Ketidaksukaan terhadap babi atas nama agama perlu dilucuti. Sebab, ia sudah melampaui ambang batas, telah berubah menjadi kebencian yang membahayakan hak orang lain.
Tidak memakan babi karena alasan ajaran agama merupakan hal baik. Hanya saja, ketika pilihan ini berada dalam level tertentu dan menyebabkan konsumen/produsen babi terlanggar hak konstitusionalnya, inilah yang aku maksud dengan "melampaui ambang batas,"
Viralnya kasus pemolisiaan warung nasi pandang berdaging babi merupakan satu dari sekian fragmen ketidaksukaan yang telah berubah menjadi kebencian. Sebelumnya, beberapa tahun lalu, sekelompok umat Islam di Makassar memaksa sebuah lapak babi ditutup. Dengan alasan agama, babi begitu dibenci dan dianggap menakutkan sehingga membuat individu/kelompok nekat berbuat seperti itu.
SINDROM ELEAZAR
Mungkin para pelakunya secara tidak sadar sedang terjangkiti sindrom Eleazar. Ini istilahku sendiri. Nama Eleazar merujuk pada orang Yahudi terpandang yang dipersekusi Antiochus IV Epiphanes (175-164 SM) dengan cara dipaksa memakan daging babi.
Eleazar tentu sekuat tenaga menolaknya. Ia memilih mati dicambuk ketimbang memakan daging babi.
Hanya saja, tidak ada satu kejadian pun di Indonesia modern, yang terekam dalam dokumentasi publik, yang menunjukkan adanya praktek pemaksaan mengkonsumsi babi. Setiap gerai babi pada umumnya memasang tanda cukup jelas agar calon konsumennya sadar sejak awal.
Sebagai muslim, aku merasa ketidaksukaan banyak orang Islam terhadap babi telah mendorong mereka masuk dalam ketakutan luar biasa yang tidak beralasan, fobia. Fobia menyebabkan seseorang cenderung berbuat destruktif dan merugikan. Padahal al-Quran telah mewanti-wanti; janganlah kebencianmu pada sesuatu/seseorang/kelompok membuatmu berlaku tidak adil padanya. Tak terkecuali terhadap babi dan penikmatnya.
Islam terasa mengikuti hukum Musa (Taurat) terkait babi. Secara historis, hal ini bukanlah sesuatu yang rahasia. Saat Nabi Muhammad dan banyak pengikut-awalnya mengalami persekusi dari beberapa kelompok Mekkah, mereka ditolong komunitas Madinah (dulu bernama Yathrib).
Kalau kita percaya Montgomery Watt dalam “Muhammad at Medina,” Madinah merupakan basis kelompok Yahudi. Relasi Yahudi dan Islam-awal menyebabkan tidak sedikit kemiripan dua agama ini.
Bahkan, sebelum datang perintah Tuhan kepada nabi Muhammad terkait pergantian kiblat, Islam-awal "menemui," tuhannya persis sebagaimana cara orang Yahudi; menghadap Yerussalem.
Ya, sedekat itu relasi Islam-Yahudi awalnya. Seperti bestie, saling mendukung, dan saling memengaruhi satu dengan lainnya, khususnya Yahudi terhadap Islam, tak terkecuali dalam hal perbabian.
BABI DAN SIKAP AL-QURAN
Jika menelisik Perjanjian Lama (PL), sangat nampak Yahudi-patriarki melakukan perlawanan total terhadap babi. Agama ini tidak hanya melarang umatnya memakan hewan ini, namun juga melarang menyentuhnya.
Di hadapan PL, babi diposisikan sedemikian rendahnya. Tak punya harga diri. Kitab Keluaran, Imamat, Ulangan, dan Yesaya bisa dirujuk sebagai argumentasinya.
Sebelum membahas hipotesis ketidaksukaan Yahudi pada babi, aku merasa penting mengetahui terlebih dulu sikap Al-Quran terkait binatang ini. Babi dinarasikan Al-Quran dalam dua gambaran yang pejoratif. Pertama, sebagai simbol negatif perumpaan orang yang menentang perintah Allah (QS. 5:60). Kedua, sebagai salah satu dari yang tidak boleh dikonsumsi.
Uniknya, terkait poin kedua tadi, terdapat 3 ayat al-Quran (QS.2:173; 16:115; 6:145) yang memberi kelonggaran (kebolehan) memakan daging babi dalam kondisi tertentu,
".. . Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Alloh mahapengampun, mahapenyayang."
