Pages

Saturday, November 27, 2021

Ujian itu Bernama Saksi Yehuwa

Betapa kagetnya aku membaca kabar dari portal KompasTV. Tiga orang bersaudara, semuanya belajar di sekolah dasar negeri yang sama, mengalami peristiwa diskriminasi berlapis-lapis dan berkepanjangan.

Mereka diperlakukan demikian hanya karena ia tidak berkristen seperti Kristen pada umumnya. Kejadiannya di Juata Krikil Tarakan Utara.

Friday, November 26, 2021

Adakah Keselamatan di luar Agamaku?

Berkali-kali aku menulis dan berbicara topik ini dalam banyak kesempatan. Tak terkecuali dalam kelas Religions N kampus Ciputra, pagi ini, Jumat (26/11/2021).


Hari ini adalah hari terakhir presentasi kelompok. Mungkin kelompok kesepuluh. Sejak masuk kuliah September lalu, kami mendiskusikan banyak topik; dari konsep ketuhanan, penderitaan, hidup sesudah mati, agama dan sains, hingga simbol, ritual dan kekerasan agama.

Tuesday, November 23, 2021

KE NGANJUK; BAHAGIA SEKALIGUS TERLUKA

INI JUDUL yang queer, paradoks, dan aneh. Mencampurkan dua hal yang kontradiktif. Aneh tapi nyata.

Contoh sederhananya; kita bahagia sekaligus terluka, misalnya, saat melihat orang yang kita sayangi memilih hidup bersama orang lain. Kita bahagia karena ia, orang yang kita sayangi bahagia. Sekaligus, kita terluka karena kebahagiaannya, ternyata, tidak disongsong bersama kita dalam satu biduk.

Kejadian ini agak mirip menimpaku beberapa hari lalu di Nganjuk. Aku bahagia sekaligus terluka saat mengunjungi kota angin tersebut.

Kebahagiaanku membuncah saat tiba di Klenteng Hok Yoe Kiong. Lokasinya di daerah Sukomoro Nganjuk.

Aku kesana bersama rombongan Surabaya. Ada mas Irianto, mbak Sita --istrinya, serta Cahaya Purnama --aktifis muda GKJW.

Di klenteng tersebut aku dan mas irianto memantik diskusi offline lintasagama dan entis. Seputar 9 nilai Gus Dur, serta bagaimana menjadikan nilai tersebut sebagai bahan bakar menjaga kebinekaan Indonesia.

Negara ini memang sedang terbakar oleh intoleransi, khususnya yang dilakukan oleh banyak orang Islam. Gereja dibakar, disegel, dihambat pendiriannya. Bahkan, beberapa dibom, seperti kejadian di Surabaya dan Makassar.

Aku bahagia semua peserta tampak memiliki kegairahan dalam hal ini. Gairah tersebut merupakan modalitas penting memperbaiki banyak hal.

Setelah acara selesai, kami berempat diundang makan siang mas Wijaya, ketua PSMTI Nganjuk.

Sembari menikmati nasi becek yang sangat terkenal itu, ia bercerita tentang banyak hal. Yang aku ingat ada dua; seputar pembantaian Tionghoa di Nganjuk pada masa Bersiap, serta buruknya pembangunan pedestrian a la Malioboro di Nganjuk.

Pedestrian itu merentang panjang di jalan utama areal pertokoan Nganjuk, termasuk depan tokonya.

"Lihatlah gus, pedestrian ini lebih tinggi dari posisi toko. Kalau hujan, airnya masuk membanjiri toko-toko," katanya sembari menunjuk bekas genangan di salah satu toko..

"Gugat ae mas. Class action," kataku ngompori. Dia hanya nyengir saja.

Mas Wijaya dan puluhan pemilik toko di kawasan tersebut jelas dirugikan oleh pemkab Nganjuk. Uniknya, mereka tidak sendirian. Ada puluhan orang yang juga dirugikan oleh ketidakbecusan pemkab.

Mereka adalah jemaat Rumah Doa GSJA Kanaan Loceret Nganjuk. Dipimpin oleh gembala sidangnya; Pdt. Demsi Salmon Tamunu.

Setelah selesai makan, kami berempat mengunjungi "tempat ibadah," sementara milik rumah doa tersebut.

"Tempat ibadah," ini adalah bangunan tidak terpakai yang kabarnya milik Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Nganjuk.

Namanya saja tidak terpakai, otomatis tidak terawat. Mirip rumah hantu. Nyamuk mendengung menyambut kedatangan kami. Bau apek.

Debu di mana-mana. Jendela belakangnya omplang-omplang tidak ada daunnya. Tidak ada air di kamar mandinya. Mbak Sita yang kebelet pipis terpaksa harus numpang di toko sebelah.

