**
Menurut catatan Pew Research Center 2017, satu dari sepuluh orang Islam di Amerika mengawini non-muslim. Mayoritas perkawinan beda agama (PBA) tersebut dilakukan lelaki berusia 18-39 tahun. Sangat mungkin atmosfir pergaulan yang terbuka menjadi faktornya. Secara umum, data Pew 2017 menunjukkan 13 persen Muslim Amerika memiliki relasi PBA. Malah pada 2011, jumlahnya mencapai 16 persen. Dari angka tersebut, terbanyak, kawin dengan Kristen.
Bagaimana dengan di Indonesia? Datanya masih sangat minim. Menurut Muchaddam, yang merujuk pada situs islamlib.com, pada tahun 2000 sebanyak 0,5 persen laki-laki Islam dan 0,6 persen perempuan Islam melakukan PBA. Tidak ada data penjelas lain, misalnya, dengan pemeluk agama apakah mereka melakukan PBA.
Kecilnya angka PBA di kalangan orang Islam Indonesia tidak lepas dari kuatnya doktrin dan "penjagaan," hukum positif yang selama ini dikendalikan kelompok Islam Indonesia.
Sampai saat ini, PBA tidak mungkin dilakukan melalui jalur perkawinan Islam (kementerian agama). Jalur ini "mempersenjatai," dirinya dengan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,"
Serta, pasal 8 huruf f UU a quo; perkawinan dilarang antara dua orang yang: (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Tidak hanya itu, kelompok Islam di Indonesia juga memasang pertahanannya melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam, khususnya pasal 40 huruf c dan pasal 44. Pasal terakhir ini secara eksplisit menyatakan, "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam."
Pintu Lain dan Fragmentasi
Sungguhpun pintu PBA dari jalur Islam telah tertutup rapat, uniknya masih ada pintu lainnya, yakni melalui agama lain dan dicatatkan melalui Pencatatan Sipil (Dukcapil). Sayangnya, tidak semua Dukcapil kabupaten/kota di Indonesia merespon positif PBA. Cukup banyak yang menolak mencatat perkawinan dari dua orang yang berbeda agama di kolom KTPnya. Salah satunya, yang aku tangani, Kota Malang.
Terdapat semacam pola, Dukcapil di wilayah berpenduduk mayoritas Muslim seringkali resisten terhadap PBA. Namun, hal ini tidak bisa dipukul rata. Ada daerah yang cukup akomodatif PBA, seperti Salatiga dan Solo.
Hingga saat ini, umat Islam terbelah menjadi 3 kelompok kaitannya dengan PBA. Pertama, konservatif. Kelompok ini secara total menolak PBA. Mereka memilih penafsiran ketat terhadap ayat-ayat alquran yang memang membuka peluang terjadinya PBA dengan kelompok ahl al-Kitab (Kristen, Yahudi, Shabi'in). Kelompok ini berpandangan, Islam merupakan suksesor bagi agama-agama terdahulu. Bagi mereka yang menolak masuk Islam maka status kekafiran dan kemusyrikan akan tersemat pada mereka. Itu sebabnya,orang Islam terlarang mengawininya. Hampir semua organisasi Islam di Indonesia --dari NU hingga MUhammadiyah -- berada dalam kelompok ini.
Kedua, kelompok moderat. Yakni, mereka yang berpandangan lelaki Islam boleh mengawini perempuan ahl al-Kitab -- namun tidak sebaliknya. Dasar argumentasi mereka juga al-Quran, khususnya QS. 5:5. Namun demikian kelompok ini tidak setuju orang Islam kawin dengan siapapun yang dianggap menyembah selain Tuhan, misalnya berhala, maupun orang ateis.
Kelompok ketiga, progresif. Yakni, mereka yang tidak keberatan orang Islam, apapaun gendernya, kawin dengan non-Islam, tidak hanya terbatas pada ahl al-Kitab. Argumentasinya, Alquran diturunkan tidak terlepas dari situasi sosial politik saat itu. Respon historis seperti ini belum tentu sama persis dengan kondisi saat ini.
