Pages

Saturday, November 27, 2021

Ujian itu Bernama Saksi Yehuwa

Betapa kagetnya aku membaca kabar dari portal KompasTV. Tiga orang bersaudara, semuanya belajar di sekolah dasar negeri yang sama, mengalami peristiwa diskriminasi berlapis-lapis dan berkepanjangan.

Mereka diperlakukan demikian hanya karena ia tidak berkristen seperti Kristen pada umumnya. Kejadiannya di Juata Krikil Tarakan Utara.

Yang mengejutkanku, orang tua mereka melawan sekolah tersebut melalui pengadilan. Beberapa kali. Menang terus.

Terakhir dikabarkan, ketiga anak tersebut tidak naik kelas karena nilai matapelajaran Agama Kristen tidak diberikan oleh gurunya. 

Bisa kita tebak dengan mudah; sang guru adalah penganut Kristen kebanyakan; aliran trinitarian, yang meyakini Yesus adalah tuhan, sedangkan tiga muridnya Kristen beraliran Saksi Yehuwa (SY), denominasi yang tidak meyakini Yesus adalah tuhan. 

Tidak sedikit orang Kristen-trinitarian (KT) keberatan dengan SY. Menganggap mereka bukan Kristen karena perbedaan keyakinan terkait Yesus. 

Sikap ini mirip dengan banyak orang Islam yang tidak mau mengakui Ahmadiyyah adalah muslim karena perbedaan keyakinan terkait konsep kenabian. 

Peristiwa diskriminasi SY ini cukup lama mengkuatirkanku. Aku kuatir banyak teman-temanku tidak mampu melewati ujian ini. 

Hampir semua teman Kristenku beraliran trinitarian. Setiap hari mereka mengagungkan Yesus sebagai Tuhannya. Aku menyaksikannya itu semua di Facebook maupun di beberapa WA grup, lengkap dengan ajakan mulia untuk mengasihi sesama maupun alam raya. 

Selama ini aku berpikir cobaan terberat pegikut Yesus Trinitarian adalah orang Islam -- agama yang secara memposisikan ketuhanan Yesus persis seperti SY. Namun rasanya aku perlu merenungkan kembali pikiran itu. 

Jangan-jangan, ujian terberat KT justru ada di SY. Aku berusaha menebak-nebak; penganut KT mungkin lebih mudah, katakanlah, mentolerir orang yang bersikukun Yesus bukanlah Tuhan di mana orang tersebut tidak beragama Kristen/Katolik. 

Namun menghadapi SY --sekte yang bersikukuh dengan kekristenannya, serta meyakini Yesus bukan Tuhan berdasarkan dalil-dalil Alkitabiahnya? Tentu ini bukanlah hal mudah. Orang Kristen laksana sedang melawan bagian dari tubuhnya sendiri. 

Kerumitannya mungkin seperti saat Soekarno harus memadamkan pemberontakan DI/TII dan memerintahkan hukuman mati pada temannya sendiri Kartosuwiryo. 

Ini yang aku maksud dengan ujian terberat KT.

Peristiwa persekusi SY sesungguhnya telah mengantarkan kita pada sebuah kenyataan; bagiku, sebenarnya trinitas tidak hanya masih misterius dalam hal bagaimana ia bisa dijelaskan secara konseptual maupun analoginya. 

Hal ini dibuktikan dengan cukup beragamnya penafsiran analogis menyangkut doktrin ini. Bahkan dalam sebuah penjelasannya, seorang profesor teologi dari STT Jakarta yang selama ini menggeluti konsep trinitas memasukan diksi misteri sebagai salah satu pilar utama dalam mendekati konsep ini. 

Beban kemisterian trinitas kini terasa bertambah lagi dengan sejauhmana konsep ini mampu memberikan respon kasih-Kristus pada orang yang juga mengklaim sebagai pengikut Kristus non-trinitarian. Bagiku, ini juga masih berstatus sebagai misteri.

Dalam tiga tahu terakhir ini, aku diundang mengisi katekisasi di beberapa gereja. Awalnya untuk topik-topik seputar Islam moderat dan sedikit tentang kristologi Islam dalam narasi yang lebih bersahabat. Belakangan, aku juga diminta berbagi pandangan seputar konsep monoteisme-trinitas.

Sejak kecil aku selalu dididik memahami kekritenan dalam narasi tiga tuhan --yang itu sebabnya tidak sedekit orang Islam meyakini trinitas dalam pemahaman triteisme. 

Aku tidak bisa menyalahkan masa laluku dan para pendahuluku karena mereka tidak dikenalkan dan dipahamkan seputar konsep trinitas. Tidak ada pelajaran mengenal ketuhanan agama lain, apalagi ketuhanan milik agama kompetitor kami.

Belakangan, sekitar 5-6 tahun ini, saat getol-getolnya berelasi dengan kekristenan, aku berpikir; bagaimana mungkin aku bisa total berkawan dengan orang Kristen jika aku sendiri masih gagal memahami hal terpenting yang menjadi ganjalan ratusan juta orang Islam seputar konsep monoteisme trinitas. 

"Apakah aku masih bisa menganggap diriku tulus berkawan dengan Kristiani jika pikiranku masih menyimpan narasi kekristenan itu sesat karena bukan monoteis?" pertanyaan ini pernah begitu kuat mendera sanubariku. Aku mengalami dilema.

Itu sebabnya, aku berusaha keras mencari cara memahami trinitas bukanlah triteisme. Ya aku berusaha sangat keras dan itu tidaklah mudah. 