"Kami tidak diperkenankan mengubah apapun yang ada di sini. Begitu bunyi perjanjiannya dengan pemkab," kata Demsi.

Melas banget.

Demsi dan jemaatnya memang mengalami penderitaan panjang terkait rumah ibadah. Beberapa tahun lalu, ia sudah membeli sebuah rumah untuk ibadah di daerah DI. Panjaitan Loceret Nganjuk.

Rumah ibadahnya didemo berkali-kali. Sempat heboh di media sosial.

Aku sendiri pernah ke rumah ibadah di Loceret bersama beberapa kawan GUSDURian di sana. Bahkan pernah shalat di sana.

Seingatku, Natal dua tahun lalu, aku meminta Gus Arif ikut natalan di sana. Dan mengajak Pdt. Demsi memperkuat GUSDURian Nganjuk, hingga sekarang.

Setelah suasana kembali kondusif, beberapa warga mendemo rumah ibadah itu lagi. Kali ini lebih keras dan memaksa pemkab turun tangan memediasi.

Hasilnya, pemkab berhasil "memaksa," GSJA Loceret menandatangi perjanjian menjual rumah ibadah tersebut ke pihak desa.

Menurut Demsi, pemkab juga berjanji akan membantu proses relokasi ke tempat baru. Namun janji tinggal janji.

Pembeli rumah tersebut terus mndesak Demsi agar mengosongkan rumah dangan alasan akan dipakai. Padahal Demsi belum mendapat lokasi pindah yang tempat.

Setelah menekan pemkab, Demsi akhirnya diungsikan ke rumah hantu tersebut. Secara permanen? Tentu tidak!

GSJA Loceret "dipaksa," lagi menandatangani perjanjian yang pada prinsipnya; keberadaan GSJA Loceret di rumah hantu bersifat sementara. Jika tidak salah hanya 3 bulan saja.

Selama 3 bulan Demsi dan jemaatnya diminta mencari lokasi baru sendirian. Jika tidak berhasil menemukan maka Demsi dan jemaatnya diminta bergabung dengan GSJA terdekat, di kota Nganjuk.

"Sedih aku, gus," katanya.

Raut mukanya bercampur aduk. Antara sedih, marah, jengkel. Berkumpul jadi satu.

Aku sempat melihat raut muka Mas Irianto, Mbak Sita dan Cahaya. Raut muka yang penuh kedukaan. Aku sempat meminta Cahaya untuk mendiskusikan dengan kawan-kawan di PGIW Jawa Timur.

"Tidak harus nyari solusi, cukup sambangilah Demsi. Lawatlah. Tawarkan bahu untuk meratap," pintaku.

Kesedihan kami seketika buyar saat beberapa anak muda, jemaat GSJA datang ke rumah hantu, bersama istri dan anak Demsi.

"Kami mau persekutuan di tempat lain. Kalau di sini nggak bisa. Ini sudah menjelang senja. Tidak ada lampu di sini," kata Demsi.

Mendengar ini, hatiku terasa makin diiris-iris. Lukanya makin menganga, dikucuri jeruk nipis.

Sebelum pamit pulang, kami sempat berdoa di depan "rumah hantu," ini. Demsi juga harus mengantar mereka ke persekutuan doa.

Doa dipimpin secara Katolik oleh Mas Irianto. Doa ini membawa kami pulang ke Surabaya, dengan perasaan bahagia sekaligus terluka. (*)

BERTEMU MERLYN BERTEMU BERLI(A)N

Mungkin judulnya terlalu lebay. Namun itu adalah diksi yang terlintas dibenakku untuk menggambarkan perasaanku setelah mengundang perempuan ini ke kelasku.

Aku senang sekali. Aku bahagia.

Kebahagiaan itu hampir paripurna setelah aku membaca refleksi mahasiswa/iku pascapertemuan dengan Merlyn.

Merlyn adalah waria --diksi yang ia pilih sendiri ketimbang transgender atau transpuan. Aku sudah lama mendengar namanya, terutama saat menggeluti isu minoritas gender dan seksualitas, sekitar 5-7 tahun lalu.

Jika ada yang bertanya kenapa aku yang hetero dan cis-gender ini menggeluti isu yang sangat berbahaya ini, jawabnya; aku nggak tahu.

Yang aku rasakan, aku selalu merasa isu tersebut "memanggilku," --ia seperti mengatakan "Jangan kelamaan membela isu pluralisme agama, sudah waktunya kamu menghampiri kami,"

itu yang aku rasakan.

Perasaan tersebut sebenarnya mengalami gejolak yang tidak mudah. Sebab, seperti yang diduga banyak orang, aku menemukan kesukaran-kesukaran dalam hidupku.

Tak terhitung lagi berapa banyak kawanku yang, aku rasakan, mulai menjauhiku. Keluarga besarku juga berkomentar, termasuk anak dan istriku.

