Pages
Monday, December 27, 2021
Ada JM dan JT Dibalik Sengkarut Penolakan GKI Citraland
Thursday, December 23, 2021
JANGAN MENYERAH, GKI CITRALAND!
Monday, December 20, 2021
MUKTAMAR DAN DESYIRIKISASI YESUS
Saat begitu banyak kawan NUku menyerbu Lampung untuk menyemarakkan Muktamar NU, aku, sebagai orang NU, memilih jalan lain; menghormat Muktamar dengan caraku sendiri. Yakni, terus mencoba mendesyirikasi sosok Yesus.
Kenapa aku memilih ini. Pertama, Lampung terlalu jauh untukku. Budgetku terbatas. Selain itu, aku tidak yakin dapat melakukan sesuatu yang berarti di sana, berbeda dengan kebanyakan temanku.
Thursday, December 9, 2021
DEDIK KETUA PANITIA
Thursday, December 2, 2021
Dua Ujian
Sabtu ini, 4/12, untuk pertama kalinya aku akan ke Jakarta setelah pandemi mengurung Indonesia selama dua tahun. Di sana, aku akan diuji dua kelompok Kristen yang berbeda; akademisi dan warga jemaat.
Entah, apakah aku bisa melalui dua ujian ini. Jika boleh, tidak harus mendapat cum laude. Yang penting, pokoknya lulus. Itu sudah cukup bagiku.
Saturday, November 27, 2021
Ujian itu Bernama Saksi Yehuwa
Mereka diperlakukan demikian hanya karena ia tidak berkristen seperti Kristen pada umumnya. Kejadiannya di Juata Krikil Tarakan Utara.
Friday, November 26, 2021
Adakah Keselamatan di luar Agamaku?
Berkali-kali aku menulis dan berbicara topik ini dalam banyak kesempatan. Tak terkecuali dalam kelas Religions N kampus Ciputra, pagi ini, Jumat (26/11/2021).
Hari ini adalah hari terakhir presentasi kelompok. Mungkin kelompok kesepuluh. Sejak masuk kuliah September lalu, kami mendiskusikan banyak topik; dari konsep ketuhanan, penderitaan, hidup sesudah mati, agama dan sains, hingga simbol, ritual dan kekerasan agama.
Tuesday, November 23, 2021
KE NGANJUK; BAHAGIA SEKALIGUS TERLUKA
Contoh sederhananya; kita bahagia sekaligus terluka, misalnya, saat melihat orang yang kita sayangi memilih hidup bersama orang lain. Kita bahagia karena ia, orang yang kita sayangi bahagia. Sekaligus, kita terluka karena kebahagiaannya, ternyata, tidak disongsong bersama kita dalam satu biduk.
Kejadian ini agak mirip menimpaku beberapa hari lalu di Nganjuk. Aku bahagia sekaligus terluka saat mengunjungi kota angin tersebut.
Kebahagiaanku membuncah saat tiba di Klenteng Hok Yoe Kiong. Lokasinya di daerah Sukomoro Nganjuk.
Aku kesana bersama rombongan Surabaya. Ada mas Irianto, mbak Sita --istrinya, serta Cahaya Purnama --aktifis muda GKJW.
Di klenteng tersebut aku dan mas irianto memantik diskusi offline lintasagama dan entis. Seputar 9 nilai Gus Dur, serta bagaimana menjadikan nilai tersebut sebagai bahan bakar menjaga kebinekaan Indonesia.
Negara ini memang sedang terbakar oleh intoleransi, khususnya yang dilakukan oleh banyak orang Islam. Gereja dibakar, disegel, dihambat pendiriannya. Bahkan, beberapa dibom, seperti kejadian di Surabaya dan Makassar.
Aku bahagia semua peserta tampak memiliki kegairahan dalam hal ini. Gairah tersebut merupakan modalitas penting memperbaiki banyak hal.
Setelah acara selesai, kami berempat diundang makan siang mas Wijaya, ketua PSMTI Nganjuk.
Sembari menikmati nasi becek yang sangat terkenal itu, ia bercerita tentang banyak hal. Yang aku ingat ada dua; seputar pembantaian Tionghoa di Nganjuk pada masa Bersiap, serta buruknya pembangunan pedestrian a la Malioboro di Nganjuk.
Pedestrian itu merentang panjang di jalan utama areal pertokoan Nganjuk, termasuk depan tokonya.
"Lihatlah gus, pedestrian ini lebih tinggi dari posisi toko. Kalau hujan, airnya masuk membanjiri toko-toko," katanya sembari menunjuk bekas genangan di salah satu toko..
"Gugat ae mas. Class action," kataku ngompori. Dia hanya nyengir saja.
Mas Wijaya dan puluhan pemilik toko di kawasan tersebut jelas dirugikan oleh pemkab Nganjuk. Uniknya, mereka tidak sendirian. Ada puluhan orang yang juga dirugikan oleh ketidakbecusan pemkab.
Mereka adalah jemaat Rumah Doa GSJA Kanaan Loceret Nganjuk. Dipimpin oleh gembala sidangnya; Pdt. Demsi Salmon Tamunu.
Setelah selesai makan, kami berempat mengunjungi "tempat ibadah," sementara milik rumah doa tersebut.
"Tempat ibadah," ini adalah bangunan tidak terpakai yang kabarnya milik Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Nganjuk.
Namanya saja tidak terpakai, otomatis tidak terawat. Mirip rumah hantu. Nyamuk mendengung menyambut kedatangan kami. Bau apek.
Debu di mana-mana. Jendela belakangnya omplang-omplang tidak ada daunnya. Tidak ada air di kamar mandinya. Mbak Sita yang kebelet pipis terpaksa harus numpang di toko sebelah.
"Kami tidak diperkenankan mengubah apapun yang ada di sini. Begitu bunyi perjanjiannya dengan pemkab," kata Demsi.
Melas banget.
