Dari data kartu keluarga yang aku dapatkan, adik bayi ini adalah satu-satunya anak yang beragama Kristen. Ia punya tiga saudara/i. Semuanya Islam. Ayah ibunya Kristen.
Status tiga anaknya yang Islam menurutku cukup unik. Sangat mungkin orang tuanya sangat memahami situasi yang akan dihadapinya saat mereka tetap berkristen -- situasi yang kini menimpa adik bungsu mereka.
Aku berpikir kenapa ada komunitas Islam setega itu, melarang warganya mendapatkan hak yang setara, gara-gara tidak seagama.
Peristiwa ini sekaligus menambah daftar praktek diskriminasi pemakaman di Jawa Timur. Sebelumnya, dua warga desa Sooko Mojokerto juga dilarang dimakamkan di desanya, karena keduanya bukan Islam.
Meskipun pada akhirnya adik bayi tersebut bisa dimakamkan di pekuburan Kristen namun bukanlah itu masalahnya, kan?
Peristiwa demi peristiwa ini membuatku makin berkomitmen mendorong sebanyak mungkin orang Islam berkenalan dengan Kekristenan. Kurangnya pengetahuan sangat mungkin membawa seseorang tega bertindak intoleran.
Pagi ini, Minggu (8/8), aku bersyukur bisa mewujudkan komitmen tersebut. Sebanyak lebih dari 20 mahasiswa/i Islam aku ajak mengunjungi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jombang.
Mereka adalah adik-adikku, peserta pelatihan kader dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayom Tabassam Fakultas Agama Islam Universitas Wahab Hasbullah Tanbakberas.
Aku memang mengajukan syarat ketika diminta mengampu sesi "Berkenalan dengan Teori Perubahan Sosial,"; lokasinya harus di gereja.
Kenapa harus gereja?
Aku ingin memberikan kesan tak terlupakan pada mereka. Sebuah kesan yang aku yakin mampu mengupgrade keislaman mereka.
"Selamat datang di gerejaku. Beruntunglah kalian, masuk di PMII dan bertemu denganku. Tak semua organisasi mahasiswa berlabel Islam menyediakan fasilitas masuk ke gereja seperti PMII," kataku saat menyambut mereka. Aku melihat ada larikan bangga di wajah mereka.
Aku memang memakai kata "gerejaku," sebab aku merasa sangat dekat dengan GKJW Jombang. Sudah dianggap keluarganya sendiri.
Jika tidak, mana mungkin mas Yono, pendeta GKJW Jombang, memperbolehkanku berkunjung dalam tempo waktu yang singkat. Surat kunjungan aku buat dua hari sebelum acara. Cukup mendadak.
"Mas, aku nyelang grejone yo. Aku mau bawa adik-adikku PMII ke sana," ujarku padanya.
Mas Yono sangat welcomed meski ia sendiri tak bisa menemani pagi ini karena harus ke Banyuwangi. Maka Pak Soleh didapuk untuk menerima kami. Dia adalah salah satu jemaat senior. Guru Injil juga.
"Apa artinya lambang A dan Omega itu?", "Hiasan itu apa maknanya?", "Itu foto dan lukisan bercerita tentang apa?", "Bagaimana gereja ini merespon konflik?", " Bagaimana gereja mengembangkan dirinya?"
Itulah deretan pertanyaan yang diberondongkan peserta saat acara penyambutan di ruang ibadah GKJW. Aku memang secara spesifik meminta mereka menjajal kursi yang biasa digunakan para jemaat beribadah.
Aku ingin mereka --dengan segenap keislaman klasik yang mereka miliki- merasakan sebanyak mungkin pengalaman yang tidak setiap hari ditemui.
"Mana mungkin kamu bisa masuk gereja seperti ini saat di rumah, ndak mungkinlah.." kataku pada salah satu panitia, cewek, dari Jambi.
"Hahahaaa, iyaa, kalau nggak di Jombang, nggak bisa kayak gini, gus," ujarnya sumringah.
Pagi itu semua peserta dan panitia begitu menikmati kunjungan tersebut. Ada beberapa dari mereka aku undang maju menceritakan kesannya pagi tadi.
Di akhir acara, aku menginjak kencang "pedal gas," dengan cara meminta Pak Soleh menutup acara dengan doa a la Kristen. Biar lebih mantap keseluruhan prosesnya.
"Kalau kamu takut autokristen, silahkan cek kolom agama di KTP kalian. Kalau berubah Kristen, aku sanggup menguruskannya di Dispendukcapil," ujarku guyon. Mereka pun ngakak.
Dalam hati, aku berkata lirih; silahkan saja membawa agamaku menjadi alat intoleransi but merely keep my promise that I will not make it easier for you!
#pkd1tabassam
No comments:
Post a Comment