Aku masih tidak bisa lupa sebuah peristiwa. Saat itu aku di bis Damri, dari Soekarno-Hatta menuju sebuah hotel --tempat syuting ILC -- di mana aku diundang untuk pertama kalinya.

Saat di bis, aku ditelpon seorang kawan. Ia mengaku membawa pesan dari orang yang sangat aku hormati, imamku dalam gerakan. Pesannya, aku diminta tidak menyebutkan organisasiku sebagai afiliasi saat di ILC.

"Tahu sendirilah, isunya terlalu beresiko bagi organisasi kita," ujarnya.

Aku tidak mendebatnya. Untuk apa? Ia hanya pembawa pesan saja. Tidak lebih.

Aku akan menjadi tidak dewasa jika menanggapinya secara emosional.  Santai saja. Namun demikian aku tidak habis pikir kenapa tidak boleh.

Aku harus jujur, keterlibatanku dalam isu ini, bagi organisasi tersebut, rupanya cukup menyulitkan posisi organisasiku tersebut. Khususnya di hadapan para elders; para tetua; yang memiliki cukup kuasa atas republik ini.

Namun demikian jangan salah, aku merasa semua kawan di organisasiku adalah pribadi yang memiliki komitmen memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini kami hayati. Mungkin ini hanya terkait strategi.

Dari berbagai pergulatanku dengan hal seperti ini, aku semakin menghayati betapa tidak nyamannya disalahpahami, dieksklusi, dikucilkan, dan semacamnya.

Penghayatan ini semakin meneguhkanku untuk berusaha mencegah orang agar tidak salah paham atas suatu yang kurang mereka pahami. Kesalahpahaman adalah langkah awal kehancuran.

Banyak orang Islam membenci rumah ibadah agama lain, khususnya gereja, karena faktor ketidaktahuan. Menurutku.

Tidak sedikit orang membenci LGBT , juga, karena kekurangpahaman atasnya. Menurutku.

Ini membuatku sedih.

Itu sebabnya, dalam beberapa tahun in, aku senantiasa berusaha mengajak sebanyak orang Islam untuk lebih memahami Kekristenan dan agama lain, serta, kelompok minoritas gender dan seksualitas.

Merlyn termasuk kelompok yang aku sebut terakhir tadi.

Meski tidak pernah bertemu secara fisik, aku semakin "intens," dengan Merlyn melalui salah satu filmnya, "Perempuan Tanpa Vagina," --diproduksi tahun 2019.

Film ini aku jadikan semacam film wajib dalam kelas yang aku ampu sejak 2019 lalu. Baik kelas Pancasila maupun Religions.

Hampir semua mahasiswa/i yang aku ajar di UC pasti pernah menontonnya. Itu sebabnya, jika suatu saat kalian ketemu alumni UC dan mengaku pernah menonton film tersebut selama kuliah, aku yakin ia pernah ikut kelasku.

Sangat mungkin aku adalah satu-satunya dosen yang menjadikan film Merlyn tersebut sebagai materi pembelajaran. Belum pernah aku tahu ada dosen lain "sengawur," aku --membawa isu minoritas gender dan seksual ke dalam kelas.

Keberanianku membawa isu ini ke kampus didorong oleh apa yang sudah aku jelaskan di awal. Aku seperti merasa bertanggungjawab jika menemukan orang yang memiliki kesalahpahaman berkaitan dengan isu identitas. Aku juga merasa spirit Gus Dur hadir mendongkrak keberanian tersebut.

Keberanian mengundang Merlyn ke kampus aku lakukan juga karena posisiku sebagai dosen Pancasila. Aku tidak mau jika suatu saat sejarah mengadiliku, "Aan, kenapa kamu tidak berupaya mendidik mahasiswa/imu agar berhenti membenci, padahal kamu memiliki kapasitas dan kesempatan untuk itu lho?"

Betapa aku akan gelagapan saat aku tidak melakukannya.

Dengan memanfaatkan posisi sebagai dosen aku mengambil resiko mengundang Merlyn, tanpa terlebih dahulu berembug dengan kordinator matakuliah maupun dekan. Aku merasa tidak perlu karena ini menyangkut kewenanganku sebagai dosen. Cukup aku saja yang menyelesaikan dan bertanggung jawab. Aku digaji untuk itu.

Aku juga sangat sadar jika suatu saat dituding mengkampanyekan isu LGBT di kampus. Aku mungkin dengan enteng menjawab; bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat. 

Pancasila mendidik kita agar berani bertumbuh dengan kemanusiaan yang adil dan beradab  dan menjaga persatuan Indonesia. Pancasila mendorong kita, sebagai warganegara, untuk senantiasa bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Di titik ini aku akan berhenti sembari bertanya balik, "Bagaimana mungkin kita akan mewujudkan hal tersebut jika kita bisa memahami orang-orang yang ada di dalamnya?