Demsi dan jemaatnya memang mengalami penderitaan panjang terkait rumah ibadah. Beberapa tahun lalu, ia sudah membeli sebuah rumah untuk ibadah di daerah DI. Panjaitan Loceret Nganjuk.
Rumah ibadahnya didemo berkali-kali. Sempat heboh di media sosial.
Aku sendiri pernah ke rumah ibadah di Loceret bersama beberapa kawan GUSDURian di sana. Bahkan pernah shalat di sana.
Seingatku, Natal dua tahun lalu, aku meminta Gus Arif ikut natalan di sana. Dan mengajak Pdt. Demsi memperkuat GUSDURian Nganjuk, hingga sekarang.
Setelah suasana kembali kondusif, beberapa warga mendemo rumah ibadah itu lagi. Kali ini lebih keras dan memaksa pemkab turun tangan memediasi.
Hasilnya, pemkab berhasil "memaksa," GSJA Loceret menandatangi perjanjian menjual rumah ibadah tersebut ke pihak desa.
Menurut Demsi, pemkab juga berjanji akan membantu proses relokasi ke tempat baru. Namun janji tinggal janji.
Pembeli rumah tersebut terus mndesak Demsi agar mengosongkan rumah dangan alasan akan dipakai. Padahal Demsi belum mendapat lokasi pindah yang tempat.
Setelah menekan pemkab, Demsi akhirnya diungsikan ke rumah hantu tersebut. Secara permanen? Tentu tidak!
GSJA Loceret "dipaksa," lagi menandatangani perjanjian yang pada prinsipnya; keberadaan GSJA Loceret di rumah hantu bersifat sementara. Jika tidak salah hanya 3 bulan saja.
Selama 3 bulan Demsi dan jemaatnya diminta mencari lokasi baru sendirian. Jika tidak berhasil menemukan maka Demsi dan jemaatnya diminta bergabung dengan GSJA terdekat, di kota Nganjuk.
"Sedih aku, gus," katanya.
Raut mukanya bercampur aduk. Antara sedih, marah, jengkel. Berkumpul jadi satu.
Aku sempat melihat raut muka Mas Irianto, Mbak Sita dan Cahaya. Raut muka yang penuh kedukaan. Aku sempat meminta Cahaya untuk mendiskusikan dengan kawan-kawan di PGIW Jawa Timur.
"Tidak harus nyari solusi, cukup sambangilah Demsi. Lawatlah. Tawarkan bahu untuk meratap," pintaku.
Kesedihan kami seketika buyar saat beberapa anak muda, jemaat GSJA datang ke rumah hantu, bersama istri dan anak Demsi.
"Kami mau persekutuan di tempat lain. Kalau di sini nggak bisa. Ini sudah menjelang senja. Tidak ada lampu di sini," kata Demsi.
Mendengar ini, hatiku terasa makin diiris-iris. Lukanya makin menganga, dikucuri jeruk nipis.
Sebelum pamit pulang, kami sempat berdoa di depan "rumah hantu," ini. Demsi juga harus mengantar mereka ke persekutuan doa.
Doa dipimpin secara Katolik oleh Mas Irianto. Doa ini membawa kami pulang ke Surabaya, dengan perasaan bahagia sekaligus terluka. (*)
BERTEMU MERLYN BERTEMU BERLI(A)N
Aku senang sekali. Aku bahagia.
Kebahagiaan itu hampir paripurna setelah aku membaca refleksi mahasiswa/iku pascapertemuan dengan Merlyn.
Merlyn adalah waria --diksi yang ia pilih sendiri ketimbang transgender atau transpuan. Aku sudah lama mendengar namanya, terutama saat menggeluti isu minoritas gender dan seksualitas, sekitar 5-7 tahun lalu.
Jika ada yang bertanya kenapa aku yang hetero dan cis-gender ini menggeluti isu yang sangat berbahaya ini, jawabnya; aku nggak tahu.
Yang aku rasakan, aku selalu merasa isu tersebut "memanggilku," --ia seperti mengatakan "Jangan kelamaan membela isu pluralisme agama, sudah waktunya kamu menghampiri kami,"
itu yang aku rasakan.
Perasaan tersebut sebenarnya mengalami gejolak yang tidak mudah. Sebab, seperti yang diduga banyak orang, aku menemukan kesukaran-kesukaran dalam hidupku.
Tak terhitung lagi berapa banyak kawanku yang, aku rasakan, mulai menjauhiku. Keluarga besarku juga berkomentar, termasuk anak dan istriku.
Aku masih tidak bisa lupa sebuah peristiwa. Saat itu aku di bis Damri, dari Soekarno-Hatta menuju sebuah hotel --tempat syuting ILC -- di mana aku diundang untuk pertama kalinya.
Saat di bis, aku ditelpon seorang kawan. Ia mengaku membawa pesan dari orang yang sangat aku hormati, imamku dalam gerakan. Pesannya, aku diminta tidak menyebutkan organisasiku sebagai afiliasi saat di ILC.
"Tahu sendirilah, isunya terlalu beresiko bagi organisasi kita," ujarnya.
Aku tidak mendebatnya. Untuk apa? Ia hanya pembawa pesan saja. Tidak lebih.
Aku akan menjadi tidak dewasa jika menanggapinya secara emosional. Santai saja. Namun demikian aku tidak habis pikir kenapa tidak boleh.
Aku harus jujur, keterlibatanku dalam isu ini, bagi organisasi tersebut, rupanya cukup menyulitkan posisi organisasiku tersebut. Khususnya di hadapan para elders; para tetua; yang memiliki cukup kuasa atas republik ini.
Namun demikian jangan salah, aku merasa semua kawan di organisasiku adalah pribadi yang memiliki komitmen memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini kami hayati. Mungkin ini hanya terkait strategi.
Dari berbagai pergulatanku dengan hal seperti ini, aku semakin menghayati betapa tidak nyamannya disalahpahami, dieksklusi, dikucilkan, dan semacamnya.