Misalnya, kenapa ada ayat pembolehan pria Islam dengan perempuan Kristen dan Yahudi namunn tidak sebaliknya; ada yang menafsirkan regulasi ini tidak lepas dari kekuatiran absennya jaminan kemerdekaan berislam bagi perempuan yang kawin dengan pria Kristen dan Yahudi. Perempuan Islam, saat itu, oleh komunitas Islam, dianggap sebagai kelompok yang memerlukan proteksi-lebih ketimbang lelaki Islam.
Dalam Islam, menurut pandangan ini, Yahudi dan Kristen terakomodasi sebagai agama yang monoteistik sehingga tidak perlu kuatir akan diislamkan. Alquran secara eksplisit meyatakan tidak ada paksaan dalam beragama sebagaimana QS. 2:256. Pria Islam yang diperbolehkan mengawini perempuan ahl al-Kitab diasumsikan memiliki modalitas keislaman cukup --yang oleh karenanya tidak akan memaksa pasangannya berpindah agama.
Namun, pandangan ini secara bersamaan juga menyimpan kekuatiran; apakah Yahudi dan Kristen juga bersedia mengakui Islam sebagai agama monoteistik, kala itu? Sebab jika tidak, perempuan Islam akan tidak akan dapat beragama secara merdeka. Akhirnya Alquran "memilih," opsi tidak memperbolehkan perempuan Islam mengawini pria ahl al-Kitab.
Bagi kelompok progresif, perempuan dan lelaki Islam yang akan melakukan PBA saat ini sudah barang tentu telah mendapat jaminan dari pasangan masing-masing untuk merdeka dari konversi maupun upaya mengkonversi. Sebab jika tidak, untuk apa melakukan PBA saat pintu perkawinan sesama agama terbuka begitu lebar. Tepat di titik ini, kekuatiran penafsiran al-Quran (iilat) atas jaminan kemerdekaan beragama telah terjawab sehingga hukum perkawinan bisa berubah; dari terlarang menjadi terbolehkan.
PBA Para Putri Nabi
Menurut tradisi Sunni, Nabi Muhammad memiliki 6 anak saat bersama Khadijah. Dua cowok, empat cewek. Salah satu putrinya bernama Umm Kulthum, dikawinkan dengan anak dari Abu Lahab bernama Utayba, sekitar tahun 610. Sebagaimana diketahui, Abu Lahab adalah pengikut agama lokal Mekkah --sebagaimana kebanyakan masyarakat di sana. Keduanya, meskipun telah menikah, namun masih tetap tinggal bersama orang tua masing-masing.
Dikabarkan rumah tangga Utayba dan Kulthum amburadul gara-gara perseteruan antarbesan (Nabi Muhammad vs. Abu Lahab). Sekitar tahun 613 M, Nabi Muhammad diceritakan pernah marah dan mengutuk Abu Lahab sekeluarga sebagai penghuni neraka (QS. 111;1-5). Abu Lahab tidak terima dan memilih tidak berbicara dengan Utayba sejak saat itu, kecuali ia mau menceraikan Umm Kulthum. Permintaan ini dituruti Utayba. Kulthum selanjutnya kawin dengan Utsman bin Affan setelah ia ditinggal mati istrinya, Ruqayyah, kakak Kulthum.
Ruqayyah dulunya juga dikabarkan pernah berumah tangga dengan anak Abu Lahab lainnya, Utba. Saat Nabi Muhammad mulai menjalankan dakwah Islamnya, orang-orang Quraisy meminta Utba agar menceraikan Ruqayyah. Permintaan ini dituruti.
