Banyak orang meyakini PBA dilarang menurut UU Perkawinan. Itu sebabnya, UU a quo beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi. Namun rontok semua. Para hakim bergeming.
Aku sendiri berpandangan PBA itu seperti gerbang Monas yang terlihat digembok. Orang yang melihat dari jauh, yang akan masuk Monas, balik kanan. Menganggap areal Monas tidak bisa dimasuki.
Padahal, jika dilihat dari dekat; betul ada gemboknya namun tidak dijepretkan. Alias terbuka. Tidak butuh kunci.
Yang dibutuhkan hanyalah kesediaan untuk melihat lebih dekat, membuka gembok yang terlihat terkunci, dan membukanya. Sesimpel itu.
Sayangnya kita terlalu malas dan pesimis melihat gerbang yang tertutup plus digembok-terbuka tadi.
Begitulah posisi PBA dalam lintasan UU Perkawinan.
Dulu, ceritanya, ada dua kelompok yang berseteru terkait apakah areal Monas perlu digembok rapat atau dibiarkan terbuka gerbangnya; apakah UU Perkawinan cukup mencatat perkawinan --apapun agama mempelai, tidak perlu nyinyir, yang penting mencatat saja. Ataukah, negara berkewajiban memastikan mempelai sama agamanya.
Dua kelompok ini berseteru puluhan tahun -- sejak Indonesia merdeka hingga tumbangnya Presiden Soekarno belum kelar juga UU Perkawinan ini.
Video ini menjelaskan bagaimana tarik ulur perseteruan ini --perseteruan yang sangat pekat nuansa ketakutan islamisasi dan kristenisasi.
Kementerian Kehakiman, punya draft tersendiri. Pro PBA. Antipoligami. Sebaliknya, Kementerian Agama (Islam) tak mau kalah. Punya draft juga. AntiPBA. Propoligami.
Mereka berseteru hingga akhirnya militer turun tangan pada periode awal Orde Soeharto. Hasilnya? Seperti yang kita gunakan saat ini; UU 1/74.
Gerbang areal Monas itu memang terlihat ditutup dan digembok. Namun, gemboknya tidak dikunci.(*)
No comments:
Post a Comment