Pages

Wednesday, February 23, 2022

HUJAN BATU PENGANTIN BARU



Dua orang di foto ini mungkin yang paling bahagia. Keduanya akhirnya bisa bersama. Dua agama bersatu saat Surabaya diterjang puting beliung dan hujan batu, 21 Februari lalu.
---

Fenny dan Junjung sepakat menyatukan cinta mereka. Meski berbeda agama, keduanya sudah sangat dewasa. Tidak mau memaksakan kehendak menundukkan agama masing-masing. Mereka memilih merawat perbedaan itu. Andai mereka ikut kelasku; Pancasila dan Religion di kampus Ciputra, aku akan beri mereka poin tambahan gede.

Fenny penganut Katolik taat. Demikian juga Junjung -- Muslim tak tercela. Jalinan kasih mereka diresmikan melalui perkawinan gereja, secara Katolik. Setahuku baru Katolik --dan beberapa gereja protestan-- yang bisa memberkati perkawinan beda agama. 

"Kamu umat paroki endi, mbak?" tanyaku kepada Fenny, jauh hari sebelum perkawinannya kemarin.

"KR, mas" jawabnya. 

Aku tidak menyangka dia umat paroki itu –salah satu paroki “milik,” ordo CM (congregation of Mission) di keuskupan Surabaya. Aku punya kawan baik yang pernah melayani di sana. Namany Romo Parno. 

Aku kemudian berinisiatif mengontak salah satu pengurus di sana, mengabarkan akan ada kawanku, Fenny, yang akan meminta dispensasi perkawinan. 

Perkawinan antara umat Katolik dan selain-Katolik, setahuku, harus melalui pintu dispensasi. Andai mekanisme ini ada di KUA, pasti Pancasila semakin terasa di di Indonesia.

“Mbak, ini ada temanku, wargo sampeyan, yang akan menikah dengan kawanku Muslim. Tolong dilayani dengan baik sesuai prosedur ya,” kataku pada pengurus tersebut.

Jujur saja, aku sendiri tidak pernah bertemu dengan Fenny maupun Junjung. Aku dan Fenny memang berteman di FB namun tidak pernah jumpa fisik. 

Fenny adalah teman dari temanku di Surabaya. Aku selalu merasa teman dari temanku adalah temanku juga. Sedangkan musuh dari musuhku adalah temanku –dalam perspektif lain.

“Mas, aku nyuwun tulung ya, untuk bisa menikahkan kami secara Islam sebelum pemberkatan gereja. Junjung dan aku berkeinginan seperti itu,” ujar Fenny. 

Aku tentu senang dengan permintaan ini. Berarti, menurutku, ilmu yang aku pelajari di S2 Hukum Keluarga Islam Univ. Hasyim Asyari Tebuireng akhirnya ada gunanya secara langsung. 

Kami bertiga akhirnya sepakat bertemu sekitar 15-20 menit menggunakan fasilitas video call whatsapp. Saat itu aku melihat keduanya sangat bahagia. 

Aku juga demikian. Meski terkadang agak sulit namun apa yang paling membahagiakan selain melihat orang lain bahagia? Tidak ada. 
 
Kami bersepakat proses akad nikah dilangsungkan 21 Februari 2022. Awalnya mereka berdua akan ke Jombang. Aku melarangnya sebab menurutku tidak cukup efisien dan memakan biaya, dibanding jika aku yang ke Surabaya.

“Kirim aja lokasinya, mbak. Aku akan datang ke sana. Kamu fokus ngurusi hal yang lebih urgent,” jawabku.

Tanggal 21 Februari pun datang. Aku meminta Galang mengantarku ke halte bis di dekat Pasar Legi Jombang. Aku berniat naik bis Bagong, Jombang-Surabaya via tol.

“Tahu nggak, Lang, ayah ke Surabaya untuk tujuan apa?” ujarku sembari membonceng Galang.
“Nggak. Emang ayah mau ngapain ke Surabaya” jawabnya.
“Ayah mau jadi penghulu perkawinan Islam dan Katolik,” ujarku
“Wow keren. Katolik dan Islam,” ujarnya dari belakang.

Aku tahu ia sangat mungkin agak bingung dengan konsep perkawinan antaragama ini. Sebab, pandangan Islam aliran utama cenderung melarangnya. Aku menjadi tertarik menjelaskan padanya di atas motor. 

Ia nampak mendengarkan dengan seksama. Aku mengintipnya dari spion motor.

“Ada pendapat yang melarang perkawinan model itu, Lang. Namun ada juga pendapat sebaliknya,” kataku.

Pandangan yang melarang bertumpu pada dugaan penganut agama selain Islam masuk kategori kafir. Kafir dan Muslim dinggap tidak bisa bersatu. Islam dianggap baik. Kafir dipersepsi jahat.

