Pages

Friday, November 26, 2021

Adakah Keselamatan di luar Agamaku?

Berkali-kali aku menulis dan berbicara topik ini dalam banyak kesempatan. Tak terkecuali dalam kelas Religions N kampus Ciputra, pagi ini, Jumat (26/11/2021).


Hari ini adalah hari terakhir presentasi kelompok. Mungkin kelompok kesepuluh. Sejak masuk kuliah September lalu, kami mendiskusikan banyak topik; dari konsep ketuhanan, penderitaan, hidup sesudah mati, agama dan sains, hingga simbol, ritual dan kekerasan agama.

Pagi ini, kelompok terakhir mempresentasikan konsep kebebasan agama dari beberapa agama yang ada di Indonesia. Semua anggota kelompok presenter beragama Islam.


"Kok bisa semuanya Islam?" kataku heran.

"Lha kami juga ndak tahu, sir. Kan mister sendiri yang pilih," ujar salah satu anggota.


Aku mecoba mengingat kenapa hal ini bisa terjadi. Tersadar olehku bahwa aku metode pemilihan kelompok dilakukan secara otomatis oleh sistem elearn kami. Sangat mungkin berdasarkan abjad nama atau NIM. Aku sudah tidak ingat kembali.


Yang justru aku ingat adalah isi presentasi mereka; idak ada satu agama pun yang dicitrakan menolak kemerdekaan beragama/berkeyakinan, bahkan termasuk agamaku sendiri --agama yang dianut oleh semua anggota kelompok.


"Tapi, bagaimana kamu menjelaskan pada kelas ini tentang kelakukan orang yang agamanya sama denganmu, yang kerap melakukan destruksi dan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain, terkhusus Kristen?" debatku pada Ulhaq, cowok.


Ia menjawab dengan nada keheranan; kenapa bisa seperti itu. Ia tidak setuju dengan praktek tersebut, bahkan mengecamnya.


Menurutnya, banyak orang Islam yang mudah emosi dan baper, padahal terhadap konten yang bernada guyonan antaragama. Guyonan kok dianggap serius, ujarnya.


"Menurutmu seperti konten babi masak kurma (BMK) yang pernah viral itu kah, Ulhaq?" tanyaku.


Ulhaq mengiyakan.


Konten BMK memang sempat jadi polemik sebelum akhirnya ditakedown dari Youtube. Coki dan Tretan sendiri, tak pelak, jadi bulan-bulanan netizen. Ada yang mendukun namun tidak sedikit yang menghujat.


"Menurut kalian, dalam situasi makin intoleran seperti sekarang, konten seperti ini diperlukan atau malah seharusnya nggak perlu ada?" tanyaku pada mahasiswa/i.


Beberapa dari mereka bergantian menyatakan pendapatnya. Rata-rata menyayangkan kenapa harus ada konten seperti itu. Nggak sensitif agama.


"Apa nggak ada topik lain yang bisa diambil sebagai konten?" tanya Yu Jin agak gusar.


"Eh Yu Jin, kamu Kristen kan? Kalau misalnya ada orang yang membuat lelucon atas tuhanmu, kamu marah nggak?" tanyaku.


"Ya enggak lah, pak" ujarnya langsung.

"Nggak pengen nglaporin ke polisi, misalnya?" desakku.

"No, sir. Biarlah Tuhan sendiri yang akan berurusan dengannya," ia menjawab.


Jawaban seperti ini sudah aku prediksikan sebelumnya. Di kelas kedokteran ini, Yu Jin termasuk mahasiswi cerdas. Ia lahir dan besar di Korea. Ia pernah mengaku kaget melihat begitu banyak perempuan menutup kepalanya (jilbab) saat pindah ke Indonesia. Saat di Indonesia, mamanya tertarik dengan Buddha. Ia sempat bingung dan kecewa atas pilihan mamanya. Dia menceritakannya di hadapan kelas beberapa minggu lalu.


"Kebebasan dan kemerdekaan beragama yang dipresentasikan tadi serasa paradoks dengan kenyataan. Tahukah kamu apa penyebabnya? Kita terlalu sering dicekoki; identitas kitalah yang paling benar," ujarku.


Aku kemudian mengajukan pertanyaan di slide dan meminta mereka menulis pendapatnya di elearn, "Adakah keselamatan diluar agamamu?"


Kelas menjadi hening selama 10 menit. Keheningan yang menurutku terasa aneh; 40 orang dalam zoom, semuanya off-cam dan off-mic.


Tulisan mereka merupakan bagian dari kehadiran mereka di kelas. Jika ada yang tidak mengunggah tulisan di elearn, meskipun yang bersangkutan hadir di zoom, maka sistem presensi ekan mengaggapnya tidak masuk.


Aku kemudian meminta beberapa dari mereka menyampaikan apa yang mereka tulis. Ada beberapa yang tetap keukeuh tidak mau mengaku ada keselamatan di luar agama mereka.


"Menurutku semua orang punya pilihan teologis. Kita harus saling menghormati. Hanya saja, yang menjadi concernku, terutama bagi yang tetap keukeuh; sejauhmana pendirian teologis seperti itu tidak akan membahayakan hak orang lain yang berbeda agama," ujarku.


"Maksudnya bagaimana, pak" kata salah satu dari mahasiswa.


"Misalnya, sederhana saja, kamu punya anak. Dia memilih agama berbeda denganmu lalu kamu sedih. Tidak rela. Tidak mengakuinya sebagai anak lagi. Atau secara diam-diam, kamu merekrut karyawan berdasarkan sentimen agama. Masih banyak lagi contoh yang bisa dipaparkan," ujarku berbusa-busa hingga lupa jam kelas sudah lebih dua menit.


Aku kemudian meminta Anastasia memimpin doa penutupan kelas secara katolik.


"Baik, pak. Marilah kita berdoa menurut agama kita masing-masing. Dengan nama Bapak, Putra dan Roh Kudus......" ia melangitkan doa dan kami ikut naik ke atas.

menutup kelas ini secara



kesamaan agama padahal kandidat terbaik

No comments:

Post a Comment