Saat begitu banyak kawan NUku menyerbu Lampung untuk menyemarakkan Muktamar NU, aku, sebagai orang NU, memilih jalan lain; menghormat Muktamar dengan caraku sendiri. Yakni, terus mencoba mendesyirikasi sosok Yesus.
Kenapa aku memilih ini. Pertama, Lampung terlalu jauh untukku. Budgetku terbatas. Selain itu, aku tidak yakin dapat melakukan sesuatu yang berarti di sana, berbeda dengan kebanyakan temanku.
Kedua, pilihanku berkhidmat dengan cara ini dilandasi keprihatinan serius seputar masih tingginya intoleransi di tubuh Nahdliyyin terhadap pemeluk agama lain, khususnya pengikut Yesus. Keprihatinan ini didasarkan, salah satunya, pada temuan Muhtadi dan Mietzner dalam tulisan mereka "The Myth of Pluralism: Nahdlatul Ulama and the Politics of Religious Tolerance in Indonesia,"
Aku tahu, banyak aktifis dan intelektual NU marah besar atas tulisan tersebut. Hanya saja, sekuat apapun penyangkalan mereka, fakta adalah fakta. Facts are stubborn. Aku sendiri memilih berterima kasih atas sumbangsih Muhtadi & Mietzner ketimbang terus-terusan melakukan penyangkalan. Penyangkalan takkan menghasilkan apapun selain konfidensi yang rapuh serta makin memperburuk keadaan
Penyangkalan juga mendorong seseorang tidak akan menganggap intoleransi di tubuh NU sebagai persoalan. Kemungkinan besar tidak akan dibahas, apalagi dijadikan agenda utama. Ada kesan; lebih "heroik," membahas isu pertanian, sumberdaya alam, ketimbang --misalnya-- intoleransi agama maupun kekerasan seksual.
Di titik inilah aku berupaya menelisik untuk menemukan kenapa banyak orang Islam --baik secara sadar maupun tidak sadar-- menganggap kekristenan sebagai "yang salah,"
Aku menduga kuat, hal ini disebabkan, ketidaktahuan hampir semua orang Islam terkait doktrin monoteisme (tauhid) yang dianut mayoritas pemeluk Kristen Indonesia, yakni trinitas
Ketidaktahuan ini, pada giliranya, menyebabkan mereka menuding pengikut Yesus memiliki tiga tuhan, bukan satu. Dengan kata lain, mereka menuding orang Kristen melakukan kesyirikan (menyekutukan tuhan
Cara pandang ini selanjutnya menjadi landasan utama untuk menentukan sejauhmana batas kebolehan relasi Islam-Kristen. Dalam aplikasinya, landasan ini menjadi semacam pasal karet yang semakin merugikan relasi tersebut
Contoh paling mudah, terkait kebolehan mengucapkan Natal. Salah satu argumen pihak yang melarang adalah pengucapan tersebut dianggap sebagai pembenaran kesyirikan Kekristenan.
Aku sendiri meyakini, masa depan toleransi Kristen-islam di Indonesia akan sangat dipengaruhi sejauhmana pengetahuan orang Islam mampu memahami ketidaktunggalan konsep monoteisme (tauhid
Setidaknya ada dua monoteisme menurutku; binerik seperti yang diugemi Islam, dan monoteisme dialektik --sebagaimana yang aku anggap diimani pengikut Yesus a la trinitarian
Akan cukup sulit bagi banyak orang bisa memahami dua monoteisme di atas selama nalar teologinya tidak --istilahku-- didesyirikisasi
Di titik ini, aku menduga kuat, konsep syirik (menyekutukan Tuhan) sangat kuat beraroma politik, terutama politik yang dilakukan sekelompok orang yang pernah mengalami penindasan dan, pada gilirannya, ingin menguatkan identitasnya sebagai respon atas pengalaman tidak enak itu.
Video ini merupakan rekaman presentasiku dalam sebuah diskusi online menyambut natal. Isinya ada dua bagian; apresiasi AlQuran terhadap kelahiran Yesus/Isa, dan bagaimana mudahnya memahami monoteisme a la trinitas.
Selamat bermuktamar ria!
No comments:
Post a Comment