Mereka diperlakukan demikian hanya karena ia tidak berkristen seperti Kristen pada umumnya. Kejadiannya di Juata Krikil Tarakan Utara.
Pages
Saturday, November 27, 2021
Ujian itu Bernama Saksi Yehuwa
Friday, November 26, 2021
Adakah Keselamatan di luar Agamaku?
Berkali-kali aku menulis dan berbicara topik ini dalam banyak kesempatan. Tak terkecuali dalam kelas Religions N kampus Ciputra, pagi ini, Jumat (26/11/2021).
Hari ini adalah hari terakhir presentasi kelompok. Mungkin kelompok kesepuluh. Sejak masuk kuliah September lalu, kami mendiskusikan banyak topik; dari konsep ketuhanan, penderitaan, hidup sesudah mati, agama dan sains, hingga simbol, ritual dan kekerasan agama.
Tuesday, November 23, 2021
KE NGANJUK; BAHAGIA SEKALIGUS TERLUKA
Contoh sederhananya; kita bahagia sekaligus terluka, misalnya, saat melihat orang yang kita sayangi memilih hidup bersama orang lain. Kita bahagia karena ia, orang yang kita sayangi bahagia. Sekaligus, kita terluka karena kebahagiaannya, ternyata, tidak disongsong bersama kita dalam satu biduk.
Kejadian ini agak mirip menimpaku beberapa hari lalu di Nganjuk. Aku bahagia sekaligus terluka saat mengunjungi kota angin tersebut.
Kebahagiaanku membuncah saat tiba di Klenteng Hok Yoe Kiong. Lokasinya di daerah Sukomoro Nganjuk.
Aku kesana bersama rombongan Surabaya. Ada mas Irianto, mbak Sita --istrinya, serta Cahaya Purnama --aktifis muda GKJW.
Di klenteng tersebut aku dan mas irianto memantik diskusi offline lintasagama dan entis. Seputar 9 nilai Gus Dur, serta bagaimana menjadikan nilai tersebut sebagai bahan bakar menjaga kebinekaan Indonesia.
Negara ini memang sedang terbakar oleh intoleransi, khususnya yang dilakukan oleh banyak orang Islam. Gereja dibakar, disegel, dihambat pendiriannya. Bahkan, beberapa dibom, seperti kejadian di Surabaya dan Makassar.
Aku bahagia semua peserta tampak memiliki kegairahan dalam hal ini. Gairah tersebut merupakan modalitas penting memperbaiki banyak hal.
Setelah acara selesai, kami berempat diundang makan siang mas Wijaya, ketua PSMTI Nganjuk.
Sembari menikmati nasi becek yang sangat terkenal itu, ia bercerita tentang banyak hal. Yang aku ingat ada dua; seputar pembantaian Tionghoa di Nganjuk pada masa Bersiap, serta buruknya pembangunan pedestrian a la Malioboro di Nganjuk.
Pedestrian itu merentang panjang di jalan utama areal pertokoan Nganjuk, termasuk depan tokonya.
"Lihatlah gus, pedestrian ini lebih tinggi dari posisi toko. Kalau hujan, airnya masuk membanjiri toko-toko," katanya sembari menunjuk bekas genangan di salah satu toko..
"Gugat ae mas. Class action," kataku ngompori. Dia hanya nyengir saja.
Mas Wijaya dan puluhan pemilik toko di kawasan tersebut jelas dirugikan oleh pemkab Nganjuk. Uniknya, mereka tidak sendirian. Ada puluhan orang yang juga dirugikan oleh ketidakbecusan pemkab.
Mereka adalah jemaat Rumah Doa GSJA Kanaan Loceret Nganjuk. Dipimpin oleh gembala sidangnya; Pdt. Demsi Salmon Tamunu.
Setelah selesai makan, kami berempat mengunjungi "tempat ibadah," sementara milik rumah doa tersebut.
"Tempat ibadah," ini adalah bangunan tidak terpakai yang kabarnya milik Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Nganjuk.
Namanya saja tidak terpakai, otomatis tidak terawat. Mirip rumah hantu. Nyamuk mendengung menyambut kedatangan kami. Bau apek.
Debu di mana-mana. Jendela belakangnya omplang-omplang tidak ada daunnya. Tidak ada air di kamar mandinya. Mbak Sita yang kebelet pipis terpaksa harus numpang di toko sebelah.
"Kami tidak diperkenankan mengubah apapun yang ada di sini. Begitu bunyi perjanjiannya dengan pemkab," kata Demsi.
