Pages

Wednesday, August 4, 2021

Come Sunday; "Korupsi Iman," Jemaat sebagai Taruhan


Apa yang paling menangkutkan seseorang selain kehilangan pengikut? Apalagi jika hampir semua aspek kehidupannya terkoneksi dengan mereka --dari harga diri kehormatan hingga periuk nasi.

Ini adalah tulisan ketiga (terakhir) dari serial "Tiga Korupsi Selama PPKM," Tulisan pertama di https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288208663186/?app=fbl dan ini yang kedua https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288226143623/?app=fbl

Hari Minggu malam, (26/7), aku menonton film apik, "Come Sunday," menceritakan sosok kontroversial Carlton Pearson. Orangnya masih hidup hingga sekarang 

Pearson adalah pendeta dengan jemaat sekitar 6000 orang, melayani di the Higher Dimensions Evangelistic Center Incorporated --sebelum akhirnya berubah menjadi Higher Dimensions Family Church. Gereja ini merupakan salah satu yang terbesar di daerah Tulsa Oklahoma Amerika.

Seperti halnya pendeta pada umumnya, Pearson juga mengkhotbankan ajaran; Yesus sebagai juruselamat; siapapun yang memilihNya berarti terselamatkan. Bagi yang tidak, secara otomatis, tidak akan selamat.

Film tersebut begitu apiknya menggambarkan kepiawaiannya; merangkai kata-kata dan mengaktualisasikannya di atas mimbar. Jadwal manggungnya penuh. 

Almamaternya, Oral Robert University, begitu bangga terhadap alumninya ini. Pendek kata,  tidak ada satupun jemaat yang tidak suka dengannya. Hingga kemudian ia terperosok ke dalam "jurang kesesatan," bernama inklusivisme.

Inklusivisme mengajarkan pemahaman bahwa suatu agama secara eksplisit benar, sementara agama lain secara implisit juga benar dan Tuhan MENERIMA iman implisit sebagai pengganti iman eksplistit di dalam Kristus. 

Sederhananya begini; dalam pandangan Pierson, orang Kristen tidak bisa lagi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang terselamatkan. Keselamatan juga ada di agama lain. "Dan itu adalah doktrin Kristus," ujarnya.

Gereja pun geger.

Satu per satu jemaatnya tidak lagi mau bergereja di tempat Pierson. Kursi gereja semakin lama semakin melompong. Jemaatnya tinggal beberapa gelintir saja.

Beberapa rekan sepelayanan dan juga kampusnya meminta Pierson untuk segera "kembali kepada Yesus," 

Kehidupan Piersen, dalam arti sesungguhnya, makin "terpuruk. setelah ia divonis "sesat," sekelompok pendeta beraliran Pentacostal.

“We do hereby declare that the doctrine of Inclusionism is an unorthodox teaching and shall be classified as a heresy by the Joint College of African-American Pentecostal Bishops Congress,” tulis Bishop Cliffort Leon Frazier.

Sebelum "vonis," tersebut dijatuhkan, Pierson diminta melakukan klarifikasi teologis di hadapan forum pendeta, Maret 2003. Alih-alih menyerah, dalam film tersebut, ia malah terlibat debat dengan salah satu pendeta senior di forum tersebut.

“A more careful study of Scriptures will reveal that salvation is also and, perhaps more often or more comprehensively, pictured in a universally inclusive way, in which God is redeemer of the whole world or creation, including all human beings,” ujarnya, sebagaimana aku kutip dari laman aplogeticsindexdotorg.

Namun bagiamana ia sampai pada "belokan tajam," teologis seperti ini? Setidaknya ada dua moment tergambar dalam film tersebut. 

Pertama, kematian Quincy, pamannya, di penjara dengan cara gantung diri. Pierson merasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkannya --padahal ia dikenal sebagai juruselamat di gerejanya. 

Sebelum gantung diri Quincy meminta tolong Pierson menulis surat pembebasan bersyarat kepada otoritas penjara. Namun Pierson menolak. Padahal ia sebenarnya bisa melakukan hal itu. 

Kedua, ditengah kekalutan atas kematian Quincy, ia menonton konflik di Rwanda Afrika, yang mengakibatkan ratusan ribu orang dan anak tak berdosa mati.  Ia dengan galau membawa masalah ini ke atas mimbar, di hadapan ribuan jemaatnya.


"God, I don't know how you can call yourself a loving, sovereign God and let these people suffer like this. Oh, God. None of them are saved. They don't know Christ. They're not born again. And when they die, you just suck 'em down into hell. Oh, God." kata Pierson, mencoba menggugat tuhan di hadapan ribuan jemaatnya.

Gugatan kepadaNya makin tajam, setajam silet. "All my life, I've been taught it. Everything I know points to a choice, heaven or hell. Many people I loved... members of my own family went to hell, and they're there for good. Now, I could never reconcile that, but I do accept it, because they had a choice. But when did these people in Africa separate from God? When did they make a choice? And how do they get saved?"