Penghayatan ini semakin meneguhkanku untuk berusaha mencegah orang agar tidak salah paham atas suatu yang kurang mereka pahami. Kesalahpahaman adalah langkah awal kehancuran.
Banyak orang Islam membenci rumah ibadah agama lain, khususnya gereja, karena faktor ketidaktahuan. Menurutku.
Tidak sedikit orang membenci LGBT , juga, karena kekurangpahaman atasnya. Menurutku.
Ini membuatku sedih.
Itu sebabnya, dalam beberapa tahun in, aku senantiasa berusaha mengajak sebanyak orang Islam untuk lebih memahami Kekristenan dan agama lain, serta, kelompok minoritas gender dan seksualitas.
Merlyn termasuk kelompok yang aku sebut terakhir tadi.
Meski tidak pernah bertemu secara fisik, aku semakin "intens," dengan Merlyn melalui salah satu filmnya, "Perempuan Tanpa Vagina," --diproduksi tahun 2019.
Film ini aku jadikan semacam film wajib dalam kelas yang aku ampu sejak 2019 lalu. Baik kelas Pancasila maupun Religions.
Hampir semua mahasiswa/i yang aku ajar di UC pasti pernah menontonnya. Itu sebabnya, jika suatu saat kalian ketemu alumni UC dan mengaku pernah menonton film tersebut selama kuliah, aku yakin ia pernah ikut kelasku.
Sangat mungkin aku adalah satu-satunya dosen yang menjadikan film Merlyn tersebut sebagai materi pembelajaran. Belum pernah aku tahu ada dosen lain "sengawur," aku --membawa isu minoritas gender dan seksual ke dalam kelas.
Keberanianku membawa isu ini ke kampus didorong oleh apa yang sudah aku jelaskan di awal. Aku seperti merasa bertanggungjawab jika menemukan orang yang memiliki kesalahpahaman berkaitan dengan isu identitas. Aku juga merasa spirit Gus Dur hadir mendongkrak keberanian tersebut.
Keberanian mengundang Merlyn ke kampus aku lakukan juga karena posisiku sebagai dosen Pancasila. Aku tidak mau jika suatu saat sejarah mengadiliku, "Aan, kenapa kamu tidak berupaya mendidik mahasiswa/imu agar berhenti membenci, padahal kamu memiliki kapasitas dan kesempatan untuk itu lho?"
Betapa aku akan gelagapan saat aku tidak melakukannya.
Dengan memanfaatkan posisi sebagai dosen aku mengambil resiko mengundang Merlyn, tanpa terlebih dahulu berembug dengan kordinator matakuliah maupun dekan. Aku merasa tidak perlu karena ini menyangkut kewenanganku sebagai dosen. Cukup aku saja yang menyelesaikan dan bertanggung jawab. Aku digaji untuk itu.
Aku juga sangat sadar jika suatu saat dituding mengkampanyekan isu LGBT di kampus. Aku mungkin dengan enteng menjawab; bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat.
Pancasila mendidik kita agar berani bertumbuh dengan kemanusiaan yang adil dan beradab dan menjaga persatuan Indonesia. Pancasila mendorong kita, sebagai warganegara, untuk senantiasa bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di titik ini aku akan berhenti sembari bertanya balik, "Bagaimana mungkin kita akan mewujudkan hal tersebut jika kita bisa memahami orang-orang yang ada di dalamnya?
Menudingku mengkampanyekan LGBT di kampus akan sia-sia. Sebab aku tak pernah mengatakan, "Mari kita menjadi gay, lesbian atau transgender," Yang aku kampanyekan justru dorongan kepada para mahasiswa untuk melihat dan memperlakukan manusia sebagai manusia. Nothing more nothing less.
Aku baru saja selesai membaca refleksi pendek --lebih tepatnya semacam kesan-- yang dibuat oleh hampir seratus mahasiswaku yang hadir bersama Merlyn. Semuanya mengapresiasi positif acara tersebut.
Terdapat banyak dari mereka mengaku mendapat pencerahan setelah mendengarkan langsung dari Merlyn. Bertemu Merlyn seperti menemukan berli(a)n.(*)
Wednesday, November 17, 2021
MERAH-PUTIHKAN MUI!
Monday, November 15, 2021
MALES NYETATUS
Thursday, November 11, 2021
Ayat Keramat
Tuesday, November 2, 2021
Penyaliban Yesus/Isa di GKJ Bhayangkara
Monday, November 1, 2021
MENANTANG KEWARGANEGARAAN DI PADJADJARAN
Matakuliah umum (MKU) seperti Pancasila, Ilmu Sosial dan Budaya, Agama, maupun kewargaan, sering dianggap remeh. Seringkali, matkul tersebut dijadikan tempat pembuangan dosen-dosen, di beberapa kampus.
Padahal, MKU merupakan "jantung," perubahan cara pandang mahasiswa/i. Melalui MKU, para mahasiswa tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan, namun juga mendialogkannya dengan nilai (value) --supaya terjadi perubahan perilaku.
Jika kita pernah dengar Seven Deadly Sins, maka, menurutku, di MKUlah tempatnya; kita boleh menjadi kaya namun tidak boleh rakus; kita bisa pintar namun terlarang meninggalkan kemanusiaan, dan yang lain.
Nah, kerapkali --aku ambil contoh matakuliah Kewarganegaraan-- tidak bisa optimal mengubah cara pandang seseorang, misalnya, terkait toleransi dan intoleransi.
Sangat mungkin hal ini disebabkan banyak faktor, salah satunya, teknik/metode maupun paradigma mengajar. Seandainya pengajaran matkul tersebut lebih "didaratkan ke bumi," ketimbang dibiarkan "gentayangan di atas langit," --maka bisa jadi hasilnya berbeda.
Di video ini, saat diundang oleh FISIP Universitas Padjadjaran (30/10/2021), aku menawarkan sedikit cara bagaimana idealitas pengajaran MKU kewarganegaraan (civics).