Melas banget.
Demsi dan jemaatnya memang mengalami penderitaan panjang terkait rumah ibadah. Beberapa tahun lalu, ia sudah membeli sebuah rumah untuk ibadah di daerah DI. Panjaitan Loceret Nganjuk.
Rumah ibadahnya didemo berkali-kali. Sempat heboh di media sosial.
Aku sendiri pernah ke rumah ibadah di Loceret bersama beberapa kawan GUSDURian di sana. Bahkan pernah shalat di sana.
Seingatku, Natal dua tahun lalu, aku meminta Gus Arif ikut natalan di sana. Dan mengajak Pdt. Demsi memperkuat GUSDURian Nganjuk, hingga sekarang.
Setelah suasana kembali kondusif, beberapa warga mendemo rumah ibadah itu lagi. Kali ini lebih keras dan memaksa pemkab turun tangan memediasi.
Hasilnya, pemkab berhasil "memaksa," GSJA Loceret menandatangi perjanjian menjual rumah ibadah tersebut ke pihak desa.
Menurut Demsi, pemkab juga berjanji akan membantu proses relokasi ke tempat baru. Namun janji tinggal janji.
Pembeli rumah tersebut terus mndesak Demsi agar mengosongkan rumah dangan alasan akan dipakai. Padahal Demsi belum mendapat lokasi pindah yang tempat.
Setelah menekan pemkab, Demsi akhirnya diungsikan ke rumah hantu tersebut. Secara permanen? Tentu tidak!
GSJA Loceret "dipaksa," lagi menandatangani perjanjian yang pada prinsipnya; keberadaan GSJA Loceret di rumah hantu bersifat sementara. Jika tidak salah hanya 3 bulan saja.
Selama 3 bulan Demsi dan jemaatnya diminta mencari lokasi baru sendirian. Jika tidak berhasil menemukan maka Demsi dan jemaatnya diminta bergabung dengan GSJA terdekat, di kota Nganjuk.
"Sedih aku, gus," katanya.
Raut mukanya bercampur aduk. Antara sedih, marah, jengkel. Berkumpul jadi satu.
Aku sempat melihat raut muka Mas Irianto, Mbak Sita dan Cahaya. Raut muka yang penuh kedukaan. Aku sempat meminta Cahaya untuk mendiskusikan dengan kawan-kawan di PGIW Jawa Timur.
"Tidak harus nyari solusi, cukup sambangilah Demsi. Lawatlah. Tawarkan bahu untuk meratap," pintaku.
Kesedihan kami seketika buyar saat beberapa anak muda, jemaat GSJA datang ke rumah hantu, bersama istri dan anak Demsi.
"Kami mau persekutuan di tempat lain. Kalau di sini nggak bisa. Ini sudah menjelang senja. Tidak ada lampu di sini," kata Demsi.
Mendengar ini, hatiku terasa makin diiris-iris. Lukanya makin menganga, dikucuri jeruk nipis.
Sebelum pamit pulang, kami sempat berdoa di depan "rumah hantu," ini. Demsi juga harus mengantar mereka ke persekutuan doa.
Doa dipimpin secara Katolik oleh Mas Irianto. Doa ini membawa kami pulang ke Surabaya, dengan perasaan bahagia sekaligus terluka. (*)
BERTEMU MERLYN BERTEMU BERLI(A)N
Aku senang sekali. Aku bahagia.
Kebahagiaan itu hampir paripurna setelah aku membaca refleksi mahasiswa/iku pascapertemuan dengan Merlyn.
Merlyn adalah waria --diksi yang ia pilih sendiri ketimbang transgender atau transpuan. Aku sudah lama mendengar namanya, terutama saat menggeluti isu minoritas gender dan seksualitas, sekitar 5-7 tahun lalu.
Jika ada yang bertanya kenapa aku yang hetero dan cis-gender ini menggeluti isu yang sangat berbahaya ini, jawabnya; aku nggak tahu.
Yang aku rasakan, aku selalu merasa isu tersebut "memanggilku," --ia seperti mengatakan "Jangan kelamaan membela isu pluralisme agama, sudah waktunya kamu menghampiri kami,"
itu yang aku rasakan.
Perasaan tersebut sebenarnya mengalami gejolak yang tidak mudah. Sebab, seperti yang diduga banyak orang, aku menemukan kesukaran-kesukaran dalam hidupku.
Tak terhitung lagi berapa banyak kawanku yang, aku rasakan, mulai menjauhiku. Keluarga besarku juga berkomentar, termasuk anak dan istriku.
