Aku senang sekali. Aku bahagia.
Kebahagiaan itu hampir paripurna setelah aku membaca refleksi mahasiswa/iku pascapertemuan dengan Merlyn.
Merlyn adalah waria --diksi yang ia pilih sendiri ketimbang transgender atau transpuan. Aku sudah lama mendengar namanya, terutama saat menggeluti isu minoritas gender dan seksualitas, sekitar 5-7 tahun lalu.
Jika ada yang bertanya kenapa aku yang hetero dan cis-gender ini menggeluti isu yang sangat berbahaya ini, jawabnya; aku nggak tahu.
Yang aku rasakan, aku selalu merasa isu tersebut "memanggilku," --ia seperti mengatakan "Jangan kelamaan membela isu pluralisme agama, sudah waktunya kamu menghampiri kami,"
itu yang aku rasakan.
Perasaan tersebut sebenarnya mengalami gejolak yang tidak mudah. Sebab, seperti yang diduga banyak orang, aku menemukan kesukaran-kesukaran dalam hidupku.
Tak terhitung lagi berapa banyak kawanku yang, aku rasakan, mulai menjauhiku. Keluarga besarku juga berkomentar, termasuk anak dan istriku.
Aku masih tidak bisa lupa sebuah peristiwa. Saat itu aku di bis Damri, dari Soekarno-Hatta menuju sebuah hotel --tempat syuting ILC -- di mana aku diundang untuk pertama kalinya.
Saat di bis, aku ditelpon seorang kawan. Ia mengaku membawa pesan dari orang yang sangat aku hormati, imamku dalam gerakan. Pesannya, aku diminta tidak menyebutkan organisasiku sebagai afiliasi saat di ILC.
"Tahu sendirilah, isunya terlalu beresiko bagi organisasi kita," ujarnya.
Aku tidak mendebatnya. Untuk apa? Ia hanya pembawa pesan saja. Tidak lebih.
Aku akan menjadi tidak dewasa jika menanggapinya secara emosional. Santai saja. Namun demikian aku tidak habis pikir kenapa tidak boleh.
Aku harus jujur, keterlibatanku dalam isu ini, bagi organisasi tersebut, rupanya cukup menyulitkan posisi organisasiku tersebut. Khususnya di hadapan para elders; para tetua; yang memiliki cukup kuasa atas republik ini.
Namun demikian jangan salah, aku merasa semua kawan di organisasiku adalah pribadi yang memiliki komitmen memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini kami hayati. Mungkin ini hanya terkait strategi.
Dari berbagai pergulatanku dengan hal seperti ini, aku semakin menghayati betapa tidak nyamannya disalahpahami, dieksklusi, dikucilkan, dan semacamnya.
Penghayatan ini semakin meneguhkanku untuk berusaha mencegah orang agar tidak salah paham atas suatu yang kurang mereka pahami. Kesalahpahaman adalah langkah awal kehancuran.
Banyak orang Islam membenci rumah ibadah agama lain, khususnya gereja, karena faktor ketidaktahuan. Menurutku.
Tidak sedikit orang membenci LGBT , juga, karena kekurangpahaman atasnya. Menurutku.
Ini membuatku sedih.
Itu sebabnya, dalam beberapa tahun in, aku senantiasa berusaha mengajak sebanyak orang Islam untuk lebih memahami Kekristenan dan agama lain, serta, kelompok minoritas gender dan seksualitas.
Merlyn termasuk kelompok yang aku sebut terakhir tadi.
Meski tidak pernah bertemu secara fisik, aku semakin "intens," dengan Merlyn melalui salah satu filmnya, "Perempuan Tanpa Vagina," --diproduksi tahun 2019.
Film ini aku jadikan semacam film wajib dalam kelas yang aku ampu sejak 2019 lalu. Baik kelas Pancasila maupun Religions.
Hampir semua mahasiswa/i yang aku ajar di UC pasti pernah menontonnya. Itu sebabnya, jika suatu saat kalian ketemu alumni UC dan mengaku pernah menonton film tersebut selama kuliah, aku yakin ia pernah ikut kelasku.
Sangat mungkin aku adalah satu-satunya dosen yang menjadikan film Merlyn tersebut sebagai materi pembelajaran. Belum pernah aku tahu ada dosen lain "sengawur," aku --membawa isu minoritas gender dan seksual ke dalam kelas.
Keberanianku membawa isu ini ke kampus didorong oleh apa yang sudah aku jelaskan di awal. Aku seperti merasa bertanggungjawab jika menemukan orang yang memiliki kesalahpahaman berkaitan dengan isu identitas. Aku juga merasa spirit Gus Dur hadir mendongkrak keberanian tersebut.
Keberanian mengundang Merlyn ke kampus aku lakukan juga karena posisiku sebagai dosen Pancasila. Aku tidak mau jika suatu saat sejarah mengadiliku, "Aan, kenapa kamu tidak berupaya mendidik mahasiswa/imu agar berhenti membenci, padahal kamu memiliki kapasitas dan kesempatan untuk itu lho?"
Betapa aku akan gelagapan saat aku tidak melakukannya.
Dengan memanfaatkan posisi sebagai dosen aku mengambil resiko mengundang Merlyn, tanpa terlebih dahulu berembug dengan kordinator matakuliah maupun dekan. Aku merasa tidak perlu karena ini menyangkut kewenanganku sebagai dosen. Cukup aku saja yang menyelesaikan dan bertanggung jawab. Aku digaji untuk itu.
Aku juga sangat sadar jika suatu saat dituding mengkampanyekan isu LGBT di kampus. Aku mungkin dengan enteng menjawab; bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat.
Pancasila mendidik kita agar berani bertumbuh dengan kemanusiaan yang adil dan beradab dan menjaga persatuan Indonesia. Pancasila mendorong kita, sebagai warganegara, untuk senantiasa bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di titik ini aku akan berhenti sembari bertanya balik, "Bagaimana mungkin kita akan mewujudkan hal tersebut jika kita bisa memahami orang-orang yang ada di dalamnya?
Menudingku mengkampanyekan LGBT di kampus akan sia-sia. Sebab aku tak pernah mengatakan, "Mari kita menjadi gay, lesbian atau transgender," Yang aku kampanyekan justru dorongan kepada para mahasiswa untuk melihat dan memperlakukan manusia sebagai manusia. Nothing more nothing less.
Aku baru saja selesai membaca refleksi pendek --lebih tepatnya semacam kesan-- yang dibuat oleh hampir seratus mahasiswaku yang hadir bersama Merlyn. Semuanya mengapresiasi positif acara tersebut.
Terdapat banyak dari mereka mengaku mendapat pencerahan setelah mendengarkan langsung dari Merlyn. Bertemu Merlyn seperti menemukan berli(a)n.(*)
No comments:
Post a Comment