Pages

Sunday, February 27, 2022

KAWIN BEDA AGAMA? PERLU TAHU INI



Keterlibatanku dalam kawin beda agama (KBA) Fenny dan Jun Jung membuatku tergerak menulis lebih jauh. Ini tulisan ringan saja.

Yang dimaksud KBA dalam tulisan ini adalah perkawinan antara dua orang beda agama, secara formal, mendapat surat resmi dari negara. Bukan kawin bawah tangan atau informal.

Di negeri ini, ada dua instansi yang berwenang mengeluarkan surat perkawinan; Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil (capil). Namun untuk sementara, tahan dulu mimpimu bisa KBA di KUA. Instansi ini belum siap. Entah sampai kapan mereka mau beranjak dewasa --berhenti egois dan emosional. 

Dengan demikian, satu-satunya jalur KBA adalah melalui capil di kabupaten/kota. Belum ada jalur lain.

Jika calon KBA punya tabungan besar dan sekaligus ingin jalan-jalan ke luar negeri, KBA bisa dilaksanakan di beberapa negara. 

Bisa Singapura, Hongkong, atau Australia. Kawinlah di sana lalu bawa suratnya ke Indonesia, didaftarkan ke capil. Simple but mehong (mahal).

Jika ingin KBA di Indonesia, bisa. Ada jalannya. Murah lagi. Meskipun, agak berliku dan membutuhkan sedikit nyali. 

MEMBUANG GAMANG
Seringkali calon KBA sudah gamang duluan ketika membayangkan prosesnya, padahal sebenarnya mudah.

Yang paling penting, menurutku, modal utama KBA adalah CINTA! Ya cinta! Cinta dalam KBA wajib dipahami sebagai spirit memerdekakan, alih-alih menundukkan satu atas yang lain.

Sebaiknya jangan KBA dulu seandainya salah satu dari pasangan berintensi meminta salah satunya ikut agamanya. Biasanya akan menyesal meski dipendam. Mendingan pacaran saja sembari terus memperkuat kedewasaan dalam berelasi. 

Calon KBA perlu saling meyakinkan bahwa agama yang mereka anut mengajarkan kebaikan dan kebahagian –baik ketika dipasangkan dengan yang seagama maupun yang tidak.

“Honey, kamu ndak perlu jadi Kristen kok agar perkawinan kita bisa bahagia. Bukan agama tapi cinta, modalnya. Tetaplah dengan agamamu. Anak kita justru akan belajar kebaikan dari dua sumber agama. agamamu dan agamaku,” 

Bayangkan kamu membisikkan hal itu disusuli dengan kecupan di bibir pasanganmu 

21 TAHUN
Saranku, KBA sebaiknya dilakukan saat calon pasangan telah berusia minimal 21 tahun. Jika usia belum mencapai angka itu maka harus izin orang tua (pasal 6 UU Perkawinan). 

Anggap saja kamu berusia 20 tahun dan orang tuamu setuju KBA, syukur alhamdullilah. Lha kalau mereka menolak, mimpimu KBAmu bisa ambyar. 

Angka 21 adalah keramat bagi mereka yang ingin menikah dengan kehendaknya sendiri. Problemnya; apakah kamu percaya diri atau tidak dengan pikiran dan pilihan KBAmu.

Untuk memudahkan, mari kita membuat ilustrasi. 

Yohanes, 21 tahun, protestan, ingin mempersunting Fatimah, 21 tahun, Islam. Mereka saling cinta dan ingin tetap tumbuh dengan agama masing-masing. 

Orang tua Yohanes tidak keberatan. Namun sayangnya orang tua Fatimah menolak habis-habisan. 

Bisakah KBA tetap dilakukan? Secara teori masih bisa diproses. Fatimah tetap bisa maju. Tinggal apakah ia dan Yohanes punya nyali atau tidak.

Namun bagaimana jika orang tua Fatimah tidak setuju dan menggugat ke pengadilan? Ya tidak apa-apa. 