Aku masih tidak bisa lupa sebuah peristiwa. Saat itu aku di bis Damri, dari Soekarno-Hatta menuju sebuah hotel --tempat syuting ILC -- di mana aku diundang untuk pertama kalinya.
Saat di bis, aku ditelpon seorang kawan. Ia mengaku membawa pesan dari orang yang sangat aku hormati, imamku dalam gerakan. Pesannya, aku diminta tidak menyebutkan organisasiku sebagai afiliasi saat di ILC.
"Tahu sendirilah, isunya terlalu beresiko bagi organisasi kita," ujarnya.
Aku tidak mendebatnya. Untuk apa? Ia hanya pembawa pesan saja. Tidak lebih.
Aku akan menjadi tidak dewasa jika menanggapinya secara emosional. Santai saja. Namun demikian aku tidak habis pikir kenapa tidak boleh.
Aku harus jujur, keterlibatanku dalam isu ini, bagi organisasi tersebut, rupanya cukup menyulitkan posisi organisasiku tersebut. Khususnya di hadapan para elders; para tetua; yang memiliki cukup kuasa atas republik ini.
Namun demikian jangan salah, aku merasa semua kawan di organisasiku adalah pribadi yang memiliki komitmen memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini kami hayati. Mungkin ini hanya terkait strategi.
Dari berbagai pergulatanku dengan hal seperti ini, aku semakin menghayati betapa tidak nyamannya disalahpahami, dieksklusi, dikucilkan, dan semacamnya.
Penghayatan ini semakin meneguhkanku untuk berusaha mencegah orang agar tidak salah paham atas suatu yang kurang mereka pahami. Kesalahpahaman adalah langkah awal kehancuran.
Banyak orang Islam membenci rumah ibadah agama lain, khususnya gereja, karena faktor ketidaktahuan. Menurutku.
Tidak sedikit orang membenci LGBT , juga, karena kekurangpahaman atasnya. Menurutku.
Ini membuatku sedih.
Itu sebabnya, dalam beberapa tahun in, aku senantiasa berusaha mengajak sebanyak orang Islam untuk lebih memahami Kekristenan dan agama lain, serta, kelompok minoritas gender dan seksualitas.
Merlyn termasuk kelompok yang aku sebut terakhir tadi.
Meski tidak pernah bertemu secara fisik, aku semakin "intens," dengan Merlyn melalui salah satu filmnya, "Perempuan Tanpa Vagina," --diproduksi tahun 2019.
Film ini aku jadikan semacam film wajib dalam kelas yang aku ampu sejak 2019 lalu. Baik kelas Pancasila maupun Religions.
Hampir semua mahasiswa/i yang aku ajar di UC pasti pernah menontonnya. Itu sebabnya, jika suatu saat kalian ketemu alumni UC dan mengaku pernah menonton film tersebut selama kuliah, aku yakin ia pernah ikut kelasku.
Sangat mungkin aku adalah satu-satunya dosen yang menjadikan film Merlyn tersebut sebagai materi pembelajaran. Belum pernah aku tahu ada dosen lain "sengawur," aku --membawa isu minoritas gender dan seksual ke dalam kelas.
Keberanianku membawa isu ini ke kampus didorong oleh apa yang sudah aku jelaskan di awal. Aku seperti merasa bertanggungjawab jika menemukan orang yang memiliki kesalahpahaman berkaitan dengan isu identitas. Aku juga merasa spirit Gus Dur hadir mendongkrak keberanian tersebut.
Keberanian mengundang Merlyn ke kampus aku lakukan juga karena posisiku sebagai dosen Pancasila. Aku tidak mau jika suatu saat sejarah mengadiliku, "Aan, kenapa kamu tidak berupaya mendidik mahasiswa/imu agar berhenti membenci, padahal kamu memiliki kapasitas dan kesempatan untuk itu lho?"
Betapa aku akan gelagapan saat aku tidak melakukannya.
Dengan memanfaatkan posisi sebagai dosen aku mengambil resiko mengundang Merlyn, tanpa terlebih dahulu berembug dengan kordinator matakuliah maupun dekan. Aku merasa tidak perlu karena ini menyangkut kewenanganku sebagai dosen. Cukup aku saja yang menyelesaikan dan bertanggung jawab. Aku digaji untuk itu.
Aku juga sangat sadar jika suatu saat dituding mengkampanyekan isu LGBT di kampus. Aku mungkin dengan enteng menjawab; bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat.