Jika dibandingkan dengan sikap PL yang memborgol rapat keharaman mengkonsumsi daging babi, maka ayat-ayat al-Quran tadi, meski tetap kaku mengharamkan, terasa mengambil sikap yang relatif moderat.
Al-Quran seperti berkata, "Guys, makan babi ndak boleh lho ya. Namun, kalau dalam kondisi terpaksa, atau ndak sengaja, sepanjang ndak berlebihan, ya ndak papa. Nggak dosa kok,”
Sayangnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara gamblang alasan pelarangan makan babi. Hewan ini oleh alquran cukup distempel dengan kata harram dan rijsun yang artinya terlarang dan kotor/najis.
Maka menjadi penting bagi siapa saja untuk menemukan alasannya. Namun tidak hanya itu, yang terpenting, kita juga sepatutnya menguji sejauhmana kekokohan alasan tersebut.
Dalam konteks ini, aku membangun asumsi dasar; pelaran konsumsi babi dalam Islam diduga kuat menapaktilasi ajaran Yahudi. Dengan demikian penyingkapan pengharamannya di Yahudi akan menjadi modalitas bagi kita mengetahui alasan di Islam.
LIMA TEORI BABI
Secara ringkas, terdapat 5 "teori" pelarangan konsumsi babi. Pertama, teori kenikmatan yang diajukan Philo of Alexandria (± 20 SM - 50 M) melalui “On special law 4 (Concerning Animal): 100-107.
Pria ini meyakini pelarangan makan babi dikarenakan kelezatan dagingnya. Tidak ada daging hewan darat yang menandingi gurih dan empuknya babi.
Bagi Philo, pelarangan diperlukan agar orang Yahudi tetap dapat mengontrol kesederhanaan hidup, mampu menahan nafsu dan kerakusan.
Rasa enak yang berlebihan, kala itu, menurut Philo, secara moral dan etika dianggap tidak pantas. Mungkin Philo ada benarnya. Hanya saja, sejauhmana relevansi alasan tersebut untuk mempertahankan pelarangan dewasa ini?
Teori kedua, teori jijik, diperkenalkan Moses Maimonades (1138 M - 1204 M). Dia adalah ahli Taurat yang terpandang dan memiliki peran penting semasa pemerintahan Salahudin al-Ayyubi.
Dalam Dalalat al-Hairin (Panduan bagi Orang Bingung, 3:14) ia mengatakan Taurat melarang babi karena --baik perilaku maupun apa yang ia konsumsi-- dianggap menjijikkan. Teori ini barangkali dengan mudah dibantah, misalnya, dengan mengatakan kenapa kerbau, bebek, ayam --yang kehidupannya tidak lebih menjijikkan dari babi-- tidak serta merta terlarang dikonsumsi? Entahlah.
Teori problem alam yang ditawarkan Marvin Harris merupakan teori ketiga. Ia berargumentasi; pelarangan babi, saat itu, lebih disebabkan karena faktor alam.
Babi membutuhkan banyak air untuk hidup. Sedangkan kawasan Timur Tengah yang dikenal berkontur gurun pasir dianggap tidak mendukung pengembangbiakan babi. Itu sebabnya, untuk mengatasi persoalan teknis, menurut Harris, babi akhirnya dilarang.
Silahkan percaya pada Harris kalau mau. Hanya saja, ada informasi menarik dari Isabel Kershner. Perempuan ini pernah menulis di The New York Times tahun 2013, berjudul "Who’d Import Pigs to Israel? Ancient Europeans, Researchers Say,"
Menurutnya, sejumlah arkeolog yang dipimpin Israel Finkelstein melakukan penelitian di wilayah Levant --saat ini meliputi Israel, Gaza dan Syiria. Wilayah Levant dulunya dihuni orang Philistine --Goliath, lawan David dalam kisahnya yang terkenal, berasal dari Philistine.
Para peneliti ini menemukan bukti arkeologis babi pernah dikembangbiakan di sana sekitar tahun 900 SM.
Penemuan in tak pelak mematahkan teori Harris seputar perbabian.
Pematahan ini mendorong kita untuk menemukan lebih jauh kenapa babi dilarang oleh bangsa Yahudi sebagaimana tersebat dalam PL. Menjadi menarik untuk mengandaikan; dengan mengacu pada teori Harris, apakah dengan demikian status pelarangan babi bisa diubah manakala bisa diternakkan? Ternyata tidak.
