Pages

Tuesday, November 2, 2021

Penyaliban Yesus/Isa di GKJ Bhayangkara


Seorang ibu, warga jemaat GKJ Bhayangkara Purwokerto , mengaktifkan mikrofonnya. Ia bertanya padaku seputar penyaliban Yesus yang kontradiktif antara ajaran Kristen trinitarian dan pandang Islam mainstream. Mana yang benar? Bagaimana mendamaikannya?
**

Aku akhirnya mengisi katekisasi internal di GKJ Bhayangkara Purwokerto. Teman baikku, Pdt. Maria, melayani di sana. 

Gereja ini adalah tempat singgahku setiap kali ke Purwokerto --selain sekretariat GUSDURian di dekat alun-alun kota itu. Aku mengenal banyak jemaat maupun pengurusnya. Aku merasa mereka adalah keluargaku.

Itu sebabnya saat dikontak Maria untuk mengisi katekisasi Senin (18/10) jam 18.00, aku sulit menolaknya. Padahal aku sudah ada acara pada waktu yang sama.

"Beri aku waktu sampai besok untuk memutuskannya ya, M" tawarku padanya.

Selain faktor kedekatan dengan gereja tersebut, topik yang ditawarkan padaku cukuplah menantang -- topik apa sih yang lebih hot ketimbang sengkarut ketuhanan Kristen dalam benak orang Islam? Tidak ada. 

Nah Pendeta Maria memintaku menyampaikan gagasan, pandanganku terkait trinitas a la Islam moderat. Maria mengklasifikasikanku sebagai kelompok moderat. Aku berterima kasih untuk itu.

"Gus Aan, saya ini dulunya Islam, ada hal yang cukup mengganggu saya," ujar bu Wince --bukan nama sebenarnya, ketika sesi tanya jawab berlangsung.
"Soal apa ya, mbak?" tanyaku balik.

Ia kemudian memapar kegalauannya seputar kontradiksi  penyaliban Yesus antara Alkitab dan pemahaman Islam pada umumnya.

Aku kemudian dengan santai mengajaknya membayangkan ia memiliki suami tentara, yang terbunuh secara sadis di tangan musuh. Tubuhnya dicincang musuh setelah terlebih dahuu mengalami penyiksaan sangat pedih. 

Saking tragisnya, kematiannya tidak perlu digambarkan. Menggambarkannya dengan kata-kata justru malah akan "merendahkan," martabat almarhum.

"Mbak, aku sangat bisa memahami seandainya mbak memilih tidak menceritakan secara detil kematian tersebut ketika ditanya anak-anak mbak yang masih kecil menanyakannya," kataku.

Detil kematian ayah mereka, jika dipaksaceritakan, tambahku, sangat mungkin justru akan memengaruhi kondisi psikologi mereka; dapat membuat mereka trauma dan kehilangan konfidensi atas ayah mereka.

Pilihan untuk tidak menceritakan detil kematian merupakan keinginan mulia yang muncul sebagai konsekuensi watak baik tiap manusia. Pilihan ini juga dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga kehormatan pemilik tubuh agar tidak tercoreng oleh aib. Kematian dengan cara seperti itu adalah aib, harus disembunyikan.


"Lihatlah bagaimana tradisi Kristen Indonesia memperlukan orang yang sudah mati. Diberikan pakaian terbaik, diawetkan, dimake over habis-habisan agar ia bisa menghadap Gusti dengan sebaik--baiknya, sehormat-hormatnya," ujarku.

Seandainya ada bekas luka di wajah jenazah, maupun di bagian lain tubuhnya, sangat kecil kemungkinan hal itu akan dibiarkan tampil begitu saja. Perawat jenazah pasti akan mengintervensi hal tersebut. Demi menjaga kehormatan jenazah.

Menjaga kehormatan, dalam konteks ini, dirasa lebih penting ketimbang "bersikap jujur," menampilkan jenazah yang sesungguhnya. 


"Maka, mbak, nalar seperti inilah yang dipilih kristologi Islam dalam meyakini penyaliban Yesus," ujarku.