Selama lebih kurang 30 menit, aku coba menjelaskannya, disertai basis teori dan implementasinya, berdasarkan pengalaman kelasku Pancasila di kampus Ciputra. Berikut videonya.
Nah yang menurutku menarik, saat itu, aku juga melakukan polling pada mahasiswa yang hadir. Aku namai pollingnya; tes wawasan kewarganegaraan.
Isinya, menelusuri sejauhmana penerimaan mereka terhadap kelompok berlatar belakang agama dan identitas berbeda dengan mereka. Misalnya, apakah kamu memiliki teman LGBT; apakah keberatan pacaran beda agama; apakah keberatan jika ada dosen/staff/karyawan/mahasiswa LGBTIQ di kampusmu.
Pokoknya seru!
Jika tidak percaya, silahkan melihatnya sendiri di SINI.
Dari jawaban-jawaban yang masuk, kita jadi tahu seberapa akut kadar bias identitas bercokol dalam pikiran mereka.
Aku berpikir, instrumen ini bisa terus dikembangkan supaya kita lebih akurat mendapat gambaran tentang diri dan lingkungan kita. Gambaran ini kemudian bisa dijadikan milestone untuk intervensi lanjutan; mau diperparah atau disembuhkan.
Dengan model yang aku tawarkan, kini pembelajaran matakuliah kewarganegaraan tidak lagi mengawang dan membosankan. Sebaliknya, ia dipenuhi gebrakan dan, tentu saja, tantangan.(*)
Sunday, September 5, 2021
13+16+7
Tuesday, August 31, 2021
ANGGRA DAN PACARAN BEDA AGAMA
Cukup sering aku merasa hidupku seperti dikelilingi de javu --semacam perasaan menempuh dan mengalami hal sama. Salah satunya, peristiwa yang terjadi pada Jumat (27/8).
Aku bersama anak-anak muda, mahasiswa/i, menonton film yang pernah aku tonton bersama anak muda lainnya 9-10 tahun lalu. Judulnya 3 dunia 2 hati 1 Cinta.
Film jadul yang dibintangi Reza Radian dan Fira Basuki ini bercerita tentang lika-liku asmara beda agama antara Rosyid dan Delia; Islam dan Katolik.
BBukan tanpa sebab aku dan puluhan anak=anak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Univ. Darul Ulum dan Univ. Wahab Chasbullah memilih film ini.
Aku ingin mendorong mereka berani mengeksplorasi isu terlarang ini.
Dalam benak mereka, aku yakin, pacaran beda agama bukanlah hal yang patut dibanggakan. Alih-alih, hal tersebut bisa dianggap sebagai tanda penggelinciran iman; mencari kesengsaraan.
"Lha wong pacaran seagama saja belum tentu lancar apalagi beda agama," kira-kira-kira demikian yang ada dalam benak mereka.
Setelah tuntas menonton lebih dari 1,5 jam, kami pun berdiskusi. Forum dimoderatori Tama, kader PMII transpuan asal kampus Wahab Chasbullah.
Dia tampak agak gugup saat mengelola forum. Sangat mungkin karena di hadapan banyak peserta yang bukan dari kampusnya. Acara memang diselenggarakan di selasar Fakultas Ekonomi Univ. Darul Ulum.
Malam itu, ada dua narasumber yang hadir dari tiga yang telah direncanakan; Anggrani, pendeta GKJW Mutersari Bareng dan aku sendiri. Bill Halan tidak hadir karena kurang sehat badannya.
"Hai Anggra, welcome to my campus," sambutku sebelum acara. Dia datang bersama 3 anak muda, salah satunya adalah Yosia, mahasiswa Teologi UKDW yang sedang stage (baca; stasi) di gerejanya Anggra.
Anggra tampil mempesona malam itu. Betapa ia mengagumi uminya Rasyid dalam film tersebut.
Sosok sang umi begitu kuat menjembatani konflik Rosyid dan abahnya terkait Delia, pacar Rosyid yang Katolik. Sang abah sangat menentang pacaran beda agama --sekeras mama dan papanya Delia.
"Selain umi, saya juga sangat memahami betul perasaan yang dialami Delia," ujar Pdt. Anggra.
Aku meyakini dia, sebagai pendeta, memiliki pengalaman mempastorali jemaatnya yang mengalami hal sama. Pastilah tidak mudah.
Baginya, perpindahan agama yang kerap ditempuh banyak orang saat mencari jalan keluar relasi beda agama merupakan keniscayaan. Saat seseorang sampai pada titik tersebut, Anggra berpandangan ia haruslah memiliki komitman beragama secara serius, bukan hanya sekedar karena alasan perkawinan.
Keseriusan ini sekaligus menjadi titik tolak mengeksplorasi sejauhmana komitmen cinta kasih beda agama.
"Mencintai itu memerdekakan bukan memaksa, termasuk dalam urusan agama atau keyakinan," ujarku meneruskan sebagai narasumber kedua.
Jika ada kekuatiran setelah perkawinan beda agama, misalnya; nanti anaknya ikut agama bapak atau ibunya, bagaimana model beribadah keduanya, satunya makan babi dan lainnya mengharamkan --maka, menurutku, ada ketidakberesan saat pacarannya.
"Jangan-jangan pas pacaran, motifnya adalah penunduan agama satu atas agama lainnya? Kalau benar demikian maka aku meragukan ketulusan relasi tersebut," tambahku.
Penundukan tersebut, lanjutku, merupakan dampak pendidikan seputar agama yang dijejalkan kita sejak lahir. Kita dirawat untuk senantiasa merasa agama kita paling benar.
Kita terus menerus diracuni; bahwa agama lain adalah sesat dan lebih rendah dari kita. Yang paling membahayakan; kita terus diprovokasi bahwa mereka senantiasa membuat plot untuk merongrong agama kita.
Ujungnya, cara terbaik melumpuhkan sekaligus "menyelamatkan," mereka adalah dengan menggiringnya masuk agama kita.