Menudingku mengkampanyekan LGBT di kampus akan sia-sia. Sebab aku tak pernah mengatakan, "Mari kita menjadi gay, lesbian atau transgender," Yang aku kampanyekan justru dorongan kepada para mahasiswa untuk melihat dan memperlakukan manusia sebagai manusia. Nothing more nothing less.

Aku baru saja selesai membaca refleksi pendek --lebih tepatnya semacam kesan-- yang dibuat oleh hampir seratus mahasiswaku yang hadir bersama Merlyn. Semuanya mengapresiasi positif acara tersebut. 

Terdapat banyak dari mereka mengaku mendapat pencerahan setelah mendengarkan langsung dari Merlyn. Bertemu Merlyn seperti menemukan berli(a)n.(*)

Wednesday, November 17, 2021

MERAH-PUTIHKAN MUI!

RILIS Jaringan Islam Antidiskriminasi terkait penangkapan elit Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan dugaan terlibat terorisme


JIAD tidak cukup kaget dengan penangkapan beberapa petinggi Majelis Ulama Indonesis (MUI) pusat terkait dugaan keterlibatannya dengan terorisme.

Hal ini didasarkan pada kecenderungan MUI, selama ini, yang terlihat tidak progresif mendukung empat pilar kebangsaan. Alih-alih, organisasi ini justru mencitrakan dirinya sedemikian kuat sebagai penjaga konservatifme Islam.

Konservatifme Islam sendiri, kita tahu, tidaklah sehat. Ia sangat terobsesi menyeret Indonesia sebagai negara islam dalam bingkai Pancasila. 

Pancasila --yang awalnya dimaksudkan sebagai landasan bersama (kalimatun sawa) semua agama/kepercayaan untuk keharmonisan, oleh kelompok di MUI-- telah ditelikung untuk menghalalkan tegaknya formalisasi Islam di Indonesia.

Penelikungan ini sangatlah berbahaya jika tidak diantisipasi dan direspon sesegera mungkin. Sebab, secara politik, keberadaan MUI dalam memengaruhi model keislaman di Indonesia masih sangat strategis. 

JIAD sangat mengapresiasi kerja-kerja Densus 88 yang bekerja cukup serius "mejaga," MUI dari anasir-anasir terorisme dan radikalisme berbasis Islam. 

Sungguhpun demikian, JIAD mendesak aparat keamanan tetap bekerja profesional, transparan, dan akuntabel dalam kasus ini, berpatokan pada hukum dan aturan yang berlaku.

Penangkapan ini, menurut JIAD, tidak bisa dikatakan sebagai upaya politik rezim Jokowi merepresi Islam maupun ulama. Tudingan seperti itu tidaklah pas dan cenderung emosional.. Sebaliknya, implementasi keislaman butuh kontrol semua pihak agar tetap dalam relnya; rahmatan lil 'alamin.

Bagi JIAD, Islam tidak sama dengan "politik Islam," maupun "kelompok Islam," Ada banyak kelompok Islam Merah-Putih yang cukup serius berseberangan dengan kelompok yang ditangkap Densus 88. 

Namun demikian, sayangnya, kelompok "Merah-Putih," di MUI terasa tidak berkutik, kikuk, dan keok hadapan kelompok radikal di sana.  Padahal di sana terdapat NU yang dikenal sebagai tulang punggung Islam moderat. 

Kekikukan seperti ini, menurut JIAD, tidak bisa lagi ditolerir mengingat hal tersebut justru akan merobohkan MUI sebagai salah satu pilar penjaga Pancasila di tubuh kelompok Islam. 

Oleh karena itu, kelompok Merah-Putih di MUI, bersama dengan pemerintah, perlu melakukan seleksi ketat terkait siapa yang bisa duduk di kepengurusan MUI. Tidak asal terima. 

Untuk keperluan ini, JIAD mendorong MUI Merah-Putih berani melakukan otokritik dan bahkan, kalau perlu, melakukan reassessement bagi seluruh pengurus MUI --untuk mengetahui mana yang bersetia pada Pancasila dan mana yang lamis.

Dengan demikian JIAD tidak setuju dengan gagasan dan pemikiran pembubaran MUI. Karena, hal tersebut bertabrakan dengan semangat demokrasi. 

Sebagai institusi sipil, peran MUI sama dengan peran organisasi sipil lainnya. Malfungsi MUI hanya bisa diperbaiki dengan cara melakukan pembenahan orang-orang yang ada di dalamnya.

Reviitalisasi MUI menjadi lebih Merah-Putih merupakan jawaban yang perlu direalisasikan. Semua komponen, termasuk Densus 88, wajib mendorong realisasi tersebut.