Uniknya, permintaan serupa juga disampaikan kepada Abu al-As ibn al-Rabi', suami dari Zaynab -- putri ketiga dari Nabi Muhammad. al-Rabi' menolak menceraikan Zaynab meskipun istrinya telah masuk Islam mengikuti jejak ayahnya, Muhammad. al-Rabi' sendiri tetap memeluk agamanya sendiri. Tidak masuk Islam. Pria ini sebenarnya merupakan sepupu dari Zaynab dari garis ibunya, Khadijah. Khadijah punya saudara perempuan bernama Hala bint Khuwaylid. Al-Rabi' adalah putra dari Hala.
Orang-orang Quraisy Mekkah terus meminta al-Rabi' menceraikan Zaynab dengan iming-iming akan mencarikan perempuan lain. al-Rabi' tak menggubris, termasuk perintah Nabi Muhammad untuk menceraikan putrinya. Sangat nampak keduanya, al-Rabi' dan Zaynab, begitu saling mencintai meski berbeda agama. Keduanya hidup bersama di Mekkah saat semua orang Islam hijrah ke Madinah.
Saat perang Badr terjadi -- perang antara Quraisy Mekkah melawan pengikut Nabi Muhammad di Madinah- al-Rabi' ikut dalam rombongan pasukan Mekkah. Ia tertangkap dan ditawan oleh pasukan mertuanya. Mendengar kabar ini, Zaynab segera mengumpulkan harta bendanya demi menebus suaminya dari tangan ayahnya, termasuk kalung onik --hadiah perkawinan dari Khadijah, ibunya. Ketika Nabi Muhammad melihat kalung tersebut diantara barang tebusan, ia menolak menerimanya. Alih-alih, ia kemudian meminta pasukannya agar memulangkan al-Rabi' ke Mekkah, bersatu kembali dengan Zaynab.
Konon ada negoisasi diantara al-Rabi' dan ayah mertuanyanya; al-Rabi' dipulangkan ke Mekkah dan, sebagai gantinya, Zaynab dikirimkan ke Madinah berkumpul bersama ayahnya. Ini berarti, Zaynab harus hidup terpisah dengan suaminya. Sebuah pilihan yang sulit, sekaligus ujian bagi cinta mereka.
Zaynab bersedia dengan negoisasi ini. Ia kemudian dijemput Zayd, saudara angkatnya, untuk dibawa ke Madinah. Penduduk Makkah melihat hal ini sebagai bentuk arogansi pascaperang Badar. itu sebabnya mereka mengirimkan satu peleton mengejar rombongan Zaynab untuk dibawa kembali ke Mekkah.
Saat peleton Mekkah bertemu rombongan Zaynab, salah satu anggotanya, Habbar ibn Al-Aswad, menusuk unta yang ditunggangi Zaynab. menakut-nakuti perempuan ini agar kembali ke Mekkah. Tusukan ini membuat perempuan ini terpelanting dan membentur batu, menyebabkan ia mengalami keguguran.
Melihat hal ini, Kinanah, saudara al-Rabi', yang diminta suami Zaynab mengawalnya, menjadi marah. Ia bersumpah akan membunuh siapapun yang bermaksud mencelakai Zaynab. Situasi friendly fire diantara orang Mekkah ini bisa diredam oleh Abu Suyfan. Zaynab akhirnya kembali ke Mekkah dengan tetap dikawal Kinanah. Beberapa hari kemudian, Zaynab diantar Kinanah secara diam-diam menuju Madinah, sesuai kesepakatan.
Zaynab hidup terpisah dengan suaminya selama lebih kurang 2-3 tahun. Sekitar September-Oktober 627 M, ia dikejutkan dengan kehadiran suaminya di Madinah. Ia meminta perlindungan setelah barang dagangan milik penduduk Mekkah yang ia kawal dijarah Muslim Madinah, anak buah mertuanya. al-Rabi' berusaha mendapatkannya kembali. Paginya, saat ia shalat subuh bersama perempuan lainnya, ia berteriak dengan keras, "Aku telah memberikan perlindungan pada Abu al-As ibn al-Rabi',"
Rupanya, teriakan Zaynab didengar ayahnya. Lelaki ini meyakinkan anaknya bahwa ia sama sekali tidak mengetahui peristiwa tersebut. Namun ayahnya berjanji akan menyelesaikan masalah ini. "Kami akan melindungi siapapun yang kamu lindungi," ujar ayahnya. Tak butuh wakt waktu lama, Nabi Muhammad menyelesaikannya. Barang dikembalikan ke al-Rabi' dan dibawa menuju Mekkah.