Ada cerita menarik. Pada 12 November 2019, Raden Ayu Husna Ar, hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,  menolak permohonan seorang ayah, Islam, yang keberatan putrinya KBA dengan pacar Katoliknya. Sang ayah berusaha membatalkan KBA yang telah dilakukan di Paroki Santo Stefanus Cilandak. 

"Menimbang, bahwa dengan adanya tekad yang kuat dari Termohon 1 (putri ayah-- Aan) untuk dapat menikah dengan Termohon 2 (pacar putri ayah --Aan) dengan mengabaikan aturan yang terdapat di dalam agama yang ia anut menjadi tanggung jawab Termohon 1 kepada Tuhannya tanpa sangkut paut dengan pihak lain, termasuk ayah kandungnya sendiri, karena setiap manusia mukallaf bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan sebagai konsekuensi logis atas apa yang ia pilih dan ia putuskan,” begitu kutipan salinan putusannya. 

Putusan tidak mungkin akan seperti ini seandainya usia sang putri di bawah 21 tahun. 

Kembali ke Yohanes dan Fatimah.
Agar berhasil, caranya, pastikan gerejanya Yohanes bisa melangsungkan KBA. Sebab tidak semua denominasi gereja membuka pintunya. Banyak dari mereka memilih seegois KUA. 

Bagaimana jika gerejanya tidak bisa melangsungkan KBA? Jangan kuatir, masih ada beberapa gereja yang bisa melakukan pemberkatan perkawinan.

Beberapa yang aku tahu, misalnya –perlu dicek kembali, beberapa GKI, beberapa GKJ. Dan beberapa GKP. Kabarnya GPIB juga bisa melayani -entah terbatas hanya bagi jemaatnya saja atau jemaat dari denominasi lain. 

Aku memiliki beberapa kawan pendeta di denominasi yang aku sebut tadi. No worries.

Di lingkungan Katolik, aku percaya KBA bisa dilangsungkan relatif lebih mudah. Dua kali aku memiliki pengalaman langsung mendampingi KBA Islam dan Katolik, dilayani romo di wilayah keuskupan Surabaya dan Malang. 

Namun bagaimana jika ada romo paroki yang, katakanlah, enggan meloloskan permintaan KBA umatnya --sebagaimana pengakuan kawanku beberapa hari lalu? Tidak perlu risau. Tidak perlu pindah agama. Tetap saja berkatolik. 

Aku akan carikan paroki yang mau melangsungkan KBA. Resmi. Tercatat sampai Vatikan. 

Percayalah, Gusti itu "seperti," merpati, yang "tak pernah ingkar janji," Ia akan membuka pintunya jika kita terus mengetuk, ud’uni astajib lakum, tertulis juga di Matius 7:7.

Poin pentingnya, harus ada gereja yang bisa memberkati KBA Yohanes dan Fatimah. Pemberkatan akan diiringi penerbitan surat perkawinan dari gereja tersebut. 

Surat ini akan menjadi salah satu dokumen kunci yang dibawa ke Capil. Dokumen lainnya bisa dicek di banyak situs. 

KUASA DESA
Anggap saja surat dari gereja sudah dikantongi Fatimah dan Yohanes. Bagaimana jika ada resistensi dari aparat desa –misalnya mempermasalahkan perbedaan kolom agama di KTP ? Mudah saja. 

Berikan pemahaman pada aparat --secara sopan dan tegas, “Yakin kalian memiliki kewenangan memvalidasi kolom agama dalam persoalan ini?” 

Jika penjelasan ini tidak berhasil, kirimlah surat somasi kepada aparat tersebut. Bahkan jika perlu, tembuskan ke camat dan otoritas lain. Tulis di surat tersebut; hati-hati, kasus seperti ini akan menjadi preseden buruk bagi kalian jika dilaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia.

Namun masalahnya, masih cukup banyak calon pasangan KBA yang tidak cukup percaya diri melakukan hal ini. Ngeper duluan --entah karena faktor apa. Mari kita yakini, sekali lagi, cinta akan mengalahkan segalanya.