Seandainya MUI menolak berbenah,  pemerintah bisa menghentikan dukungan kepada lembaga ini, sampai ia benar-benar merah-putih. 

Oleh karena, untuk apa mendukung institusi yang malah justru menggangsir eksistensi Merah-Putih? 


Jombang, 17 November 2021


Aan Anshori
Kordinator
aan.anshori@gmail.com
089671597374
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori

https://kempalan.com/2021/11/17/merah-putihkan-mui/

Monday, November 15, 2021

MALES NYETATUS

Hanya saja, aku harus menuliskannya agar aku bisa menziarahi kembali kenanganku. 



Malam ini aku terkantuk-kantuk di Stasiun Jombang. Menunggu kereta Wijayakusuma yang akan membawaku ke Jember. Dari sana, sekitar jam 03.00 dini hari aku akan dijemput sopir. Membelah pekatnya pagi menuju Bondowoso. 

Di kota itu, aku akan menghadiri penahbisan ---semacam pelantikan dalam tradisi gereja-- seorang teman. Namanya Pdt. Martin Krisanto Nugroho. 


Dia akan menyandang status baru di lingkungan Gereja Kristen Indonesia (GKI) wilayah Jawa Timur sebagai; pendeta tugas khusus. 

Entah apa kekhususannya. Aku tidak tahu. 

Yang aku pahami, jabatan barunya ini semacam penegasan bahwa Martin sangat mungkin bukan lagi pendeta sembarangan.Kan sudah berstatus khusus? Kalau mobil, mungkin platnya RFS.😝

"Datang yo, gus. Offline," undangnya. 

Aku menyanggupi dengan perasaan agak berat. Pandemi telah membuatku terkena virus "enak mager," --malas pergi jauh-jauh. 

Apalagi, pasanganku juga sedang keluar kota untuk beberapa hari. Praktis anak-anakku di rumah sendirian. 

Hanya saja, aku merasa perlu hadir sebab Pdt. Martin bukanlah figur sembarangan. Ia tidak hanya cerdas namun juga progresif. 

Aku pernah menjajalnya sendiri saat ia dan beberapa pendeta muda GKI membikin "kejutan," pada event BBVC di Banyuwangi. 

Keberanian mereka membuat jagat gereja mereka horek, terutama setelah aku menulis liputannya di FB. Bahkan, sampai saat ini, tulisan tersebut masih berstatus "only me," --temporary self-suspended.

Menurut beberapa kawan, peristiwa tersebut merupakan langkah mundur. Mungkin mereka benar.

Hanya saja, yang jarang kita sadari; agar bisa maju lebih progresif, seseorang perlu mundur, mengambil ancangan. Semakin ia mundur, lentingannya akan semakin yahut. Persis seperti ketapel.

Tampaknya GKI wilayah Jawa Timur akan melenting lebih jauh ke depannya. Aku mendengar Pdt. Martin akan tandem dengan Pdt. Leo. Pendeta kedua ini akan menjadi nakhkoda baru di sinode wilayah Jawa Timur. 

Mas Leo tidak hanya terkenal dengan ketekunan akademiknya. Lebih jauh, ia juga tak kalah progresifnya dengan Martin.

"Gus Aan, terima kasih telah mensupport dan bersama GKI Yasmin selama ini," ujarnya suatu ketika. 

Perjalanan ke Bondowoso, aku yakini, akan membawa gairah baru padaku. Setidaknya gairah nulis status ini. (*)

Thursday, November 11, 2021

Ayat Keramat


"Iku ayat keramat," kata Gus Mujib, kawanku saat mondok di Tambakberas 33 tahun lalu, barusan.

Ia mengatakan itu saat aku ngomong sendiri, dengan perasaan heran, saat qori' (pelantun al-Quran) membacakan QS. Al-Imran 169-170. 

Aku memang tidak menyangka ayat tersebut dilantunkan dalam acara haul (commemoration) KH. Ach. Nasrullah Abd. Rohim dan 100 hari bu Nyai Zubaidah, belahan hatinya, malam ini, Rabu (11/11). Mereka berdua adalah kiai dan bu nyaiku.


Sepanjang perjalanan motoran menuju Tambakberas, aku berpikir keras, bagaimana menempatkan ulang sosok yang telah meninggal dunia, yang kita anggap penting dalam galaksi spiritualitas kita; apakah mereka benar-benar telah meninggalkan kita, atau bagaimana. 


Aku langsung teringat ayat keramat tersebut. Aku mewiridnya terus sembari berusaha membenamkan dan menghayati maknanya; bagi sebagian orang, kematian itu tidak berlaku. Yang ada adalah hidup terus menerus. 

"Kalau orang yang sudah mati, ya sudah, ndak usah dipikirkan lagi. Mati ya mati. Nggak usah diratapi, apalagi diglorifikasi sedemikian rupa," kata seorang kawan beberapa waktu lalu.

