dari harga diri kehormatan hingga periuk nasi.

Ini adalah tulisan ketiga (terakhir) dari serial "Tiga Korupsi Selama PPKM," Tulisan pertama di https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288208663186/?app=fbl dan ini yang kedua https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288226143623/?app=fbl

Hari Minggu malam, (26/7), aku menonton film apik, "Come Sunday," menceritakan sosok kontroversial Carlton Pearson. Orangnya masih hidup hingga sekarang 

Pearson adalah pendeta dengan jemaat sekitar 6000 orang, melayani di the Higher Dimensions Evangelistic Center Incorporated --sebelum akhirnya berubah menjadi Higher Dimensions Family Church. Gereja ini merupakan salah satu yang terbesar di daerah Tulsa Oklahoma Amerika.

Seperti halnya pendeta pada umumnya, Pearson juga mengkhotbankan ajaran; Yesus sebagai juruselamat; siapapun yang memilihNya berarti terselamatkan. Bagi yang tidak, secara otomatis, tidak akan selamat.

Film tersebut begitu apiknya menggambarkan kepiawaiannya; merangkai kata-kata dan mengaktualisasikannya di atas mimbar. Jadwal manggungnya penuh. 

Almamaternya, Oral Robert University, begitu bangga terhadap alumninya ini. Pendek kata,  tidak ada satupun jemaat yang tidak suka dengannya. Hingga kemudian ia terperosok ke dalam "jurang kesesatan," bernama inklusivisme.

Inklusivisme mengajarkan pemahaman bahwa suatu agama secara eksplisit benar, sementara agama lain secara implisit juga benar dan Tuhan MENERIMA iman implisit sebagai pengganti iman eksplistit di dalam Kristus. 

Sederhananya begini; dalam pandangan Pierson, orang Kristen tidak bisa lagi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang terselamatkan. Keselamatan juga ada di agama lain. "Dan itu adalah doktrin Kristus," ujarnya.

Gereja pun geger.

Satu per satu jemaatnya tidak lagi mau bergereja di tempat Pierson. Kursi gereja semakin lama semakin melompong. Jemaatnya tinggal beberapa gelintir saja.

Beberapa rekan sepelayanan dan juga kampusnya meminta Pierson untuk segera "kembali kepada Yesus," 

Kehidupan Piersen, dalam arti sesungguhnya, makin "terpuruk. setelah ia divonis "sesat," sekelompok pendeta beraliran Pentacostal.

“We do hereby declare that the doctrine of Inclusionism is an unorthodox teaching and shall be classified as a heresy by the Joint College of African-American Pentecostal Bishops Congress,” tulis Bishop Cliffort Leon Frazier.

Sebelum "vonis," tersebut dijatuhkan, Pierson diminta melakukan klarifikasi teologis di hadapan forum pendeta, Maret 2003. Alih-alih menyerah, dalam film tersebut, ia malah terlibat debat dengan salah satu pendeta senior di forum tersebut.

“A more careful study of Scriptures will reveal that salvation is also and, perhaps more often or more comprehensively, pictured in a universally inclusive way, in which God is redeemer of the whole world or creation, including all human beings,” ujarnya, sebagaimana aku kutip dari laman aplogeticsindexdotorg.

Namun bagiamana ia sampai pada "belokan tajam," teologis seperti ini? Setidaknya ada dua moment tergambar dalam film tersebut. 

Pertama, kematian Quincy, pamannya, di penjara dengan cara gantung diri. Pierson merasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkannya --padahal ia dikenal sebagai juruselamat di gerejanya. 

Sebelum gantung diri Quincy meminta tolong Pierson menulis surat pembebasan bersyarat kepada otoritas penjara. Namun Pierson menolak. Padahal ia sebenarnya bisa melakukan hal itu. 

Kedua, ditengah kekalutan atas kematian Quincy, ia menonton konflik di Rwanda Afrika, yang mengakibatkan ratusan ribu orang dan anak tak berdosa mati.  Ia dengan galau membawa masalah ini ke atas mimbar, di hadapan ribuan jemaatnya.


"God, I don't know how you can call yourself a loving, sovereign God and let these people suffer like this. Oh, God. None of them are saved. They don't know Christ. They're not born again. And when they die, you just suck 'em down into hell. Oh, God." kata Pierson, mencoba menggugat tuhan di hadapan ribuan jemaatnya.

Gugatan kepadaNya makin tajam, setajam silet. "All my life, I've been taught it. Everything I know points to a choice, heaven or hell. Many people I loved... members of my own family went to hell, and they're there for good. Now, I could never reconcile that, but I do accept it, because they had a choice. But when did these people in Africa separate from God? When did they make a choice? And how do they get saved?"

Jemaatnya semakin hanyut dengan khotbah memukaunya dan sangat penasaran apa kira-kira yang akan dijawab Tuhan atas gugatan Pierson. 

