Pages

Friday, May 6, 2022

KATEKISASI DAN PENYALIBAN DI WARKOP TEKONG


Gresik bagian Sembayat Manyar begitu panas malam ini, Selasa (3/5). Banyak orang rela keluar rumah, sekedar untuk memapah semilirnya angin.

Aku sendiri memilih nongkrong di warkop Tekong dekat kuburan mertuaku. Kopinya begitu khas Gresik. Pekat nikmat dan "jahat,"

Aku jadi teringat sesi katekisasi beberapa hari lalu, di GKI Pondok Indah. Acaranya berlangsung sekitar 1,5 jam. 

Tidak ada sesi presentasi. Murni Q&A -- Kalian bertanya, Aan menjawab.

"Kenapa Tuhan menciptakan banyak agama?" tanya Kia, penatua yang saat itu jadi moderator.

"Sejujurnya, aku tidak tahu. Namun aku bisa membayangkan apa mauNya," ujarku berusaha jujur.

Ada dua kemungkinan, setidaknya, menurutku. Pertama, Tuhan tidak bermaksud membuat banyak agama tapi manusialah yang berkreasi, mengatasnamakan Tuhan. Banyak manusia begitu berhasrat menemukan Tuhan, dengan berbagai cara. 

Kedua, ya, Tuhan memang sengaja menciptakan keragaman agama sebagai caraNya memberitahu manusia; Aku tidak hanya bisa ditemui dengan jalan tunggal lho. Banyak cara. 


Kemungkinan kedua ini memperhadapkan manusia dalam dua tawaran pelik; merasa pilihan agamanya yang paling benar --fanatis, atau menjadi lebih dewasa --meniscayakan ada kebenaran lain diluar galaksi agamanya.

"Sebelum trinitas dimenangkan secara politis sebagai model berteologi yang paling benar di lingkungan kekristenan, ada banyak jalan menuju Gusti Yesus," ujarku. 

Pengunggulan teologi trinitas, tambahku, lantas dibarengi dengan peliyanan jalan nontrinitarian. Gusti Yesus kemudian terasa dimonopoli oleh model ini. 

"Pelan-pelan, nontrinitas didemonisasi. Hanya diajarkan dalam kerangkan untuk memperkuat superioritas trinitarian," kataku. 

Akibatnya bisa ditebak; banyak orang Kristen trinitarian menjadi kurang optimal dalam mengimplementasi ajaran kasih --ajaran inti dalam Kekristenan. 

Model dan strategi seperti ini, dalam beberapa aspek, juga terjadi dalam dinamika teologi Islam yang jumlahnya cukup banyak. Saling mengunggulkan diri seraya menginjak yang-lain sebagai yang inferior.

"Gus, kenapa banyak orang Islam tidak mau percaya kalau Yesus disalib? Padahal secara historis, ia memang disalib," tanya salah satu katekisan, seingatku.

"Pertanyaan cerdas," sambutku.

Tahu nggak, lanjutku, Tuhan kalian itu, dalam al-Quran, merupakan sosok sangat terhormat. Superterhormat. 

Kami diminta menghormati sosok sepertiNya, bahkan harus rela mati-matian melakukan pembelaan seandainya ada upaya untuk menghinakan dirinya. 

"Kristologi kami tidak bisa membiarkanNya diperlakukan serendah itu, disalib, dipersekusi secara kejam dan senista itu. Kami seperti terpanggil untuk melakukan pembelaan --bahkan, jika perlu, dengan menafsirkan secara radikal realitas historis sekalipun," ujarku. 

Kekristenan melakukan pembelaan atas penyalibanNya dengan cara mengakui kejadian tersebut seraya menafsirkan penderitaan dan penghinaan tersebut dengan begitu mengagumkan. 

Sedangkan, kristologi Alquran terlihat menggunakan cara yang, katakanlah, relatif "sederhana," dan straight-forward ---menyangkal kejadian itu seraya menyatakan Tuhan yang lebih tahu kejadiannya. Cara ini, secara jujur, bukanlah genuine Al-Quran sebab ada kelompok Kristen awal, pra-Islam, yang memiliki sikap serupa, sebelum akhirnya disesatkan. 

Saya suka sekali memperhatikan bagaimana model kekristenan merawat jasad jenazah sebelum ibadah penutupan peti. Tak peduli seburuk apapun kondisi awal jenasah, ia akan dimakeup sedemikian bagus. Tampak ganteng dan cantik dengan pakaian yang begitu elegan dan anggun. Pokoknya, jenazah harus ditampilkan dengan cara terbaik di hadapan para pelayat. 

"Mungkin seperti itu kristologi al-Quran membela Kristus dalam peristiwa penyaliban. To honor him. Mungkin," terangku.

Lalu mana yang benar? Mana saja yang paling bisa membuat kita berbuat baik, menjadi rahmat, menjadi terang dan garam, bagi kehidupan ini.

Di akhir sesi, aku memberikan pengharapanku pada para katekisan. Menjadi pengikut Yesus adalah pilihan tepat. 

Pilihan tersebut memiliki konsekuensi yang tidak enteng. Sebab, mengasihi sesama manusia, bagiku, mensyaratkan kewajiban untuk bisa memahami jalan lain, jalan yang berbeda dari pilihan kita. 

"Sederhananya begini; semakin kamu Kristen, semakin kamu bisa menerima nonkristen. Semakin kamu eksklusif maka harusnya kamu semakin inklusif," ujarku.

Sementara itu, gerah dan panas terus mengurung warkop ini. (*)

Sumber tulisan di sini.

No comments:

Post a Comment