Itu sebabnya, tambah kawan itu, yang mati tidak butuh doa. Justru yang harus didoakan adalah yang masih hidup.

Mungkin ia benar; berkeinginan agar kita tidak dibebani aneka perasaan yang malah justru berpotensi membuat kita tidak bisa move on. 


Mungkin ia berfokus pada yang hidup ketimbang yang telah mati. Dan itu, menurutku, hal yang sangat masuk akal. 

Namun bagaimana jika yang telah mati tidak sepenuhnya mati, ia sebenarnya masih hidup --mungkin dalam dimensi lain, mungkin dalam memori orang-orang yang tidak ingin membiarkannya mati? Mungkinkah? 

Ayat keramat yang disebut Gus Mujib tadi memuat eksposisi ilahi seputar ketidakmatian para jihadis, crusader, para kekasih Tuhan yang gugur di medan lagi. 

"Tidak. Tidak. Mereka yang terbunuh di jalanKu sebenarnya tidak mati. Sebaliknya, mereka hidup di sampingku bergelimangan anugerah," kira-kira seperti itu Allah berfirman.

Haul malam ini bisa dianggap sebagai upaya merawat memori kolektif kami atas sosok Abah Nas dan Bu Nyai Dah. Beliau berdua diposisikan sebagai figur yang hidup --alih-alih dianggap mati. 

Keduanya, juga jutaan tokoh yang telah meninggal, perlu dihidupkan untuk membimbing yang masih hidup agar menjadi lebih baik. Kalau mereka dimatikan oleh yang hidup, aku merasa hal itu justru merugikan kita semua.  

Menghidupkan yang sudah mati adalah strategi utama bagaimana agama dan kepercayaan beroperasi memengaruhi para pengikutnya. Tanpa strategi ini, agama dan kepercayaan akan kesulitan menemukan dan merawat mereka, pengikutnya.

Sekarang Nabi Musa sudah tidak bisa kita jumpai  --begitu juga dengan Siddharta Gautama, Yesus, Athanasius, Nabi Muhammad, Imam Ghazali, Luther, Calvin dan yang lain. Namun mereka terus dihidupkan oleh para pengikutnya demi memperkuat spiritualitas dan komunitasnya.

Terkait ini, ada cerita unik. Sekira 3 jam sebelum ke Tambakberas, aku berdiskusi di sebuah WA grup. Anggotanya cuma 4 orang. 

Salah duanya adalah aku dan alm. Mas Steve Suleeman. Grup ini berkaitan dengan GKI Yasmin. 

Aku masih berusaha "menghidupkan," mas Steve. Mengajaknya ngobrol dan me-mention-nya --seperti tidak ada peristiwa kematiannya.

Ia tentu tidak bisa mereply percakapan kami dengan gaya normatif. Namun kami percaya ia menjawab kami dengan caranya --dan itu bersifat personal. 

"Yesus itu secara fisik kan ya ndak ada, namun dunia kan tidak hanya cukup disokong oleh fisik saja. Sebagaimana Yesus, Mas Steve akan selalu ada, hadir bagi yang merasakan 😁😁," begitu jawabku pada kawan bicaraku. 

Semua karena ayat keramat.

Lamat-lamat aku mendengar Kiai Marzuki Mustamar menyampaikan gagasannya di forum haul.(*)

Tuesday, November 2, 2021

Penyaliban Yesus/Isa di GKJ Bhayangkara


Seorang ibu, warga jemaat GKJ Bhayangkara Purwokerto , mengaktifkan mikrofonnya. Ia bertanya padaku seputar penyaliban Yesus yang kontradiktif antara ajaran Kristen trinitarian dan pandang Islam mainstream. Mana yang benar? Bagaimana mendamaikannya?
**

Aku akhirnya mengisi katekisasi internal di GKJ Bhayangkara Purwokerto. Teman baikku, Pdt. Maria, melayani di sana. 

Gereja ini adalah tempat singgahku setiap kali ke Purwokerto --selain sekretariat GUSDURian di dekat alun-alun kota itu. Aku mengenal banyak jemaat maupun pengurusnya. Aku merasa mereka adalah keluargaku.

Itu sebabnya saat dikontak Maria untuk mengisi katekisasi Senin (18/10) jam 18.00, aku sulit menolaknya. Padahal aku sudah ada acara pada waktu yang sama.

"Beri aku waktu sampai besok untuk memutuskannya ya, M" tawarku padanya.

Selain faktor kedekatan dengan gereja tersebut, topik yang ditawarkan padaku cukuplah menantang -- topik apa sih yang lebih hot ketimbang sengkarut ketuhanan Kristen dalam benak orang Islam? Tidak ada. 

