Hanya saja, aku harus menuliskannya agar aku bisa menziarahi kembali kenanganku.
Di kota itu, aku akan menghadiri penahbisan ---semacam pelantikan dalam tradisi gereja-- seorang teman. Namanya Pdt. Martin Krisanto Nugroho.
Entah apa kekhususannya. Aku tidak tahu.
Yang aku pahami, jabatan barunya ini semacam penegasan bahwa Martin sangat mungkin bukan lagi pendeta sembarangan.Kan sudah berstatus khusus? Kalau mobil, mungkin platnya RFS.😝
"Datang yo, gus. Offline," undangnya.
Aku menyanggupi dengan perasaan agak berat. Pandemi telah membuatku terkena virus "enak mager," --malas pergi jauh-jauh.
Apalagi, pasanganku juga sedang keluar kota untuk beberapa hari. Praktis anak-anakku di rumah sendirian.
Hanya saja, aku merasa perlu hadir sebab Pdt. Martin bukanlah figur sembarangan. Ia tidak hanya cerdas namun juga progresif.
Aku pernah menjajalnya sendiri saat ia dan beberapa pendeta muda GKI membikin "kejutan," pada event BBVC di Banyuwangi.
Keberanian mereka membuat jagat gereja mereka horek, terutama setelah aku menulis liputannya di FB. Bahkan, sampai saat ini, tulisan tersebut masih berstatus "only me," --temporary self-suspended.
Menurut beberapa kawan, peristiwa tersebut merupakan langkah mundur. Mungkin mereka benar.
Hanya saja, yang jarang kita sadari; agar bisa maju lebih progresif, seseorang perlu mundur, mengambil ancangan. Semakin ia mundur, lentingannya akan semakin yahut. Persis seperti ketapel.
Tampaknya GKI wilayah Jawa Timur akan melenting lebih jauh ke depannya. Aku mendengar Pdt. Martin akan tandem dengan Pdt. Leo. Pendeta kedua ini akan menjadi nakhkoda baru di sinode wilayah Jawa Timur.
Mas Leo tidak hanya terkenal dengan ketekunan akademiknya. Lebih jauh, ia juga tak kalah progresifnya dengan Martin.
"Gus Aan, terima kasih telah mensupport dan bersama GKI Yasmin selama ini," ujarnya suatu ketika.
Perjalanan ke Bondowoso, aku yakini, akan membawa gairah baru padaku. Setidaknya gairah nulis status ini. (*)
No comments:
Post a Comment