Buktinya, hingga saat ini, manakala teknologi telah berkembang sedemikian pesat dan memungkinkan babi bisa dikembangbiakkan di segala medan, hewan ini tetap meringkuk dalam statusnya yang dianggap haram dan najis oleh kalangan Yahudi dan Islam.
Teori keempat adalah teori trichinosis. Teori menyatakan babi, jika dimasak kurang matang, dapat menimbulkan semacam infeksi yang disebabkan sejenis cacing parasit. Parasit ini tidak hanya ada pada babi namun juga binatang lain, misalnya beruang, kucing liar, rubah, anjing, serigala, kuda, anjing laut, atau walrus.
Apakah trichinosis telah ada saat PL ditulis, ataukah teori ini datang belakangan untuk merasionalisasi demonisasi terhadap babi? Yang pasti, hingga saat ini belum ada penyakit khusus yang bersifat mewabah dan berbahaya dalam skala meluas yang ditimbulkan karena mengkonsumsi babi.
Alih-alih, berbeda dengan misalnya sapi. Hewan ini pernah membuat geger karena virus anthraxnya. Namun toh sapi tidak lantas diharamkan karena kegegeran tersebut.
Mengapa Yahudi (dan Islam) terasa lebih mengampuni sapi ketimbang babi? Ini pertanyaan yang barangkali hendak dipecahkan oleh teori kelima, aku menyebutnya; teori kesucian reproduksi patriarki.
TEORI KESUCIAN REPRODUKSI PATRIARKI
Teori ini pertama kali aku baca dari tulisan Nicole Ruane, "Pigs, Purity and Paternity: The Multiparity of Swine and Its Problems for Biblical Ritual and Gender Construction,"
Ruane meyakini Yahudi merupakan agama yang tidak hanya patriarki --sistem sosial dan budaya yang menempatkan lelaki lebih unggul ketimbang perempuan-- namun juga patrilineal --sistem garis keturunan yang bertumpu pada ayah.
Dua atmofsir ini, menurut Ruane, membuat agama tersebut sangat menjaga kesucian dalam aspek reproduksi dan seksualitas. Cara pandang ini, dengan sekuat tenaga, diproyeksikan/direfleksikan terhadapa apa yang boleh dan tidak boleh mereka konsumsi.
Dari semua hewan darat yang dianggap suci dalam kitab Ulangan, babi dianggap "mbalelo," karena mempunyai satu kemampuan yang tidak dimiliki mereka. Yakni, mampu bereproduksi secara luar biasa pada saat hewan-hewan tersebut hanya mampu melahirkan tunggal atau kembar.
Sedangkan babi, ia rata-rata mampu melahirkan 12 hingga 37 anak babi dalam sekali proses kelahiran. Angka terakhir tadi berdasarkan catatan Guiness World Record di Inggris tahun 1993.
Kemampuan reproduksi babi yang sedemikian luar biasanya ini dianggap "mengganggu," superioritas patriarki. Ada ketakutan hebat, lebih tepatnya; kecemburuan, dalam diri patriarki, posisinya akan tersaingi oleh kemampuan seperti ini -- sungguhpun hal tersebut hanya terjadi dalam hewan darat.
Patriarki terobsesi untuk sedapat mungkin mengontrol apa saja, termasuk apa yang dianggapnya ideal dalam galaksi kuliner. Semua harus tunduk dan menghamba pada kemasyhuran patriarki. Tidak boleh ada yang berpotensi merusak kemasyhuran tersebut, terlebih oleh perempuan dengan menggunakan faktor kesuburan reproduktif.
Yahudi-patriarki merasa terganggu superioritas kesuburannya akan kalah mentereng dibanding kesuburan perempuan dengan menggunakan faktor melimpahnya keturunan. Sangat mungkin Yahudi-patriarki terobsesi tidak ingin meniru masyarakat Hittie, pilar kerajaan Kusara di semenanjung Anatolia (1750-1650 SM).
Hittie yang begitu mengagungkan kesuburan perempuan sebagai elemen superiotasnya, menurut Collins dalam "Necromancy, Fertility and the Dark Earth," maupun "Pigs at the Gate," bahkan dikabarkan memiliki semboyan heroik, "let her give her often like pig,"
Bagi Yahudi-patriarki, melahirkan 1 hingga 4 bayi secara bersamaan masih bisa ditolerir. Namun 12 hingga 37 anak sekaligus? Hal tersebut merupakan mimpi buruk yang harus dicegah.