Nah Pendeta Maria memintaku menyampaikan gagasan, pandanganku terkait trinitas a la Islam moderat. Maria mengklasifikasikanku sebagai kelompok moderat. Aku berterima kasih untuk itu.

"Gus Aan, saya ini dulunya Islam, ada hal yang cukup mengganggu saya," ujar bu Wince --bukan nama sebenarnya, ketika sesi tanya jawab berlangsung.
"Soal apa ya, mbak?" tanyaku balik.

Ia kemudian memapar kegalauannya seputar kontradiksi  penyaliban Yesus antara Alkitab dan pemahaman Islam pada umumnya.

Aku kemudian dengan santai mengajaknya membayangkan ia memiliki suami tentara, yang terbunuh secara sadis di tangan musuh. Tubuhnya dicincang musuh setelah terlebih dahuu mengalami penyiksaan sangat pedih. 

Saking tragisnya, kematiannya tidak perlu digambarkan. Menggambarkannya dengan kata-kata justru malah akan "merendahkan," martabat almarhum.

"Mbak, aku sangat bisa memahami seandainya mbak memilih tidak menceritakan secara detil kematian tersebut ketika ditanya anak-anak mbak yang masih kecil menanyakannya," kataku.

Detil kematian ayah mereka, jika dipaksaceritakan, tambahku, sangat mungkin justru akan memengaruhi kondisi psikologi mereka; dapat membuat mereka trauma dan kehilangan konfidensi atas ayah mereka.

Pilihan untuk tidak menceritakan detil kematian merupakan keinginan mulia yang muncul sebagai konsekuensi watak baik tiap manusia. Pilihan ini juga dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga kehormatan pemilik tubuh agar tidak tercoreng oleh aib. Kematian dengan cara seperti itu adalah aib, harus disembunyikan.


"Lihatlah bagaimana tradisi Kristen Indonesia memperlukan orang yang sudah mati. Diberikan pakaian terbaik, diawetkan, dimake over habis-habisan agar ia bisa menghadap Gusti dengan sebaik--baiknya, sehormat-hormatnya," ujarku.

Seandainya ada bekas luka di wajah jenazah, maupun di bagian lain tubuhnya, sangat kecil kemungkinan hal itu akan dibiarkan tampil begitu saja. Perawat jenazah pasti akan mengintervensi hal tersebut. Demi menjaga kehormatan jenazah.

Menjaga kehormatan, dalam konteks ini, dirasa lebih penting ketimbang "bersikap jujur," menampilkan jenazah yang sesungguhnya. 


"Maka, mbak, nalar seperti inilah yang dipilih kristologi Islam dalam meyakini penyaliban Yesus," ujarku.

Yesus/Isa bagi orang Islam, tambahku, adalah sosok yang sangat suci. Kehormatan sosok seperti ini tidak boleh dinodai sedikitpun. Yesus/Isa yang disiksa --dan akhirnya meregang nyawa di kayu salib adalah aib yang sangat berat, yang harus ditutupi, demi menjaga kehormatannya.

"Kami sangat mencintai Yesus. Itu sebabnya kami tidak akan membiarkan kehormatannya tercoreng ---sungguhpun peristiwa penyaliban itu benar-benar terjadi. Dari sini kira-kira bisa dipahami kan, mbak?"

Yesus, tambahku, kami anggap "terlalu suci," untuk "dikotori," oleh penghinaan dalam bentuk penyiksaan, penderitaan dan penyaliban. 

Posisi keimanan kami atas Yesus yang "tidak pernah disalib," --jelasku-- kira-kira sama persis dengan pilihan tradisi kekristenan dalam memperlakukan jenaazah secara positif sebagaimana di atas. 

Forum katekisasi begitu sunyi saat aku menjelaskan hal ini. Entah apa yang ada dalam benak para peserta atas responku. Yang aku pedulikan hanyalah bagaimana aku mampu menjelaskan kejujuranku.

Aku juga tidak yakin seberapa banyak orang Islam mengetahui dan menerima rasionalisasi seperti yang aku jelaskan di atas. Kebanyakan dari kami selama ini, sejujurnya, telah dididik untuk bersikap taken for granted atas doktrin antipenyaliban. Sami'na wa atho'na, pokoknya.

Akan tetapi Siapapun yang pernah belajar sejarah gereja, pasti tahu ada doktrin docetism yang sangat memengaruhi sekte Monofisit pada masa kekristenan awal. Doktrin yang menitikberatkan pada aspek ketuhanan Yesus ini secara otomatis menyangkal kemanusiaan Yesus. Dengan demikian, doktrin ini menyangkal realitas kelahiran, ketubuhan, penderitaan, dan juga penyaliban Yesus. Semua aspek kemanusiaan Yesus adalah ilusi belaka.  Doktrin ini secara sederhana ingin menyatakan; Yesus adalah 100 persen tuhan dan 0 persen manusia.

