Pages

Thursday, December 2, 2021

Dua Ujian


Sabtu ini, 4/12, untuk pertama kalinya aku akan ke Jakarta setelah pandemi mengurung Indonesia selama dua tahun. Di sana, aku akan diuji dua kelompok Kristen yang berbeda; akademisi dan warga jemaat.

Entah, apakah aku bisa melalui dua ujian ini. Jika boleh, tidak harus mendapat cum laude. Yang penting, pokoknya lulus. Itu sudah cukup bagiku.

Ujian pertama dilakukan oleh Magister Pendidikan Agama Kristen Universitas Kristen Indonesia (UKI). Siapa sih yang nggak kenal UKI? Setiap kali aku naik Damri dari Soetta, aku selalu mendengar kondektur berteriak keras, "UKI, UKI.."

Di program magister yang dikomandani kak Djoys Rantung ini, aku diminta pandangan seputar arah pendidikan agama Kristen di era digital. Sungguh sebuah topik yang tidak hanya penting namun juga menarik.

Apakah aku punya kompetensi? Entahlah. Jika ukurannya jurnal dan gelar akademik, aku mungkin akan kesulitan. Latar belakang pendidikanku menejemen informatika, Ilmu Hukum, dan Hukum Islam.

Tak pernah aku mengenyam pendidikan teologi atau ilmu kependidikan, secara formal. Itu sebabnya aku juga tidak habis pikir, kenapa kampus sementereng Ciputra Surabaya mau merekrutku sebagai dosen. Dosen Religions pulak.

Namun jika ukurannya adalah keremukredaman hidup sebagai orang Islam yang mengalami pergumulan Islam-Kristen dan agama lainnya, mungkin ada secuil kompetensi yang bisa aku bagikan. Mungkin.

Kekristenan di Indonesia saat ini nampaknya tengah mengalami gelombang pencobaan tidak mudah. Viveri Pericoloso. Bahkan mungkin paling sulit dalam tiga rezim pascakemerdekaan; orde Soekarno, orde Soeharto, dan orde Reformasi.

Aku mengibaratkan mereka mirip performa Manchester United di Premiere League tahun ini. Babak belur digasak adik bungsunya sendiri. Semakin lama semakin beringas.

Itu sebabnya, aku bisa memahami kenapa banyak gereja yang memilih makin menguatkan pertahanan, mengurung diri, dan membatasi interaksinya dengan si bungsu,

Aku katakan, itu manusiawi. Siapa sih yang nggak males berteman dengan orang yang kerapkali mengejek, merundung, bahkan menyakiti secara fisik kita?

"Lebih baik menyingkir ketimbang makan hati. Elu gue end!" -- Mungkin begitu kira gambaran ekspresinya.

Aku sangat bisa memahami sikap seperti itu. Meskipun aku sedikit kuatir membayangkan dunia seperti apa yang akan mungkin terjadi manakala pengerasan masing-masing pihak terus terjadi; yang satu terus mbully, yang satu ogah mendekati.

Aku berpikir perlu ada terobosan yang harus dilakukan; terobosan dari kedua belah pihak. Ini barangkali yang akan aku bicarakan dalam ujian di forum MAPK UKI nanti.



Topik ini akan juga aku sisipkan saat "ujian," di hadapan jemaat GKJ Bekasi Timur, Sabtu sorenya. Secara khusus mereka memang memintaku hadir di sana, meski pandemi belum sepenuhnya reda.

"Mas, kenapa tidak melalui zoom saja ya? Lebih simpel dan nggak mengeluarkan banyak biaya," tanyaku Pdt. Johan, yang melayani di gereja tersebut.

"Lho bertemu lewat zoom kan sudah, mas. Jemaat bersepakat menghadirkan mas Aan. Mereka kepingin tahu sampeyan secara langsung," ujarnya.

Rupanya perjumpaan maya kami beberapa waktu lalu membuat para jemaat penasaran, mungkin. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka penasaran.

Bisa jadi mereka penasaran kok ada orang Islam sepertiku; yang tidak malu mengakui dan menjelaskan kenapa, misalnya, agamanya bisa terjangkiti radikalisme begitu hebat.

Rasa penasaran ini mungkin yang mendorong mereka ingin menemuiku secara lengkap; tubuh dan darahnya.

Aan yang akan datang secara lengkap ini, Sabtu sore nanti, akan diuji seputar Natal dalam pandangan Islam --Islam yang aku pahami dan imani.

Natal dalam konteks kelahiran Yesus kristus --atau Isa Almasih dalam bahasa islam-- adalah peristiwa istimewa menurutku. Keistimewaan ini sangat jelas.

Kelahiran Isa, sang ruhullah (spirit of God), adalah satu-satunya fragmen kelahiran manusia pilihan yang diceritakan Alquran. Aku ulangi lagi; satu-satunya. Dari dua puluh lima utusan Tuhan (rasul allah), hanya putra Maria inilah yang mendapatkan spotlight.

Ah, betapa menyenangkannya dapat bertemu dan diuji oleh teman-teman MAPK UKI dan GKJ Bekasi.

Namun diam-diam, aku berpikir; apakah mereka sadar bahwa Aan Anshori --dan ratusan juta muslim Indonesia lainnya-- sebenarnya dididik mengimani Yesus secara unitarian seperti halnya Saksi Jehova --ketimbang trinitarian.

Mungkin sudah saatnya semua sekte yang mengimani Yesus dengan caranya masing-masing bisa duduk bersama; merawat bekas luka menganga yang pernah terjadi 1500-1600an tahun lalu di Nicea dan Kalsedon.

Cukup duduk saja, nggak perlu ujian.(*)

No comments:

Post a Comment