MEMIPIL CAPIL
Meski secara teoritik, semua Catatan Sipil (Capil) kabupaten/kota memiliki aturan seragam, namun dalam urusan KBA, instansi ini bisa jadi surga sekaligus neraka bagi siapa saja, termasuk Yohanes dan Fatimah.  

Banyak laporan masuk padaku, ada capil yang bisa menerima KBA, ada yang menolak. Memang, jika telah dikuasai kelompok fundamentalis agama yang kerap antiKBA, instansi ini bisa sedikit menyulitkan. 

Aku katakan “sedikit,” karena kita dapat menghadapinya, sepanjang dokumen kita lengkap –terkhusus surat perkawinan dari gereja.

Barusan aku mendapat kabar baik dari teman pendeta, anak GUSDURian, Capil di kabupatennya tidak menanyakan N1-N4. 

Proses adminsitrasinya berlangsung secara online. Ini berarti, secara teoritik, dapat memangkas potensi resistensi di level desa.

“Tapi kapan hari aku ditanyai soal surat baptis (bagi mempelai non-Kristen),” ujar kawanku pendeta tadi.

Yang harus kita ketahui, surat baptis tidak menjadi syarat formal dalam proses administrasi, sebagaimana ditentukan dalam aturan hukum perkawinan. Jangan sampai kita terkecoh. 

Petugas capil bisa kita beri penjelasan secara baik terkait hal ini. Minta mereka mematuhi aturan, bukan malah melampauinya.  

Namun bagaimana seandainya instansi ini ngotot tidak mau mencatat KBA Yohanes dan Fatimah --padahal semua dokumen sudah dipenuhi? Mudah, berikan wawasan bahwa hal tersebut justru akan mempermalukan diri mereka sendiri. 

Jika capil tidak merespon atau mempersulit, tulisnya surat “cinta,” (baca: somasi) seperti saat dipersulit di level desa. Harusnya, Capil luluh. Apalagi jika kasus ketidakprofesionalan mereka ini sampai mencuat di media. 

Taruh kata, capil tetap ngotot pada pendiriannya, tidak mau memproses KBA, maka mintalah capil menuliskan penolakan tersebut dalam bentuk surat resmi. 

Biasanya capil akan berpikir dua kali untuk berani mengeluarkan surat penolakan tersebut, sebab akan berpotensi menimbulkan kegaduhan yang sia-sia. Jika tidak hati-hati, jabatan kepala kantor capil akan jadi taruhannya. 

Namun, mari kita berandai kemungkinan terburuk; capil tetap nekat mengeluarkan surat penolakan KBA tersebut? Santai saja. Sebab itu yang kita inginkan.

Berbekal surat penolakan tersebut, Yohanes dan Fatimah perlu ke pengadilan negeri setempat, memohon hakim melakukan dua hal; pertama, menetapkan perkawinan cinta kasih mereka dan, sekaligus, kedua, memerintahkan capil agar mencatat perkawinan tersebut. 

“Menetapkan, pertama, mengabulkan permohonan Para Pemohon. Kedua, memberikan ijin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Ketiga, menetapkan biaya perkara kepada Para Pemohon sebesar Rp96.000,00 (Sembilan puluh enam ribu rupiah),” 

Demikian yang pernah diucapkan Arief Yudiarto S.H., M.H., hakim PN Purwokerto, saat memproses permohonan Kus Patrisia Brilianti, Kristen, dan pasangannya, Aditya Rachman Sinuka, Islam. Penetapan yang dibacakan pada Jumat, 14 Februari 2020 ini bernomor 26/Pdt.P/2020 PN PWT. 


Penetapan sama juga pernah disampaikan Hakim Ganjar Pasaribu ketika menyidangkan permohonan Agustinus Dwi Nugroho, Katolik, dan Ika Dede Yuniar, Islam, di PN. Surakarta, 8 Juli 2019.