Bahkan jika perlu, dengan cara licik, tipu daya, maupun kekerasan. Rasanya aneh, namun melegakan bagi sebagian orang.
"Bagaimana dengan sikap Islam seputar pindah agama? Bukankah telah jelas disampaikan dalam AlQuran?" tanya seorang peserta.
Alquran adalah kitab pedoman kita, jawabku. Menurutku, kitab ini terlalu suci yang tidak membutuhkan sepasukan orang untuk memaksa orang lain agar percaya ia sebagai kitab petunjuk.
Lemah sekali agama kita seandainya memaksa pengikutnya untuk mempersekusi orang lain agar mempercayainya.
"Tidak ada paksaan dalam Islam," jawabku. Saat banyak orang Islam ikut kerabatnya yang Yahudi meninggalkan Madinah karena pengusiran, Nabi memperbolehkan hal tersebut.
Mereka tidak dipaksa tinggal di Madinah bersama orang-orang Islam. Demikianlah konteks turunnya ayat tersebut.
"Lalu, gus, bukankah telah jelas dalam AlQuran 2:221, seorang Muslim tidak diperkenankan menikahi orang musyrik?" ujar yang lain.
Musyrik itu menyekutukan tuhan, jawabku. Yang percaya Tuhan, dalam ayat tersebut, dinamakan mukmin. Bahasa Inggrisnya; The Believers.
"Sekarang aku akan tanya pendeta Anggra," ujarku sembari langsung menatap Anggra yang duduk di sampingku. "Kamu dan semua orang Kristen, apakah menyekutukan Tuhan?"
"Yo enggak lah, gus," sahutnya sembari tertawa.
Mukmin, menurutku, adalah mereka yang mempercayai adanya Gusti. The Believers. Tidak hanya orang Islam saja, namun juga Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya.
Dengan demikian, lanjutku di forum, Al-quran QS. 2:221 tidak cukup relevan digunakan untuk mengatur larang perkawinan Islam-Kristen. Apalagi menurutku telah jelas pemeluk Kristen memiliki kitab yang keberadaannya juga wajib diimani oleh orang Islam, merujuk pada QS 2:4.
"Bayangkan, mana mungkin kita tega mengutuk kebahagiaan yang kuat terpancar dari raut muka Tenaya dan Nathanael?" ujarku meyakinkan peserta diskusi sembari menayangkan video pendek "Mesranya Cinta Terlarang," karya Norfa Baroroh, mahasiswiku di Ciputra. https://www.youtube.com/watch?v=kOBSwufNJQw
Malam itu, aku merasa cukup banyak berondongan bersifat teologis dari peserta forum. Begitu banyak ayat-ayat Alquran disemai dan dikutip untuk mempertahankan keyakinan yang selama ini memang dihidupi.
Sejujurnya, aku sangat senang dengan hal itu. Sangat mengasyikkan dapat mendengar mereka berargumentasi menggunakan kitab sucinya.
Namun bagaimana dengan perasaan Pdt. Anggra yang menyaksikan itu semua? Apa yang ada dalam benaknya saat tahu kuatnya resistensi dalam forum tersebut?
Aku memilih membiarkannya, tidak menanyakannya secara khusus saat diskusi usai. Yang justru aku sampaikan adalah rasa senangku melihat kampus ini kembali dikunjungi pendeta GKJW.
"Tahukah kamu kapan terakhir kali pendeta GKJW mengisi acara di kampus ini?" tanyaku
"Kapan, gus?" tanyanya pendek
"Sekitar tahun 2011 atau 2012. Saat itu Nicky yang ke sini," ujarku sembari mengantarkan Anggra ke mobil.
Pelan-pelan kendaraan itu ditelan gelapnya kampus. Balik ke GKJW Mutersari. Thank you Anggra.
Sunday, August 8, 2021
I Will Not Make It Easier For You
Wednesday, August 4, 2021
Come Sunday; "Korupsi Iman," Jemaat sebagai Taruhan
"Namun, gus, mana berani mereka ngomong hal itu di mimbar? Bisa-bisa ditanggalkan kependetaan mereka," ujar salah satu temanku, pendeta, saat aku ajak ngobrol soal ini.
Tuhan bertindak seperti itu karena Dia mampu untuk itu --sekali lagi, atas dasar kemurahan dan pengampunanNya.
Monday, July 26, 2021
WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO
Press Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur
"WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO"
Jaringan Islam Antidikriminasi (JIAD) Jawa Timur mendukung upaya serius GUSDURian Mojokerto dalam upaya pemberian keadilan akses pemakaman bagi warga non-Islam desa Sooko kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto.
Upaya ini merupakan rentetan terjadinya diskriminasi jenazah bu Emi dan Pak Totok yang tidak bisa dimakamkan di desanya sendiri karena alasan agamanya (cek beritanya di https://tinyurl.com/yhsdhvm2)
Beberapa hari lalu, GUSDURian Mojokerto secara resmi mengirimkan surat ke otoritas desa Sooko. Isinya, terkait klarifikasi seputar status tanah makam desa; apakah khusus untuk warga Islam saja atau terbuka bagi semua warga desa.
Hingga saat ini surat tersebut belum direspon oleh Kepala Desa tanpa alasan yang jelas. Padahal sebenarnya masalah ini tidak perlu terjadi manakala pemerintahan desa bersetia pada empat pilar bangsa; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagai catatan, terdapat lebih dari 100 warga desa Sooko yang beragama selain Islam. Kejelasan nasibnya saat meninggal dunia masih terancam tidak bisa dikuburkan di desanya sendiri. Padahal, saat pengadaan tanah makam tersebut, mereka juga terlibat urunan pembiayaan.