Bagi mereka; yang tidak boleh terjadi dalam dunia manusia sedapat mungkin juga tidak boleh terjadi di dunia hewan.
Bagi Yahudi-patriarki, tambah Ruane, kesuburan reproduksi babi yang begitu melimpah juga menyisakan problem imaji-psikologis; mereka kesulitan menentukan babi mana yang dianggap sulung.
Memang, PL tidak membahas khusus menyangkut aspek anak sulung babi. Hanya saja kesulitan ini memunculkan konflik tersendiri di kalangan Yahudi-patriarki terkait ritus-biblikal yang berhubungan dengan hewan persembahan.
Dalam PL, sulung dari hewan darat yang diternakkan (termasuk babi, seharusnya) bukanlah binatan sembarangan. Dia dianggap paling suci dan itu sebabnya memiliki privilage untuk dipersembahkan kepada tuhan maupun Levites (Keluaran 13:12; Ulangan 15:19-20; Bilangan 18:15-17).
Yahudi-patriarki, sekali lagi, berupaya memproyeksikan keunggulan status sulung dalam sistem sosial budaya mereka ke dalam ritus-biblikal yang berkaitan dengan hewan. Bukan rahasia lagi, anak sulung dalam sistem Yahudi-patriarki, setidaknya tercermin dalam PL, memiliki hak-hak khusus yang tidak dimiliki anak setelahnya, terutama dalam hal garis keturunan dan pewarisan, yang juga dapat kita temukan dengan mudah di sistem sosial-budaya kelompok lain.
Oleh karena Yahudi-patriarki terlihat tidak mampu mengontrol model reproduksi babi maka yang dapat dilakukan adalah mengeksklusi babi dari kehidupan sehari-sehari; melabelinya dengan ketabuan, kenajisan, kekotoran serta aneka lainnya.
Memang, setiap agama memiliki sistem ideologi dan ritual keagamaan yang tidak hanya unik namun juga menarik untuk dicermati ketika menyangkut sesuatu yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi, termasuk agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Namun, sikap ideologis Yahudi-patriarki terkait babi memang terasa cukup ganjil sebab, tambah Ruane dalam tulisannya, terdapat agama-agama kuno yang, meskipun patriarki dan patrilineal tetapi, tidak alergi mempersembahkan babi bagi Tuhannya.
Mungkinkah Yahudi-Patriarki, melalui PLnya saat itu, tengah mengembangkan model baru dalam sistem patriarki dan patrilineal? Benarkah model ini kemudian, secara diam-diam, diikuti oleh bestienya, Islam? Hanya Alloh yang tahu.(*)
Bacaan Lanjutan
- Sapir-Hen, L., Bar-Oz, G., Gadot, Y., & Finkelstein, I. (2013). Pig Husbandry in Iron Age Israel and Judah: New Insights Regarding the Origin of the" Taboo". Zeitschrift des Deutschen Palästina-Vereins (1953-), (H. 1), 1-20.
- Translation of the Meanings of the Noble Qur'an - English Translation - Hilali and Kha, https://quranenc.com/en/browse/english_hilali_khan
- Watt, W. M. (1981). Muhammad at Medina. Oxford University Press.
- Harris, M. (1989). Cows, pigs, wars & witches: The riddles of culture. Vintage.
- Ruane, N. J. (2015). Pigs, purity, and patrilineality: the multiparity of swine and its problems for biblical ritual and gender construction. Journal of Biblical Literature, 134(3), 489-504.
- Kershner, Isabel. (n.d.). Who’d Import Pigs to Israel? Ancient Europeans, Researchers Say - The New York Times. Retrieved June 16, 2022, from https://www.nytimes.com/2013/11/05/world/middleeast/pigs-in-israel-originated-in-europe-researchers-say.html
- Duffy, & Daniel Philip. (n.d.). Eleazar. Retrieved June 16, 2022, from https://catholicism.en-academic.com/4165/Eleazar
- Collins, B. J. (2015). Necromancy, fertility and the dark earth: The use of ritual pits in Hittite cult. In Magic and ritual in the ancient world (pp. 224–241). Brill.
- Collins, B. J. (2006). Pigs at the gate: Hittite pig sacrifice in its eastern Mediterranean context. Journal of Ancient Near Eastern Religions, 6(1), 155–188.
- Philo of Alexandria, https://plato.stanford.edu/entries/philo/
- CDC, What is Anthrax?, https://www.cdc.gov/anthrax/basics/index.html