“Namun menurut aku, tuduhan kafir untuk orang selain Islam, dalam hal ini Katolik, tidaklah pas, Lang,” ujarku. 

Kekafiran itu, tambahku, merujuk pada orang yang memiliki sifat antihumanisme, tidak mau bersyukur, memusuhi Islam, dan yang tidak meyakini adanya Tuhan.

“Ayah merasa ciri-ciri itu tidak ada pada semua teman ayah yang Kristen maupun Katolik, Lang. Mereka itu bukan kafir. Alih-alih, mereka masuk dalam kategori mukmin, believers, orang-orang yang percaya,” ujarku dengan bersemangat, tidak peduli apakah Galang bisa memahami maksudku atau tidak.

Aku hanya berharap suatu ketika nanti, ia bisa membaca salah satu tulisan Marilyn Robinson Waldman. Berjudul "The Development of the Concept of Kufr in the Qur'ān." yang pernah diterbitkan Journal of the American Oriental Society 1968. Semoga saja.

**
“ We meet finally,” seruku saat bertemu Fanny di rumahnya, kawasan Bronggalan Surabaya. Dekat Kalijudan. Aku ke rumahnya bersama Mas Irianto, ketua Roemah Bhinneka Surabaya. 

Fenny tampak anggun dengan kebaya putihnya. Sedangkan Junjung memilih memakai jas. Pasangan yang serasi.

Acara akad nikad dilangsungkan di rumah itu. Sederhana namun terasa dipenuhi sakralitas yang tak tertandingi. Ada sekitar 15 orang yang hadir. Aku menduga mereka adalah kerabat dan kawan dekat pasangan. Beberapa dari mereka memakai jilbab.

“Mana ya papamu, Fen?” tanyaku saat duduk di ruang tamu. Aku merasa perlu bertemu dia guna menanyakan teknis akad nikahnya nanti. Fenny mengatakan papanya akan hadir namun akad nikah akan diwakili oleh adik papanya, pak Ismail. 

Aku dan pak Ismail kemudian berdiskusi sebentar terkait teknisnya. Akhirnya disepakati kendali acara akan aku pegang, namun khusus akad nikah dan doanya akan dipimpin Pak Ismail. 

Setelah semuanya siap, aku selanjutnya membuka acara dan melantunkan ayat-ayat suci alquran. Sebelum menyampaikan khtbah nikah aku bacakan, aku mempersilahkan setiap yang hadir di ruangan itu, jika ada yang keberatan dengan proses ini, untuk tidak segan berbicara.

“Ibu/Bapak, marilah kita hantar acara ini dengan segenap keikhlasan dan merdeka dari perasaan dengki maupun ketertindasan. Itu sebabnya, jika ada diantara panjenengan semua yang masih merasa tidak bisa menerima proses ini, saya persilahkan untuk berbicara,” ujarku.

Ruangan seketika hening. Suara rintikan hujan terasa makin keras.

Karena tidak ada yang bersuara, aku kemudian mempersilahkan lelaki yang mendampingi Junjung memberikan suaranya. "Monggo, mas," ujarku menyodorinya mic. 

Dengan pelan ia menyampaikan apresiasinya atas acara ini. Keluarga Junjung sangat senang dengan perkawinan ini, "Pun ngoten mawon," 

Kemudian aku persilahkan Pak Daniel, papanya Fenny, untuk berbicara. Awalnya, dia berkata dengan nada datar. 

Namun pelan-pelan intonasinya mulai emosional. Suaranya bergetar. Butiran air mata meleleh. Ia mengusapnya.

“Saya ingin dengar sendiri apakah Junjung benar-benar mencintai Fenny, tidak akan menyakitinya,”  ujarnya dengan suara serak. 

Fenny yang duduk disamping papanya tak kuat menahan airmatanya. Aku melihat tangan kiri Junjung berusaha menggenggam tangan Fenny. 

Duh Gusti, airmataku ikut-ikutan meleleh saat mengetik tulisan ini. Aku membayangkan Fenny adalah Cecil dan aku adalah sang papa.

Saat giliran berbicaranya tiba, Junjung langsung meneguhkan komitmennya; mencintai dan menyayangi sampai maut memisahkan. Fenny terlihat lebih tenang.

Melihat semuanya itu, diam-diam aku tak tahan untuk tidak membaca doa dalam hatiku. Bukan doa hujan batu.

"Barakallohu laka wa baraka alayka wa jama’a baynahuma min khayr. Allohumma allif baynahuma kama allafta adam wa hawa, kama allafta Ibrahim wa Sara, kama allafta yusuf wa Zulaikha, kama allafta Muhammad wa Khadijatul kubro, kama allafta ali wa fatimatuz zuhro. (*)

No comments:

Post a Comment