Doktrin ini berbeda dengan doktrin trinitas yang mengimani bahwa Yesus merupakan tuhan sepenuhnya dan manusia sepenuhnya. 

Docetism dan monofisit selanjutnya dianggap sebagai ajaran heterodoks, bidat, murtad, dan sesat. Tidak boleh diajarkan.

Kelompok ini, bersama sekte-sekte  non-trinitarian lainnya, selanjutnya menyingkir ke semenanjung Arab, hidup di sana, termasuk di Makkah dan Yathrib (Madinah) lebih dulu sebelum kemunculan Islam. Beberapa sekte lain, misalnya, Ebionite, Gnostic, Arian, dan Nestorian.

Bisa dikatakan, Islam tumbuh dan "dibesarkan,"  dalam tradisi dan doktrin sekte-sekte tersebut. Itu sebabnya, pengaruh mereka sangat kuat membentuk kristologi Islam yang sangat antitrinitarian, termasuk dalam isu penyaliban.

"Mbak, saya percaya fakta sejarah. Jika Yesus secara historis telah dibuktikan mati di kayu salib, saya tidak bisa menyangkal hal tersebut. Namun saya juga bisa memahami seandainya mbak memilih tidak menceritakan ke anak-anak seputar detil kematian ayah mereka. Semoga poinku bisa dipahami ya," kataku.

Di akhir forum, aku mendorong peserta merenung; apakah memang Yesus pernah menyatakan secara jelas dan tegas bahwa trinitas merupakan satu-satunya jalan keselamatan; apakah memungkinkan semakin seseorang fanatik terhadap trinitas semakin ia bisa menerima semua cara menuju Yesus?

Lamat-lamat aku teringat sebuah kalimat; kali kecing kali bening, segoro wajib nompo.

Monday, November 1, 2021

MENANTANG KEWARGANEGARAAN DI PADJADJARAN

Matakuliah umum (MKU) seperti Pancasila, Ilmu Sosial dan Budaya, Agama, maupun kewargaan, sering dianggap remeh. Seringkali, matkul tersebut dijadikan tempat pembuangan dosen-dosen, di beberapa kampus.

Padahal, MKU merupakan "jantung," perubahan cara pandang mahasiswa/i. Melalui MKU, para mahasiswa tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan, namun juga mendialogkannya dengan nilai (value) --supaya terjadi perubahan perilaku.


Jika kita pernah dengar Seven Deadly Sins, maka, menurutku, di MKUlah tempatnya; kita boleh menjadi kaya namun tidak boleh rakus; kita bisa pintar namun terlarang meninggalkan kemanusiaan, dan yang lain.


Nah, kerapkali --aku ambil contoh matakuliah Kewarganegaraan-- tidak bisa optimal mengubah cara pandang seseorang, misalnya, terkait toleransi dan intoleransi.


Sangat mungkin hal ini disebabkan banyak faktor, salah satunya, teknik/metode maupun paradigma mengajar. Seandainya pengajaran matkul tersebut lebih "didaratkan ke bumi," ketimbang dibiarkan "gentayangan di atas langit," --maka bisa jadi hasilnya berbeda.


Di video ini, saat diundang oleh FISIP Universitas Padjadjaran (30/10/2021), aku menawarkan sedikit cara bagaimana idealitas pengajaran MKU kewarganegaraan (civics).


Selama lebih kurang 30 menit, aku coba menjelaskannya, disertai basis teori dan implementasinya, berdasarkan pengalaman kelasku Pancasila di kampus Ciputra. Berikut videonya.


Nah yang menurutku menarik, saat itu, aku juga melakukan polling pada mahasiswa yang hadir. Aku namai pollingnya; tes wawasan kewarganegaraan.


Isinya, menelusuri sejauhmana penerimaan mereka terhadap kelompok berlatar belakang agama dan identitas berbeda dengan mereka. Misalnya, apakah kamu memiliki teman LGBT; apakah keberatan pacaran beda agama; apakah keberatan jika ada dosen/staff/karyawan/mahasiswa LGBTIQ di kampusmu.


Pokoknya seru!

Jika tidak percaya, silahkan melihatnya sendiri di SINI.


Dari jawaban-jawaban yang masuk, kita jadi tahu seberapa akut kadar bias identitas bercokol dalam pikiran mereka.


Aku berpikir, instrumen ini bisa terus dikembangkan supaya kita lebih akurat mendapat gambaran tentang diri dan lingkungan kita. Gambaran ini kemudian bisa dijadikan milestone untuk intervensi lanjutan; mau diperparah atau disembuhkan.


Dengan model yang aku tawarkan, kini pembelajaran matakuliah kewarganegaraan tidak lagi mengawang dan membosankan. Sebaliknya, ia dipenuhi gebrakan dan, tentu saja, tantangan.(*)