Pancasila mendidik kita agar berani bertumbuh dengan kemanusiaan yang adil dan beradab dan menjaga persatuan Indonesia. Pancasila mendorong kita, sebagai warganegara, untuk senantiasa bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di titik ini aku akan berhenti sembari bertanya balik, "Bagaimana mungkin kita akan mewujudkan hal tersebut jika kita bisa memahami orang-orang yang ada di dalamnya?
Menudingku mengkampanyekan LGBT di kampus akan sia-sia. Sebab aku tak pernah mengatakan, "Mari kita menjadi gay, lesbian atau transgender," Yang aku kampanyekan justru dorongan kepada para mahasiswa untuk melihat dan memperlakukan manusia sebagai manusia. Nothing more nothing less.
Aku baru saja selesai membaca refleksi pendek --lebih tepatnya semacam kesan-- yang dibuat oleh hampir seratus mahasiswaku yang hadir bersama Merlyn. Semuanya mengapresiasi positif acara tersebut.
Terdapat banyak dari mereka mengaku mendapat pencerahan setelah mendengarkan langsung dari Merlyn. Bertemu Merlyn seperti menemukan berli(a)n.(*)
Wednesday, November 17, 2021
MERAH-PUTIHKAN MUI!
Monday, November 15, 2021
MALES NYETATUS
Thursday, November 11, 2021
Ayat Keramat
Tuesday, November 2, 2021
Penyaliban Yesus/Isa di GKJ Bhayangkara
Monday, November 1, 2021
MENANTANG KEWARGANEGARAAN DI PADJADJARAN
Matakuliah umum (MKU) seperti Pancasila, Ilmu Sosial dan Budaya, Agama, maupun kewargaan, sering dianggap remeh. Seringkali, matkul tersebut dijadikan tempat pembuangan dosen-dosen, di beberapa kampus.
Padahal, MKU merupakan "jantung," perubahan cara pandang mahasiswa/i. Melalui MKU, para mahasiswa tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan, namun juga mendialogkannya dengan nilai (value) --supaya terjadi perubahan perilaku.
Jika kita pernah dengar Seven Deadly Sins, maka, menurutku, di MKUlah tempatnya; kita boleh menjadi kaya namun tidak boleh rakus; kita bisa pintar namun terlarang meninggalkan kemanusiaan, dan yang lain.
Nah, kerapkali --aku ambil contoh matakuliah Kewarganegaraan-- tidak bisa optimal mengubah cara pandang seseorang, misalnya, terkait toleransi dan intoleransi.
Sangat mungkin hal ini disebabkan banyak faktor, salah satunya, teknik/metode maupun paradigma mengajar. Seandainya pengajaran matkul tersebut lebih "didaratkan ke bumi," ketimbang dibiarkan "gentayangan di atas langit," --maka bisa jadi hasilnya berbeda.
Di video ini, saat diundang oleh FISIP Universitas Padjadjaran (30/10/2021), aku menawarkan sedikit cara bagaimana idealitas pengajaran MKU kewarganegaraan (civics).
Selama lebih kurang 30 menit, aku coba menjelaskannya, disertai basis teori dan implementasinya, berdasarkan pengalaman kelasku Pancasila di kampus Ciputra. Berikut videonya.
Nah yang menurutku menarik, saat itu, aku juga melakukan polling pada mahasiswa yang hadir. Aku namai pollingnya; tes wawasan kewarganegaraan.
Isinya, menelusuri sejauhmana penerimaan mereka terhadap kelompok berlatar belakang agama dan identitas berbeda dengan mereka. Misalnya, apakah kamu memiliki teman LGBT; apakah keberatan pacaran beda agama; apakah keberatan jika ada dosen/staff/karyawan/mahasiswa LGBTIQ di kampusmu.
Pokoknya seru!
Jika tidak percaya, silahkan melihatnya sendiri di SINI.
Dari jawaban-jawaban yang masuk, kita jadi tahu seberapa akut kadar bias identitas bercokol dalam pikiran mereka.
Aku berpikir, instrumen ini bisa terus dikembangkan supaya kita lebih akurat mendapat gambaran tentang diri dan lingkungan kita. Gambaran ini kemudian bisa dijadikan milestone untuk intervensi lanjutan; mau diperparah atau disembuhkan.
Dengan model yang aku tawarkan, kini pembelajaran matakuliah kewarganegaraan tidak lagi mengawang dan membosankan. Sebaliknya, ia dipenuhi gebrakan dan, tentu saja, tantangan.(*)