Terkait hal ini, Jaringan Islam Antidiskriminasi menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendukung sepenuhnya langkah advokasi GUSDURian Mojokerto terkait hal ini;
2. Mendesak kepada Kepala Desa dan BPD Desa Mojokerto untuk mengeluarkan keputusan yang isinya menetapkan makam desa sebagai tempat pemakaman umum (TPU);
3. Mendesak kepada Bupati Mojokerto untuk memastikan seluruh desa di kabupaten memiliki TPU, bukan hanya Makam Islam saja;
4. Menyerukan kepada semua elemen lintasagama untuk ikut serta memperjuangkan hal ini;
5. Meminta kepada semua pihak mengirimkan pesan dukungan berisi, "Saya Aan Anshori (ganti dengan nama Anda), pengajar Universitas Ciputra (ganti dengan afiliasi Anda), mendukung Kepala Desa Sooko menyediakan tempat pemakaman umum (TPU) bagi seluruh warga desa -- apapun agama, ras, suku dan etnisnya," Kirim pesan tersebut ke WA Kades Sooko https://tinyurl.com/ydrtp97k dan Camat Sooko https://tinyurl.com/yz9k2ht3
Jombang, 25 Juli 2021
Aan Anshori
*Narahubung GUSDURian Mojokerto; Imam Maliki (+62 855-3694-0161) Kukun Triyoga (+62 812-3086-0673)
Thursday, July 22, 2021
ISMAIL ATAU ISHAQ? TIGA FAKSI ISLAM DAN UPAYA PEMBACAAN ULANG
Yang hendak aku tawarkan dalam tulisan ini adalah seputar cara pandangku kenapa Islam terasa lebih memilih Ismail ketimbang Ishaq dalam drama percobaan penyembelihan oleh bapaknya, atas nama perintah Tuhan. Sebagai catatan, aku belum membaca semua karya tulis di Google Scholar berkaitan dengan topik ini. Sehingga bisa jadi telah ada sarjana yag relah menulisnya namun belum aku sebut karyanya. Untuk hal ini, aku minta maaf.
BASIS AWAL
Aku mencukupkan diriku pada teks alquran sebagai sumber primer. Dalam tradisi Sunni-Nadliyyin yang aku tahu, jika ingin mempelajari al-Quran lebih mendalam, seseorang akan sangat disarankan untuk membaca tafsirnya. Namanya juga tafsir, kebenarannya tetaplah relatif dan tidak bisa dianggap sejajar dengan al-Quran. Jumlah kitab Tafsir cukup banyak dan beragam. Tergantung juga pada madzhab keislamannya. misalnya Sunni. Syiah, atau Ahmadiyyah.
ALQURAN DAN PENYEMBELIHAN
Di kitab suciku, teks seputar upaya percobaan penyembelihan anak Ibrahim, setidaknya, tergambar dalam Alquran Surah 37 (al-Saffat, rombongan/barisan Malaikat) ayat 102. Namun, demi memahami ceritanya lebih utuh, aku akan beberkan ayat 100-113. Aku gunakan terjemahan/tafsir milik Quraish Shihab yang ada di tanzildotnet.
37:100; Ya Tuhan, berikanlah aku keturunan yang saleh yang akan melanjutkan misi dakwah setelah aku.
37:101; Kemudian malaikat memberinya kabar gembira berupa anak yang cerdas dan sabar.
37:102; Anak itu pun lahir dan tumbuh. Ketika anak itu menginjak dewasa dan telah pantas mencari nafkah, Ibrâhîm diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."
37:103; Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Kemudian Ibrâhîm membaringkannya dengan posisi pelipis di atas tanah sehingga siap disembelih.
37:104-105 ; Allah mengetahui kebenaran Ibrâhîm dan anaknya dalam melaksanakan cobaan tersebut. Kemudian Allah memanggilnya dengan panggilan kekasih, "Wahai Ibrâhîm, sesungguhnya engkau telah memenuhi panggilan wahyu melalui mimpi dengan tenang, dan engkau tidak ragu-ragu dalam melaksanakannya. Cukuplah bagimu itu semua. Sesungguhnya Kami akan meringankan cobaan Kami untukmu sebagai balasan atas kebaikanmu, seperti halnya Kami membalas orang-orang yang berbuat baik karena kebaikan mereka."
37:106; Sesungguhnya cobaan yang Kami berikan kepada Ibrâhîm dan anaknya adalah bentuk cobaan yang menjelaskan inti keimanan dan keyakinan mereka kepada Tuhan semesta alam.
37:107; Kami menebus anak itu dengan sembelihan yang besar, sebab datangnya atas perintah Allah.
37:108; Kami abadikan Ibrâhîm dengan pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang setelahnya.
37:109; Salam kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrâhîm.
37:110; Seperti balasan yang menolak bencana itu, Kami akan memberi balasan orang-orang yang berbuat baik dengan melaksanakan semua perintah Allah.
37:111; Sesungguhnya Ibrâhîm termasuk hamba-hamba Kami yang tunduk pada kebenaran.
37:112; Dengan perintah Kami, malaikat memberi kabar gembira kepadanya berupa kedatangan seorang anak, yaitu Ishâq, meskipun istrinya mandul dan sudah putus asa untuk mendapatkan anak. Anak itu nantinya akan menjadi seorang nabi yang termasuk orang-orang saleh.
37:113; Ibrâhîm dan anaknya Kami berikan keberkahan dan kebaikan di dunia dan akhirat. Di antara anak keturunannya ada yang berbuat baik dengan keimanan dan ketaatan, dan ada pula yang menzalimi diri sendiri dan jelas-jelas tersesat karena kekafiran dan kemaksiatan yang dilakukannya.
TIGA FAKSI
Dari berbagai terjemahan al-Quran yang aku bisa akses, hanya terjemahan milik Kementerian Agama RI yang berani menyebut kata “Ismail,”secara gamblang saat menerjemahkan/menafsirkan ayat 102. Selain milik Kemenag, aku juga mengecek beberapa terjemahan berbahasa Inggris dan Indonesia, misalnya; Shahih International, Maududi, Mubarakpuri, Pickthall, Qarai, Qaribullah & Darwish, Sarwar, Shakir, Wahiduddin Khan, Yusuf Ali, dan tentu saja Quraish Sihab. Tidak ada satupun dari mereka yang menyebut nama“Ismail,” Alih-alih, mereka menggunakan kata “anaknya” (anak Ibrahim).