"And He (God)  said, 'They don't need to get saved. They're already saved. And I've taken them into my presence. They will all be with me... in heaven.'"

Jemaat pun geger, menganggap panutannya tengah mengkorupsi pemahaman yang sudah lama mapan; Yesus hanya menyelamatkan orang Kristen saja.

------------

Secara personal, aku agak heran apa yang  yang membuat doktrin inklusi menjadi spesial sehingga perlu difilmkan, apalagi kejadiannya berlangsung di zaman modern? 

Aku merasa memiliki banyak teman pendeta yang memiliki pandangan seperti ini, setidaknya saat berdiskusi denganku atau di forum ilmiah terbatas.

"Namun, gus, mana berani mereka ngomong hal itu di mimbar? Bisa-bisa ditanggalkan kependetaan mereka," ujar salah satu temanku, pendeta, saat aku ajak ngobrol soal ini.

Aku percaya setiap orang membutuhkan proses untuk bisa sampai pada inklusi model Pierson. Ia seperti sedang memperluas pemaknaan tentang keberadaan Yesus; dari model ekslusif menjadi inklusif. 

Pearson mengingatku pada almarhum Gus Dur yang pernah mengatakan kelahiran Yesus tidak hanya untuk orang Kristen saja. Alih-alih, putra biologis Maria ini merupakan penyelamat (savior) bagi semua orang; baik yang mau mengakuinya atau tidak.

Model pemikiran Gus Dur maupun Pierson berangkali berpijak pada refleksi sederhana; Tuhan tidak membutuhkan pengakuan sebagai syarat bagiNya untuk memberikan kasih.

Kasih Alloh seperti halnya matahari. Sinarnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Tidak peduli apakah manusia mempercayai atau mengkhianatiNya. 

Tidaklah mungkin sinar matahari --yang dianggap berada dalam kontrol penuh tuhan-- bersinar secara diskriminatif, hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang percaya padaNya saja.

Logika kemahapemurahan Tuhan sangat mungkin berlaku juga bagi surgaNya. 

Dalam keyakinanku, surga akan memiliki banyak pintu, yang bisa diakses siapa saja, seperti halnya Gelora Bung Karno yang memiliki banyak pintu. Pintu surga nanti bisa jadi jumlahnya ribuan --sejumlah agama/kepercayaan yang ada di dunia

Tuhan bertindak seperti itu karena Dia mampu untuk itu --sekali lagi, atas dasar kemurahan dan pengampunanNya. 


Dua hal itulah yang menjadi kunci kenapa ia berstatus sebagai Tuhan. Sebab jika dia manusia maka niscaya ia akan bertindak seperti kebanyakan dari kita; cenderung berpandangan dan bersikap bias. 

Nah Pearson, dalm film tersebut, masuk dalam level pemahaman ini. Baginya, kemurahan hati Yesus, dimaknai secara lebih luas --tidak hanya terbatas pada mereka yang berstatus formal sebagai Kristen/Katolik.

Pearson mengingatkanku pada seminar dan lokakarya di mana aku pernah terlibat di dalamnya. Temanya cukup menohok; De-centering perspective on Evangelism. Acaranya di Jakarta 2018 diselenggarakan oleh Council for World Mission, full bahasa Inggris. 

Seperti judulnya, kegiatan ini berkehendak menegaskan "arah baru," penginjilan; dari model klasik --konversi agama-- menuju penginjilan yang lebih luas -- melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan, termasuk minoritas gender dan seksual. 

Penginjilan bermakna konversi, tidak hanya dianggap telah usang namun juga dipenuhi oleh kuasa imperialisme-kolonialistik, setidaknya demikian yang aku cerna dari presentasi Dr. Gladson Jathanna, "Post-colonial Perspectives on Evangelism: Evangelism as Violence, Sinful Evangelism,"

Jathanna sangat mungkin memahami pergulatan orang-orang seperti Pearson. Atau bahkan, ia juga mengalaminya sendiri.

Di film tersebut Pearson memang benar-benar berada dalam sebuah pergumulan dahsyat, tidak hanya secara imani namun juga dalam kesehariannya. Para mantan jemaatnya memandang pria ini dan keluarganya dengan tatapan sinis dan perasaan iba. 

Aku merasa ia tengah disalib seperti halnya Yesus, tuhannya. Pearson "disalib" demi menemukan esensi kekristenan yang ia yakini selama puluhan tahun; pemaham kekristenan yang terkorupsi. 

Dan seperti yang sudah bisa diduga, "penyaliban," itu tidaklah sia-sia, setidaknya dalam film tersebut.

Bagaimana dengan dinamika telogis-praktis seperti ini di agama lainnya --khususnya Islam? Wallohu a'lam.(*)