Bagi kalian, orang Kristen, mungkin hal ini bukanlah sesuatu yang sulit. Sebab, sangat mungkin karena kalian mendekatinya dengan faith-based --baru kemudian melakukan rasionalisasi, dugaanku. 

Hal ini berbeda diametral dengan posisiku; individu yang sejak kecil telah dilatih dan dididik untuk hanya, dan hanya, mempercayai Yesus dalam iman unitarian, seperti titik pijak SY terkait ketuhanan Yesus.

Hal yang ingin aku capai sebenarnya sangat sederhana; bagaiamana aku, pengikut kristologi Islam yang unitarian ini, mampu meyakinkan diriku sendiri; bahwa trinitas adalah monoteis; bahwa monoteisme dalam sangkut pautnya dengan Yesus tidak hanya melulu dalam bentuk unitarian; bahwa "semakin aku untarian semakin aku mampu memahami trinitarian adalah juga monoteistik,"

Dari sini, semoga kalian tidak semakin bingung denganku. Semoga saja.

Alhamdulillah, aku merasa telah menemukan jalan untuk itu. Jalan yang, setidaknya sampai tulisan ini aku ketik, mampu membuatku memahami trinitas. Jalan --atau cara-- ini tentulah bersifat personal. Sebab, belum tentu orang lain cocok dengan cara ini. 

Untuk hal ini, aku harus berterima kasih pada Prof. Irfan Shahid --orang yang tak pernah aku temui secara fisik kecuali karyanya. Salah satu tulisannya, "Islam and Oriens Christianus: Makka 610-622 AD," telah memberiku banyak informasi seputar kristologi Islam; kenapa ia begitu berbeda dengan KT.

Jalan/cara yang telah aku temukan ini pernah aku presentasikan di, seingatku, dua gereja. Pada saat itu aku diundang untuk membagikan gagasanku seputar trinitas -- sebuah langkah berani gereja yang patut diteladani.


Aku juga menjelaskan cara yang aku anggap mudah ini ketika ngopi bersama kawan-kawan di Bondowoso, setelah peneguhan Pdt. Martin usai, beberapa hari lalu.


"Apakah memungkinkan pengikut Trinitarian akhirnya bisa meyakini; semakin aku trinitarian semakin aku akan mampu memahami dan menerima Yesus daalam narasi non-trinitarian?" ujarku saat itu.


Kadang aku merenung --sebuah perenungan yang barangkali akan dituduh sebagai upaya ngoyo-woro,


"Apakah trinitas adalah jalan satu-satunya yang memang diinginkan Gusti Yesus saat menggunakan diriNya? Apakah dia tidak akan menerima siapapun yang tidak menganggapnya Tuhan? Apakah status "pengikut Kristus," hanya dimonopoli oleh mereka para penganut trinitarian ---bukan kelompok seperti SY?


Aku selanjutnya tersadar bahwa setiap fanatisme akan memiliki dampak yang harus dibayar. Fanatisme terhadap apa saja, termasuk atas doktrin trinitarianisme.


"Mbok ya kalian para pendeta juga membekali jemaat terkait sejarah doktrin, terutama apa yang terjadi di Nicea dan Chalcedon 1600an tahun silam, supaya mereka tahu bahwa ada saudara-saudaranya, sesama pengikut Kristus, yang memiliki cara pandang berbeda menyangkut keilahian Yesus. Masak peristiwa sesat-menyesatkan kala itu mau diulangi lagi sih?" kataku dengan tertawa.


Diam-diam, saat menyampaikan hal tersebut, aku dihinggapi perasaan galau. Betapa beratnya tugas mereka jika dilaksanakan. Ibarat seorang sales, tentu lebih mudah mempromosikan produk yang kita pakai ketimbang menyampaikan produk lain yang menjadi pesaing kita.


Hanya saja, para agamawan bukanlah semata-mata sales berkacamata kuda --yang semata-mata memburu kejayaan dan bonus semua. Alih-alih, mereka adalah wakil tuhan, pembawa kabar suka cita dan damai.


Namun mungkinkah, katakanlah, penganut Trinitarian mengajar agama penganut SY tanpa berintensi memaksa dan merusak keyakinan masing-masing? Tentu saja bisa jika orientasi pengajaran agama sedikit diubah; dari klasik menjadi modern.


Konkritnya? Ya seperti yang selama ini dipraktekkan kampusku Ciputra dalam matakuliah Religions.


Aku dosen, Muslim, mengampu hampir 100 mahasiswa/i yang mayoritasnya Kristen/Katolik.


Selama ini kelas kami baik-baik saja. Tidak ada yang melakukan konversi. Malah banyak dari mereka mengaku dapat penguatan dan sekaligus pengetahuan baru seputar agama lain yang dianut teman sekelasnya. Everybody seems to be happy so far.


Saat banyak orang berpandangan penghapusan matapelajaran Agama, aku justru memilih sebaliknya. Tidak perlu dihapus!


Penghapusan akan malah mengundang resistansi yang tidak perlu (collateral damage). Alih-alih pelajaran agama harus tetap dipertahankan dengan catatan; paradigma dan model pengajarannya perlu disempurnakan.


Sebab jika tidak, agama hanya akan menjadi gendruwo berwajah malaikat. Wajahnya manis penuh ornamen kasih dan sukacita namun dibalik itu semua, ah sudahlah...


Selamat hari Minggu.

No comments:

Post a Comment