Di titik ini, untuk mempermudah penggolongannya marilah kita sebut saja mereka ini kelompok netral. Tidak disebutnya nama Ismail oleh mereka bisa jadi merupakan hal wajar karena kata Ismail memang tidak ada dalam atar 100-113.
Selain kelompok netral, al-Qurtubi (d. 1272) —dalam Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an— saat menjelaskan QS. 37:102 menyampaikan adanya dua kelompok lagi dalam khazanah intelektual Islam; pro-Ishaq dan pro-Ismail. Dibelakang pendukung Ishaq, terdapat nama-nama seperti Ali bin Abi Talib, Abu Zubair, Abdulah bin Mas’ud, Muqatil bin Sulayman, al-Abbas bin Abdul Muthalib, dan Said bin Jabir. Sayangnya, al-Qurtubi sepertinya kurang mengelaborasi lebih jauh argumentasi kelompok pro-Ishaq.
Sedangkan di barisan kelompok pro-Ismail —yang berpandangan bahwa Ismail sebagai sosok pilihan Tuhan yang akan dikorbankan— terdapat nama-nama, diantaranya, Abu Tufail Amir bin Watsilah, Abu Huraira, Ibn 'Arabi, Ibn Kathir, al-Maududi, dan hampir semua orang Islam yang tiap tahun menyelenggarakan Iduladha.
Jika boleh menduga, argumentasi kelompok pro-Ismail sangat mungkin demikian; jika narasi ayat-ayat di atas dibaca secara kronologis, maka ayat 100-112 menceritakan seorang anak yang akan disembelih. Siapa anak itu? Entahlah. Namun kelompok pro-Ismail sangat mungkin akan berkata; pastilah bukan Ishaq sebab dia baru disebut pada ayat 113.
"Kan ya tidak masuk akal ada orang disembelih padahal ia belum dilahirkan?," --barangkali demikian afirmasi sederhananya. Maka, dengan afirmasi seperti inilah seluruh bangunan epistemologi pro-Ismail dalam Islam mendapat basis legitimasinya. Namun justru di titik ini, legitimasi tersebut, menurutku, tidaklah sesederhana.
MENYELIDIKI AFIRMASI
Ada hal yang membuatku penasaran kenapa Alquran terasa memilih "jalan lain," --dianggap condong memilih Ismail-- ketimbang narasi Perjanjian Lama yang diyakini Yahudi dan Kristen. Dua agama ini memang unik; bersekutu terkait siapa yang akan dikorbankan Ibrahim, namun dalam banyak aspek, Kristen justru terasa melakukan "pemberontakan," terhadap ajaran Yahudi melalui Perjanjian Baru-nya.
Kenapa Kristen bisa rukun dengan Yahudi dalam soal Ishaq, seperti Jokowi dan Prabowo-Sandy dalam kabinet Indonesia sekarang? Sangat mungkin karena keduanya berkepentingan menjaga kemurnian garis keturunan Ibrahim dari Sarai ketimbang Hagar. Sarai dan keturunannya dianggap lebih mulia dan terhormat ketimbang Hagar yang hanya seorang budak --sungguh pun keduanya digauli dengan penis yang sama.
"Mbak, kalau aku baca ceritanya Hagar di Alkitab, betapa ia sangat terlunta-lunta. Dia ini budak yang dikondisikan minder dengan majikannya. Saat ia mulai memperoleh konfidensi karena sanggup memiliki anak Ismail. ia harus menerima penindasan dari Sarai sang majikan yang berkomplot dengan Abraham —bapak dari anaknya," kataku pada seorang kawan, pendeta perempuan.
Hagar, tambahku, laksana“sudah jatuh tertimpa tangga pula,”Dia harus menerima kenyataan Tuhan yang ia cintai justru malah tampak bersekutu dengan Sarai-Abraham. Alih-alih menolong, El-Roi —nama Tuhannya Hagar-- justru meminta perempuan ini kembali ke keluarga Abraham, menerima dengan ikhlas penindasan dari Sarai, nyonyanya. Sungguh, betapa menakjubkannya El-Roi!
Penderitaan Hagar dan Ismail nampaknya belum reda, kataku. Pada saat akhirnya Ismail memiliki adik —Ishaq yang lahir dari rahim Sarai, lihatlah, betapa njomplangnya perlakukan Ibrahim terhadap keduanya. Persis seperti perlakukan Jakarta terhadap Jawa atas Papua. Abraham mengusir Hagar dan Ismail; agar Sarai dan Ishaq bisa hidup tenang bersamanya?
"Menurutku, peristiwa yang terjadi pada Hagar dan Ismail adalah salah satu cerita penindasan domestik berbasis kelas sosial dan gender. Namun yang semakin menggangguku, kenapa ya aku sangat jarang mendengar para pendeta menggunakan cerita ini dalam khotbahnya," kataku. Perasaan ini persis seperti yang aku alami saat menemukan fakta kurang terapresiasinya Yesus dalam komunitas Islam --sungguhpun Alquran menceritakan sosok ini melebihi hampir semua Nabi dan Rasul.
Dalam kasus Hagar dan Ismail. marilah kita bayangkan bagaimana kondisi psikologis keduanya --terutama Ismail. Anak kecil ini senyatanya telah dirawat dalam kurusetra domestik yang sungguh tidak sehat; menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya menganakemaskan Ishaq dan Sarai ketimbang memberikan perlakukan yang setara pada ia dan ibunya.
Tak perlu gelar psikolog untuk bisa memahami Ismail akan selalu dikurung oleh perasaan marah, terbuang, tertindas, dan diselimuti kobaran kebencian yang meluap. Maka, benarlah adanya jika Perjanjian Lama mendefinisikan Ismail sebagai, "Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua 4 saudaranya,"
SARAI ENVY?
