INI JUDUL yang queer, paradoks, dan aneh. Mencampurkan dua hal yang kontradiktif. Aneh tapi nyata.
Contoh sederhananya; kita bahagia sekaligus terluka, misalnya, saat melihat orang yang kita sayangi memilih hidup bersama orang lain. Kita bahagia karena ia, orang yang kita sayangi bahagia. Sekaligus, kita terluka karena kebahagiaannya, ternyata, tidak disongsong bersama kita dalam satu biduk.
Kejadian ini agak mirip menimpaku beberapa hari lalu di Nganjuk. Aku bahagia sekaligus terluka saat mengunjungi kota angin tersebut.
Kebahagiaanku membuncah saat tiba di Klenteng Hok Yoe Kiong. Lokasinya di daerah Sukomoro Nganjuk.
Aku kesana bersama rombongan Surabaya. Ada mas Irianto, mbak Sita --istrinya, serta Cahaya Purnama --aktifis muda GKJW.
Di klenteng tersebut aku dan mas irianto memantik diskusi offline lintasagama dan entis. Seputar 9 nilai Gus Dur, serta bagaimana menjadikan nilai tersebut sebagai bahan bakar menjaga kebinekaan Indonesia.
Negara ini memang sedang terbakar oleh intoleransi, khususnya yang dilakukan oleh banyak orang Islam. Gereja dibakar, disegel, dihambat pendiriannya. Bahkan, beberapa dibom, seperti kejadian di Surabaya dan Makassar.
Aku bahagia semua peserta tampak memiliki kegairahan dalam hal ini. Gairah tersebut merupakan modalitas penting memperbaiki banyak hal.
Setelah acara selesai, kami berempat diundang makan siang mas Wijaya, ketua PSMTI Nganjuk.
Sembari menikmati nasi becek yang sangat terkenal itu, ia bercerita tentang banyak hal. Yang aku ingat ada dua; seputar pembantaian Tionghoa di Nganjuk pada masa Bersiap, serta buruknya pembangunan pedestrian a la Malioboro di Nganjuk.
Pedestrian itu merentang panjang di jalan utama areal pertokoan Nganjuk, termasuk depan tokonya.
"Lihatlah gus, pedestrian ini lebih tinggi dari posisi toko. Kalau hujan, airnya masuk membanjiri toko-toko," katanya sembari menunjuk bekas genangan di salah satu toko..
"Gugat ae mas. Class action," kataku ngompori. Dia hanya nyengir saja.
Mas Wijaya dan puluhan pemilik toko di kawasan tersebut jelas dirugikan oleh pemkab Nganjuk. Uniknya, mereka tidak sendirian. Ada puluhan orang yang juga dirugikan oleh ketidakbecusan pemkab.
Mereka adalah jemaat Rumah Doa GSJA Kanaan Loceret Nganjuk. Dipimpin oleh gembala sidangnya; Pdt. Demsi Salmon Tamunu.
Setelah selesai makan, kami berempat mengunjungi "tempat ibadah," sementara milik rumah doa tersebut.
"Tempat ibadah," ini adalah bangunan tidak terpakai yang kabarnya milik Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Nganjuk.
Namanya saja tidak terpakai, otomatis tidak terawat. Mirip rumah hantu. Nyamuk mendengung menyambut kedatangan kami. Bau apek.
Debu di mana-mana. Jendela belakangnya omplang-omplang tidak ada daunnya. Tidak ada air di kamar mandinya. Mbak Sita yang kebelet pipis terpaksa harus numpang di toko sebelah.
"Kami tidak diperkenankan mengubah apapun yang ada di sini. Begitu bunyi perjanjiannya dengan pemkab," kata Demsi.
Melas banget.
Demsi dan jemaatnya memang mengalami penderitaan panjang terkait rumah ibadah. Beberapa tahun lalu, ia sudah membeli sebuah rumah untuk ibadah di daerah DI. Panjaitan Loceret Nganjuk.
Rumah ibadahnya didemo berkali-kali. Sempat heboh di media sosial.
Aku sendiri pernah ke rumah ibadah di Loceret bersama beberapa kawan GUSDURian di sana. Bahkan pernah shalat di sana.
Seingatku, Natal dua tahun lalu, aku meminta Gus Arif ikut natalan di sana. Dan mengajak Pdt. Demsi memperkuat GUSDURian Nganjuk, hingga sekarang.
Setelah suasana kembali kondusif, beberapa warga mendemo rumah ibadah itu lagi. Kali ini lebih keras dan memaksa pemkab turun tangan memediasi.
Hasilnya, pemkab berhasil "memaksa," GSJA Loceret menandatangi perjanjian menjual rumah ibadah tersebut ke pihak desa.
Menurut Demsi, pemkab juga berjanji akan membantu proses relokasi ke tempat baru. Namun janji tinggal janji.
Pembeli rumah tersebut terus mndesak Demsi agar mengosongkan rumah dangan alasan akan dipakai. Padahal Demsi belum mendapat lokasi pindah yang tempat.
Setelah menekan pemkab, Demsi akhirnya diungsikan ke rumah hantu tersebut. Secara permanen? Tentu tidak!
GSJA Loceret "dipaksa," lagi menandatangani perjanjian yang pada prinsipnya; keberadaan GSJA Loceret di rumah hantu bersifat sementara. Jika tidak salah hanya 3 bulan saja.
Selama 3 bulan Demsi dan jemaatnya diminta mencari lokasi baru sendirian. Jika tidak berhasil menemukan maka Demsi dan jemaatnya diminta bergabung dengan GSJA terdekat, di kota Nganjuk.
"Sedih aku, gus," katanya.
Raut mukanya bercampur aduk. Antara sedih, marah, jengkel. Berkumpul jadi satu.
Aku sempat melihat raut muka Mas Irianto, Mbak Sita dan Cahaya. Raut muka yang penuh kedukaan. Aku sempat meminta Cahaya untuk mendiskusikan dengan kawan-kawan di PGIW Jawa Timur.
"Tidak harus nyari solusi, cukup sambangilah Demsi. Lawatlah. Tawarkan bahu untuk meratap," pintaku.
Kesedihan kami seketika buyar saat beberapa anak muda, jemaat GSJA datang ke rumah hantu, bersama istri dan anak Demsi.
"Kami mau persekutuan di tempat lain. Kalau di sini nggak bisa. Ini sudah menjelang senja. Tidak ada lampu di sini," kata Demsi.
Mendengar ini, hatiku terasa makin diiris-iris. Lukanya makin menganga, dikucuri jeruk nipis.
Sebelum pamit pulang, kami sempat berdoa di depan "rumah hantu," ini. Demsi juga harus mengantar mereka ke persekutuan doa.
Doa dipimpin secara Katolik oleh Mas Irianto. Doa ini membawa kami pulang ke Surabaya, dengan perasaan bahagia sekaligus terluka. (*)
No comments:
Post a Comment