Sangat mungkin Yohanes dan Fatimah juga akan mereguk manisnya perjalanan panjang, seperti halnya Fenny-Junjung dan dua pasangan yang mendahului mereka.

Di titik ini, Fatimah dan Yohanes sudah sah sebagai pasangan KBA. Seandainya keduanya bersedia, proses akad nikah, secara Islam, juga bisa digelar sebagai upaya merawat dan menjaga cinta kasih keduanya. 

Proses ijab-kabul dilakukan secara mandiri. Tidak ada sangkut pautnya dengan KUA. Di sinilah aku biasanya berperan. 

Yohanes harus masuk Islam terlebih dahulu sebelum ijab? Menurutku tidak harus. Namun semuanya terserah Yohanes. 

Aku membayangkan, jika Yohanes tidak memaksa Fatimah masuk Kristen saat pemberkatan perkawinan di gereja, harusnya Fatimah juga mau melakukan hal yang sama; tidak memaksa. 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati,” (QS. 2:62)

Ayat ini menurutku cukup selaras dengan semangat kebinekaan Pancasila yang memungkinkan siapapun bisa berKBA. 

Tertarik KBA? Jangan sungkan berdiskusi denganku ya; Aan Anshori 089671597374.(*)

---

GKI: Gereja Kristen Indonesia
GKJ: Gereja Kristen Jawa
GKP: Gereja Kristen Pasundan
GPIB: Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
Foto saat acara sekolah kader putri PMII di GKI Taman Bendul Merisi Surabaya



Wednesday, February 23, 2022

HUJAN BATU PENGANTIN BARU



Dua orang di foto ini mungkin yang paling bahagia. Keduanya akhirnya bisa bersama. Dua agama bersatu saat Surabaya diterjang puting beliung dan hujan batu, 21 Februari lalu.
---

Fenny dan Junjung sepakat menyatukan cinta mereka. Meski berbeda agama, keduanya sudah sangat dewasa. Tidak mau memaksakan kehendak menundukkan agama masing-masing. Mereka memilih merawat perbedaan itu. Andai mereka ikut kelasku; Pancasila dan Religion di kampus Ciputra, aku akan beri mereka poin tambahan gede.

Fenny penganut Katolik taat. Demikian juga Junjung -- Muslim tak tercela. Jalinan kasih mereka diresmikan melalui perkawinan gereja, secara Katolik. Setahuku baru Katolik --dan beberapa gereja protestan-- yang bisa memberkati perkawinan beda agama. 

"Kamu umat paroki endi, mbak?" tanyaku kepada Fenny, jauh hari sebelum perkawinannya kemarin.

"KR, mas" jawabnya. 

Aku tidak menyangka dia umat paroki itu –salah satu paroki “milik,” ordo CM (congregation of Mission) di keuskupan Surabaya. Aku punya kawan baik yang pernah melayani di sana. Namany Romo Parno. 

Aku kemudian berinisiatif mengontak salah satu pengurus di sana, mengabarkan akan ada kawanku, Fenny, yang akan meminta dispensasi perkawinan. 

Perkawinan antara umat Katolik dan selain-Katolik, setahuku, harus melalui pintu dispensasi. Andai mekanisme ini ada di KUA, pasti Pancasila semakin terasa di di Indonesia.

“Mbak, ini ada temanku, wargo sampeyan, yang akan menikah dengan kawanku Muslim. Tolong dilayani dengan baik sesuai prosedur ya,” kataku pada pengurus tersebut.

Jujur saja, aku sendiri tidak pernah bertemu dengan Fenny maupun Junjung. Aku dan Fenny memang berteman di FB namun tidak pernah jumpa fisik. 

Fenny adalah teman dari temanku di Surabaya. Aku selalu merasa teman dari temanku adalah temanku juga. Sedangkan musuh dari musuhku adalah temanku –dalam perspektif lain.