Aku merasa, jangan-jangan masih ada diantara kita yang terjebak Sarai Envy--sebuah kondisi psikologi seseorang yang secara tak sadar meminggirkan peran dan posisi orang atas dasar kecemburuan kelas sosial tertentu (majikan terhadap budaknya) seperti yang dialami Sarai.
Bagi siapapun yang mengaku sebagai pewaris "keturunan," Ishaq, —baik secara biologis maupun ideologis— Sarai Envy adalah metode dan strategi yang sangat ampuh --sekaligus berbahaya-- untuk menjaga klaim kemurnian pewarisan tersebut. Sarai Envy akan menstimulasi siapapun untuk tidak rela menyaksikan Ismail dan followernya mendapatkan kesetaraan dan kesejajaran rasa hormat.
Itu sebabnya, menurutku, cerita Ishaq yang "terpilih," untuk dikorbankan dan juga disunat lebih bernuansa teologis ketimbang historis. Nuansa teologis tersebut sangat kuat beraroma bias Ishaq terhadap Ismail.
Dalam imajinasiku, jika cerita ini terus dilanggengkan dengan semangat Sarai Envy maka Hagar dan Ismail —beserta ratusan juta pendukungnya— akan merasa semakin terpinggirkan. Jika ini terjadi, maka resistensi Ismail Cs. dalam menuntut balas akan semakin keras, salah satunya dengan cara melontarkan wacana tanding untuk "mengoreksi klaim telogis yang sudah mapan," terkait siapa yang sesungguhnya terpilih untuk dikorbankan oleh ayahnya saat itu. Aku kuatir dunia Islam-Kristen-Yahudi justru akan terasa tidak semakin membaik.
TUHAN YANG MEMBAYAR HUTANG
Aku menduga kuat narasi Al-Quran, yang tidak secara tegas menyebut nama Ismail namun meletakkan kelahiran Ishaq dalam ayat lanjutan penyembelihan, sedang menantang kita agar terus berpikir ulang. Misalnya, seperti yang ada dalam pikiranku saat ini; apakah narasi Alquran ini bukan semacam gently reminder Tuhan bagi siapa saja yang pikirannya masih terjangkiti Sarai Envy secara akut.
Peringatan lunak ini sekaligus bisa jadi merupakan upaya El-Roi "menebus kesalahannya" di masa lalu karena "membiarkan" Hagar dan Ismail hidup dalam ketatnya penindasan domestik kala itu.
Dengan menggunakan Alquran, Tuhan --jika kita meyakini Dia adalah sutradara yang sama dalam drama domestik Ibrahim-Ismail-Ishaq narasi Yahudi, Kristen dan Islam-- seperti sedang menuliskan lanjutan drama ini. Isinya, rekonsiliasi dan romantisme Ibrahim bersama Ismail -- putra yang pernah ia sengsarakan -- saat membangun tempat suci di Makkah (QS 2:124-129) maupun mensejajarkanya dalam galaksi para Nabi/Rasul.
Pada saat yang bersamaan, sang sutradara ini juga meletakkan relasi Ishaq-Ismail dalam tensi yang jauh dari menenangkan --ketimbang di sekuel Perjanjian Lama. Kata "Ismail," disebut sekitar 12 kali dalam Alquran; enam kali disebut bersamaan dengan Ishaq (dan bapaknya) dalam posisi setara (QS.2:133, 136,140; QS.3:84, QS.4: 163), tiga kali disebut bersama nabi/rasul lain minus adik dan bapaknya (QS.6:86, QS.38:48, QS.21: 85), satu kali disebut sendirian (QS.19:54) dan bersama Ishaq (QS.14:39), serta dua kali disebut bersama bapaknya saat membangun Ka’bah (QS.2: 125,127)
Anda tahu berapa kali nama Ishaq disebut dalam Alquran? 17 kali! --lebih banyak dari Ismail. Dan tidak ada satu pun yang bermuatan konfrontatif; tidak terhadap ibunya, bapaknya, maupun tidak terhadap ibu tiri dan kakak tirinya.
AKHIR: SIAPA YANG DIKORBANKAN?
Siapa yang (telah) akan dikorbankan oleh Abraham sudah sangat jelas di al-Quran; yakni anaknya! Kita bisa menetapkan pilihan; pro-Ishaq, pro-Ismail, atau netral. Semua pilihan tersebut tidak hanya ditopang banyak tokoh/sarjana Islam namun juga, di sisi lain, memiliki konsekuensi. Salah satunya, ketika pilihan tersebut tercampuri fanatisme maka dunia Islam-Kristen-Yahudi akan semakin gelap. Itu berarti, kita mungkin gagal mengambil hikmat dari drama domestik keluarga Abraham.(*)
--Daftar Bacaan--
1.Alkitab SABDA™, https://www.alkitab.sabda.org/home.php
2.MW Pickthall, The Glorious Qurʼan: Translation. TTQ, INC., 2001.
3.Means, E. G. "Genesis, and: Hagar and Sarai, and: Remembering Being Is Birth, and: Natality." Colorado Review 44.1 (2017): 140-145.
4.Tanzil - Quran Navigator, https://tanzil.net/, © 2007-2021 Tanzil Project
5.Ali, Abdullah Yusuf. English translation of the Holy Quran. Lushena Books, 2001.
6.https://www.englishtafsir.com/Quran/37/index.html#sdfootnote57sym
7.Al-Qurtubi, Abu Abdu Allah. (2003). Tafsir Al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an (Al-Qurtubi's Interpretation of the Holy Quran). Riyadh: Dar Alam Al-kutub.
8.Afsar, Ayaz. "A Comparative Study of the Intended Sacrifice of Isaac/Ismail in the Bible and the Qur'ān." Islamic studies (2007): 483-498.
9.Sayyid Abul Ala Maududi - Tafhim al-Qur'an - The Meaning of the Qur'an, http://www.englishtafsir.com/