Yesus/Isa bagi orang Islam, tambahku, adalah sosok yang sangat suci. Kehormatan sosok seperti ini tidak boleh dinodai sedikitpun. Yesus/Isa yang disiksa --dan akhirnya meregang nyawa di kayu salib adalah aib yang sangat berat, yang harus ditutupi, demi menjaga kehormatannya.

"Kami sangat mencintai Yesus. Itu sebabnya kami tidak akan membiarkan kehormatannya tercoreng ---sungguhpun peristiwa penyaliban itu benar-benar terjadi. Dari sini kira-kira bisa dipahami kan, mbak?"

Yesus, tambahku, kami anggap "terlalu suci," untuk "dikotori," oleh penghinaan dalam bentuk penyiksaan, penderitaan dan penyaliban. 

Posisi keimanan kami atas Yesus yang "tidak pernah disalib," --jelasku-- kira-kira sama persis dengan pilihan tradisi kekristenan dalam memperlakukan jenaazah secara positif sebagaimana di atas. 

Forum katekisasi begitu sunyi saat aku menjelaskan hal ini. Entah apa yang ada dalam benak para peserta atas responku. Yang aku pedulikan hanyalah bagaimana aku mampu menjelaskan kejujuranku.

Aku juga tidak yakin seberapa banyak orang Islam mengetahui dan menerima rasionalisasi seperti yang aku jelaskan di atas. Kebanyakan dari kami selama ini, sejujurnya, telah dididik untuk bersikap taken for granted atas doktrin antipenyaliban. Sami'na wa atho'na, pokoknya.

Akan tetapi Siapapun yang pernah belajar sejarah gereja, pasti tahu ada doktrin docetism yang sangat memengaruhi sekte Monofisit pada masa kekristenan awal. Doktrin yang menitikberatkan pada aspek ketuhanan Yesus ini secara otomatis menyangkal kemanusiaan Yesus. Dengan demikian, doktrin ini menyangkal realitas kelahiran, ketubuhan, penderitaan, dan juga penyaliban Yesus. Semua aspek kemanusiaan Yesus adalah ilusi belaka.  Doktrin ini secara sederhana ingin menyatakan; Yesus adalah 100 persen tuhan dan 0 persen manusia.

Doktrin ini berbeda dengan doktrin trinitas yang mengimani bahwa Yesus merupakan tuhan sepenuhnya dan manusia sepenuhnya. 

Docetism dan monofisit selanjutnya dianggap sebagai ajaran heterodoks, bidat, murtad, dan sesat. Tidak boleh diajarkan.

Kelompok ini, bersama sekte-sekte  non-trinitarian lainnya, selanjutnya menyingkir ke semenanjung Arab, hidup di sana, termasuk di Makkah dan Yathrib (Madinah) lebih dulu sebelum kemunculan Islam. Beberapa sekte lain, misalnya, Ebionite, Gnostic, Arian, dan Nestorian.

Bisa dikatakan, Islam tumbuh dan "dibesarkan,"  dalam tradisi dan doktrin sekte-sekte tersebut. Itu sebabnya, pengaruh mereka sangat kuat membentuk kristologi Islam yang sangat antitrinitarian, termasuk dalam isu penyaliban.

"Mbak, saya percaya fakta sejarah. Jika Yesus secara historis telah dibuktikan mati di kayu salib, saya tidak bisa menyangkal hal tersebut. Namun saya juga bisa memahami seandainya mbak memilih tidak menceritakan ke anak-anak seputar detil kematian ayah mereka. Semoga poinku bisa dipahami ya," kataku.

Di akhir forum, aku mendorong peserta merenung; apakah memang Yesus pernah menyatakan secara jelas dan tegas bahwa trinitas merupakan satu-satunya jalan keselamatan; apakah memungkinkan semakin seseorang fanatik terhadap trinitas semakin ia bisa menerima semua cara menuju Yesus?

Lamat-lamat aku teringat sebuah kalimat; kali kecing kali bening, segoro wajib nompo.

No comments:

Post a Comment