“Mas, aku nyuwun tulung ya, untuk bisa menikahkan kami secara Islam sebelum pemberkatan gereja. Junjung dan aku berkeinginan seperti itu,” ujar Fenny. 

Aku tentu senang dengan permintaan ini. Berarti, menurutku, ilmu yang aku pelajari di S2 Hukum Keluarga Islam Univ. Hasyim Asyari Tebuireng akhirnya ada gunanya secara langsung. 

Kami bertiga akhirnya sepakat bertemu sekitar 15-20 menit menggunakan fasilitas video call whatsapp. Saat itu aku melihat keduanya sangat bahagia. 

Aku juga demikian. Meski terkadang agak sulit namun apa yang paling membahagiakan selain melihat orang lain bahagia? Tidak ada. 
 
Kami bersepakat proses akad nikah dilangsungkan 21 Februari 2022. Awalnya mereka berdua akan ke Jombang. Aku melarangnya sebab menurutku tidak cukup efisien dan memakan biaya, dibanding jika aku yang ke Surabaya.

“Kirim aja lokasinya, mbak. Aku akan datang ke sana. Kamu fokus ngurusi hal yang lebih urgent,” jawabku.

Tanggal 21 Februari pun datang. Aku meminta Galang mengantarku ke halte bis di dekat Pasar Legi Jombang. Aku berniat naik bis Bagong, Jombang-Surabaya via tol.

“Tahu nggak, Lang, ayah ke Surabaya untuk tujuan apa?” ujarku sembari membonceng Galang.
“Nggak. Emang ayah mau ngapain ke Surabaya” jawabnya.
“Ayah mau jadi penghulu perkawinan Islam dan Katolik,” ujarku
“Wow keren. Katolik dan Islam,” ujarnya dari belakang.

Aku tahu ia sangat mungkin agak bingung dengan konsep perkawinan antaragama ini. Sebab, pandangan Islam aliran utama cenderung melarangnya. Aku menjadi tertarik menjelaskan padanya di atas motor. 

Ia nampak mendengarkan dengan seksama. Aku mengintipnya dari spion motor.

“Ada pendapat yang melarang perkawinan model itu, Lang. Namun ada juga pendapat sebaliknya,” kataku.

Pandangan yang melarang bertumpu pada dugaan penganut agama selain Islam masuk kategori kafir. Kafir dan Muslim dinggap tidak bisa bersatu. Islam dianggap baik. Kafir dipersepsi jahat.

“Namun menurut aku, tuduhan kafir untuk orang selain Islam, dalam hal ini Katolik, tidaklah pas, Lang,” ujarku. 

Kekafiran itu, tambahku, merujuk pada orang yang memiliki sifat antihumanisme, tidak mau bersyukur, memusuhi Islam, dan yang tidak meyakini adanya Tuhan.

“Ayah merasa ciri-ciri itu tidak ada pada semua teman ayah yang Kristen maupun Katolik, Lang. Mereka itu bukan kafir. Alih-alih, mereka masuk dalam kategori mukmin, believers, orang-orang yang percaya,” ujarku dengan bersemangat, tidak peduli apakah Galang bisa memahami maksudku atau tidak.

Aku hanya berharap suatu ketika nanti, ia bisa membaca salah satu tulisan Marilyn Robinson Waldman. Berjudul "The Development of the Concept of Kufr in the Qur'ān." yang pernah diterbitkan Journal of the American Oriental Society 1968. Semoga saja.

**
“ We meet finally,” seruku saat bertemu Fanny di rumahnya, kawasan Bronggalan Surabaya. Dekat Kalijudan. Aku ke rumahnya bersama Mas Irianto, ketua Roemah Bhinneka Surabaya. 

Fenny tampak anggun dengan kebaya putihnya. Sedangkan Junjung memilih memakai jas. Pasangan yang serasi.

Acara akad nikad dilangsungkan di rumah itu. Sederhana namun terasa dipenuhi sakralitas yang tak tertandingi. Ada sekitar 15 orang yang hadir. Aku menduga mereka adalah kerabat dan kawan dekat pasangan. Beberapa dari mereka memakai jilbab.