Saat itu para Sahabat (nabi) menyarankan al-Rabi' agar masuk Islam. Namun, saran tersebut ditolak. Ia tidak ingin dicap sebagai orang yang gagal menjaga kepercayaan (penduduk Makkah). Ketika al-Rabi' kembali ke Mekkah mengembalikan barang dagangan kepada para pemiliknya, ia kemudian berkata, "Aku akan menjadi Muslim saat bersama Muhammad meskipun aku kuatir kalian akan berpikir aku hanya ingin merampok properti kalian,"
Al-Rabi' dikabarkan memeluk Islam setelah itu dan pindah ke Madinah. Menurut sebagian cerita, keduanya melanjutkan hidup bersama tanpa perlu memperbarui ikatan perkawinan. Ada pula yang berpandangan; keduanya memperbarui perkawinan --karena al-Rabi' telah masuk Islam. Dua tahun kemudian, sekitar Mei atau Juni 629 M, Zaynab meninggal dunia akibat komplikasi dampak dari kegugurannya tempo hari. Saat pasukan Muslim Madinah menyerang Mekkah pada 630 M, al-Rabi' dikabarkan tidak ikut serta. Ia kemudian memilih tinggal di Mekkah dan menikah dengan Fakhita bint Sa'id dan memiliki anak bernama Maryam.
Cerita ini jelas akan memberi kita peluang menafsirkan. Salah satunya, betapa Nabi Muhammad begitu mencintai putri dan suaminya. Demikian juga halnya cinta dan pengorbanan Zaynab pada al-Rabi’ --sungguhpun ia (al-Rabi’) memiliki agama yang berbeda. Kepindahan al-Rabi' ke Islam tentu saja menimbulkan aneka spekulasi; apa sebenarnya motivasinya masuk Islam.(*)
Daftar Bacaan
Pew Research Center, "2. Identity, assimilation and community", https://www.pewforum.org/2017/07/26/identity-assimilation-and-community/
Achmad Muchaddam, Hukum Perkawinan Beda Agama, Kesejahteraan Sosial, Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014, https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-23-I-P3DI-Desember-2014-26.pdf
Lecker, Michael. "ʿAmr ibn Ḥazm al-Anṣārī and Qurʾān 2,256:" No Compulsion Is There in Religion"." Oriens (1996): 57-64.
"Restatement of History of Islam, by Sayed Ali Asgher Razwy, CE 570 to 661 : Uthman, the Third Khalifa of the Muslims: Uthman's Marriages". https://www.al-islam.org/restatement-history-islam-and-muslims-sayyid-ali-asghar-razwy/uthman-third-khalifa-muslims
Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isaba vol. 6 #9013
Muhammad ibn Saad. Kitab al-Tabaqat al-Kabir vol. 8. Translated by Bewley, A. (1995). The Women of Madina. London: Ta-Ha Publisher
Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Landau-Tasseron, E. (1998). Volume 39: Biographies of the Prophet's Companions and Their Successors. Albany: State University of New York Press.
Ibn Ishaq, Muhammad (1955). Guillaume, Alfred (translator) (ed.). Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah – The Life of Muhammad. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-1963-6033-1
As-Suyuthi, Imam. Asbabun Nuzul: Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an. Vol. 1. Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Guezzou, Mokrane. "Asbab Al-Nuzul by Ali ibn Ahmad Al-Wahidi." Amman, Jordan: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought (2008).
Vajda, G. ‘Ahl Al-Kitāb’. Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Ed. P. Bearman et al. Brill Reference Online. Web. 28 Mar. 2022.