Pages

Wednesday, January 26, 2022

"DEMONSTRASI" DI GKJW PURWOASRI

Setiap orang bergantian naik kursi. Jumlahnya 6 orang; tiga dari kelompok pro dan 3 dari kontra.

Mereka sedang berargumentasi. Tidak hanya untuk meyakinkan kelompok lain namun juga 5 orang juri yang aku pilih menilai penampilan mereka.

Mereka adalah "para mahasiswa," yang ikut kelas Pancasilaku. Namun, tidak seperti halnya mahasiswa di Ciputra yang bertemu denganku rutin tiap minggu, mereka adalah anak-anak PMII yang sedang ikut pelatihan kader lanjut ((PKL)-- training terakhir dari kaderisasi PMII pada jamanku.

"Kalian adalah calon jenderal. Ini adalah sekolah kepemimpinan para perwira tinggi. Tidak banyak kader PMII yang sanggup masuk pada level ini," ujarku pada mereka.


Aku sendiri tidak pernah ikut PKL semasa di PMII. Entah kenapa. Mungkin aku tidak punya cukup waktu membaginya dengan aktifitas yang lain.

Karena mereka adalah calon perwira tinggi maka aku berikan menu spesial saat membahas Pancasila dan Fiqh Ketatanegaraan. Itu sebabnya aku perlakukan mereka tidak sebagaimana biasanya.

"Jika biasanya para narasumber menganggap kalian seperti gelas kosong yang perlu diisi, maka aku tidak akan memperlakukan kalian seperti itu," kataku.

Sebaliknya, tambahku, kalian aku perlakukan seperti puluhan para hakim yang sedang berproses memutuskan status hukum sebuah persoalan. 

"Anggap saja aku adalah pengacara yang sedang meyakinkan kalian untuk sebuah masalah yang akan kalian putuskan," kataku.

Di hadapan mereka, aku memberikan berbagai data dan persepetif kenapa Pancasila terasa gagal mengerem laju intoleransi di Indonesia. Aku papar berbagai pendekatan; aku pastikan mereka menyimak dan, tentunya, memahami setiap kalimat yang muncul dari mulutku.

Selesai melakukan presentasi aku meminta mereka melakukan klarifikasi dan penajaman-penajaman. Mereka melakukannya dengan bersemangat.

Banyak dari mereka tampak sejenak lupa kalau mereka sedang di gereja --tempat yang menakutkan hingga dianggap tidak boleh mereka kunjungi.



"Siapa diantara kalian yang pertama kali masuk gereja? Angkat tangan," ujarku saat memulai sesi tadi.

Ternyata lebih dari separuh dari 30 peserta.

Aku memang ngotot ke panitia PKL untuk menyelenggarakan sesi di gereja. Agar, mereka bisa lebih memahami kelompok lain.

"Pokoknya harus dibawa ke gereja. Jika panitia keberatan, aku mendingan tidak usah ngisi. Jika ada peserta yang keberatan, mereka boleh tidak ikut sisiku," kataku pada Ghofar, salah satu panitia. 

Sepanjang acara, mereka tampak sangat menikmatinya. Begitu juga bagi GKJW Purwoasri. Baru kali ini ada rombongan orang Islam dalam jumlah besar mendatangi gereja mereka.

"Saya sangat senang kalian datang. Pintu kami terbuka untuk teman-teman PMII dan muslim lainnya," ujar Pdt. Agus yang melayani di gereja tersebut.

Gereja ini, menurut Pdt. Agus, masih berdiri di tanah milik PTPN. Statusnya mungkin masih hak guna bangunan. 

Aku dorong mas Agus untuk segera membuat surat ke Jokowi dan menteri Erick Thohir, minta agar dihibahkan ke GKJW. 

"Sudah pernah dicoba, gus, namun gagal. Kami habis uang cukup banyak," ujar mas Agus sembari menjelaskan pihaknya memakai jasa seorang pengacara.

Aku terus menyemangatinya agar tidak patah arang. Mumpung presidennya masih Jokowi. Aku juga berjanji padanya untuk membantu sebisaku.

Lalu, apa yang sebenarnya diperdebatkan oleh para peserta?



Mereka aku beri studi kasus; sekelompok organisasi menolak pemilihan Nela Kharismata sebagai sekretaris daerah (sekda) Kabuoaten Nganjuk. Alasannya, karena Nela bukan orang Islam, padahal mayoritas warga Nganjuk adalah orang Islam.

Debat antar kelompok pro dan kontra berjalan dengan alot dan panas. Beberapa ayat alquran dan hadits dikutip kedua kelompok. Teriakan dan yel-yel takbir menggema seantero gereja, disuarakan kelompok antiNela.

Ada perempuan, namanya Siska --satu-satunya perempuan dari keenam jurubicara. 

Ia dengan sangat konfiden naik ke kursi. Suaranya menggelar. Persis seperti orang yang sedang berorasi. Ia adalah jurubicara kelompok pro-Nela. 

Entah karena ia memang seperti itu, menggelegar dan berapi-api kalau berbicara, atau karena suntikanku. Sebelum debat berlangsung aku ngompori tiap kelompok; memberi tips bagaimana cara ngomong di hadapan publik. 

Saat berbicara, Siska tidak pernah melepaskan pandangannya ke kelompok kontra. Mata dan argumentasinya menusuki kelompok tersebut. Tak jarang kelompok tersebut membalasnya dari bawah. Situasi persis seperti debat calon presiden.


"Ok, debat sudah selesai. mari kita tunggu keputusan para juri, siapa yang dianggap memenangkan debat ini," ujarku pada mereka.

Aku begitu bahagia mengajak mereka ke gereja. Perjalananku motoran 50 km Jombang-Kediri terbayar lunas. Aku tidak memedulikan deraan air hujan yang membasah-kuyupiku saat pulang. (*)

**Thank to Pdt. Demsi for the pics.

No comments:

Post a Comment