“Mana ya papamu, Fen?” tanyaku saat duduk di ruang tamu. Aku merasa perlu bertemu dia guna menanyakan teknis akad nikahnya nanti. Fenny mengatakan papanya akan hadir namun akad nikah akan diwakili oleh adik papanya, pak Ismail. 

Aku dan pak Ismail kemudian berdiskusi sebentar terkait teknisnya. Akhirnya disepakati kendali acara akan aku pegang, namun khusus akad nikah dan doanya akan dipimpin Pak Ismail. 

Setelah semuanya siap, aku selanjutnya membuka acara dan melantunkan ayat-ayat suci alquran. Sebelum menyampaikan khtbah nikah aku bacakan, aku mempersilahkan setiap yang hadir di ruangan itu, jika ada yang keberatan dengan proses ini, untuk tidak segan berbicara.

“Ibu/Bapak, marilah kita hantar acara ini dengan segenap keikhlasan dan merdeka dari perasaan dengki maupun ketertindasan. Itu sebabnya, jika ada diantara panjenengan semua yang masih merasa tidak bisa menerima proses ini, saya persilahkan untuk berbicara,” ujarku.

Ruangan seketika hening. Suara rintikan hujan terasa makin keras.

Karena tidak ada yang bersuara, aku kemudian mempersilahkan lelaki yang mendampingi Junjung memberikan suaranya. "Monggo, mas," ujarku menyodorinya mic. 

Dengan pelan ia menyampaikan apresiasinya atas acara ini. Keluarga Junjung sangat senang dengan perkawinan ini, "Pun ngoten mawon," 

Kemudian aku persilahkan Pak Daniel, papanya Fenny, untuk berbicara. Awalnya, dia berkata dengan nada datar. 

Namun pelan-pelan intonasinya mulai emosional. Suaranya bergetar. Butiran air mata meleleh. Ia mengusapnya.

“Saya ingin dengar sendiri apakah Junjung benar-benar mencintai Fenny, tidak akan menyakitinya,”  ujarnya dengan suara serak. 

Fenny yang duduk disamping papanya tak kuat menahan airmatanya. Aku melihat tangan kiri Junjung berusaha menggenggam tangan Fenny. 

Duh Gusti, airmataku ikut-ikutan meleleh saat mengetik tulisan ini. Aku membayangkan Fenny adalah Cecil dan aku adalah sang papa.

Saat giliran berbicaranya tiba, Junjung langsung meneguhkan komitmennya; mencintai dan menyayangi sampai maut memisahkan. Fenny terlihat lebih tenang.

Melihat semuanya itu, diam-diam aku tak tahan untuk tidak membaca doa dalam hatiku. Bukan doa hujan batu.

"Barakallohu laka wa baraka alayka wa jama’a baynahuma min khayr. Allohumma allif baynahuma kama allafta adam wa hawa, kama allafta Ibrahim wa Sara, kama allafta yusuf wa Zulaikha, kama allafta Muhammad wa Khadijatul kubro, kama allafta ali wa fatimatuz zuhro. (*)

Wednesday, February 16, 2022

Bahasa Cinta

Oleh : Dessy Kartika Sari Twitter: @dekaridisini


Dulu pas gue tahu Imam Katolik (Romo/Pastor) harus hidup selibat & sengaja menghilangkan semua kenikmatan duniawi dari hidupnya, gue pikir itu ga masuk akal. Terus gue jadiin skripsi.
Gue muslim, btw. Dulu kuliah jurusan Psikologi.
Sebagai muslim & non Katolik, dulu gue pikir selibat Pastor itu menyalahi kodrat sebagai manusia & pria. Gue tulis di bab 1 semua hal yg mendukung pendapat itu.
Pas maju ke pembimbing, gue yakin 100% dia bakal dukung ide gue. Muslim juga soalnya.
Dan apa reaksi pembimbing gue?