Jemaatnya semakin hanyut dengan khotbah memukaunya dan sangat penasaran apa kira-kira yang akan dijawab Tuhan atas gugatan Pierson. 

"And He (God)  said, 'They don't need to get saved. They're already saved. And I've taken them into my presence. They will all be with me... in heaven.'"

Jemaat pun geger, menganggap panutannya tengah mengkorupsi pemahaman yang sudah lama mapan; Yesus hanya menyelamatkan orang Kristen saja.

------------

Secara personal, aku agak heran apa yang  yang membuat doktrin inklusi menjadi spesial sehingga perlu difilmkan, apalagi kejadiannya berlangsung di zaman modern? 

Aku merasa memiliki banyak teman pendeta yang memiliki pandangan seperti ini, setidaknya saat berdiskusi denganku atau di forum ilmiah terbatas.

"Namun, gus, mana berani mereka ngomong hal itu di mimbar? Bisa-bisa ditanggalkan kependetaan mereka," ujar salah satu temanku, pendeta, saat aku ajak ngobrol soal ini.

Aku percaya setiap orang membutuhkan proses untuk bisa sampai pada inklusi model Pierson. Ia seperti sedang memperluas pemaknaan tentang keberadaan Yesus; dari model ekslusif menjadi inklusif. 

Pearson mengingatku pada almarhum Gus Dur yang pernah mengatakan kelahiran Yesus tidak hanya untuk orang Kristen saja. Alih-alih, putra biologis Maria ini merupakan penyelamat (savior) bagi semua orang; baik yang mau mengakuinya atau tidak.

Model pemikiran Gus Dur maupun Pierson berangkali berpijak pada refleksi sederhana; Tuhan tidak membutuhkan pengakuan sebagai syarat bagiNya untuk memberikan kasih.

Kasih Alloh seperti halnya matahari. Sinarnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Tidak peduli apakah manusia mempercayai atau mengkhianatiNya. 

Tidaklah mungkin sinar matahari --yang dianggap berada dalam kontrol penuh tuhan-- bersinar secara diskriminatif, hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang percaya padaNya saja.

Logika kemahapemurahan Tuhan sangat mungkin berlaku juga bagi surgaNya. 

Dalam keyakinanku, surga akan memiliki banyak pintu, yang bisa diakses siapa saja, seperti halnya Gelora Bung Karno yang memiliki banyak pintu. Pintu surga nanti bisa jadi jumlahnya ribuan --sejumlah agama/kepercayaan yang ada di dunia

Tuhan bertindak seperti itu karena Dia mampu untuk itu --sekali lagi, atas dasar kemurahan dan pengampunanNya. 


Dua hal itulah yang menjadi kunci kenapa ia berstatus sebagai Tuhan. Sebab jika dia manusia maka niscaya ia akan bertindak seperti kebanyakan dari kita; cenderung berpandangan dan bersikap bias. 

Nah Pearson, dalm film tersebut, masuk dalam level pemahaman ini. Baginya, kemurahan hati Yesus, dimaknai secara lebih luas --tidak hanya terbatas pada mereka yang berstatus formal sebagai Kristen/Katolik.

Pearson mengingatkanku pada seminar dan lokakarya di mana aku pernah terlibat di dalamnya. Temanya cukup menohok; De-centering perspective on Evangelism. Acaranya di Jakarta 2018 diselenggarakan oleh Council for World Mission, full bahasa Inggris. 

Seperti judulnya, kegiatan ini berkehendak menegaskan "arah baru," penginjilan; dari model klasik --konversi agama-- menuju penginjilan yang lebih luas -- melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan, termasuk minoritas gender dan seksual. 

Penginjilan bermakna konversi, tidak hanya dianggap telah usang namun juga dipenuhi oleh kuasa imperialisme-kolonialistik, setidaknya demikian yang aku cerna dari presentasi Dr. Gladson Jathanna, "Post-colonial Perspectives on Evangelism: Evangelism as Violence, Sinful Evangelism,"

Jathanna sangat mungkin memahami pergulatan orang-orang seperti Pearson. Atau bahkan, ia juga mengalaminya sendiri.

Di film tersebut Pearson memang benar-benar berada dalam sebuah pergumulan dahsyat, tidak hanya secara imani namun juga dalam kesehariannya. Para mantan jemaatnya memandang pria ini dan keluarganya dengan tatapan sinis dan perasaan iba. 

Aku merasa ia tengah disalib seperti halnya Yesus, tuhannya. Pearson "disalib" demi menemukan esensi kekristenan yang ia yakini selama puluhan tahun; pemaham kekristenan yang terkorupsi. 

Dan seperti yang sudah bisa diduga, "penyaliban," itu tidaklah sia-sia, setidaknya dalam film tersebut.

Bagaimana dengan dinamika telogis-praktis seperti ini di agama lainnya --khususnya Islam? Wallohu a'lam.(*)

No comments:

Post a Comment