Pages

Friday, June 17, 2022

MENGADILI BABI DENGAN LIMA TEORI


Ketidaksukaan terhadap babi atas nama agama perlu dilucuti. Sebab, ia sudah melampaui ambang batas, telah berubah menjadi kebencian yang membahayakan hak orang lain. 

Tidak memakan babi karena alasan ajaran agama merupakan hal baik. Hanya saja, ketika pilihan ini berada dalam level tertentu dan menyebabkan konsumen/produsen babi terlanggar hak konstitusionalnya, inilah yang aku maksud dengan "melampaui ambang batas,"

Viralnya kasus pemolisiaan warung nasi pandang berdaging babi merupakan satu dari sekian fragmen ketidaksukaan yang telah berubah menjadi kebencian. Sebelumnya, beberapa tahun lalu, sekelompok umat Islam di Makassar memaksa sebuah lapak babi ditutup. Dengan alasan agama, babi begitu dibenci dan dianggap menakutkan sehingga membuat individu/kelompok nekat berbuat seperti itu. 

SINDROM ELEAZAR
Mungkin para pelakunya secara tidak sadar sedang terjangkiti sindrom Eleazar. Ini istilahku sendiri. Nama Eleazar merujuk pada orang Yahudi terpandang yang dipersekusi Antiochus IV Epiphanes (175-164 SM) dengan cara dipaksa memakan daging babi. 

Eleazar tentu sekuat tenaga menolaknya. Ia memilih mati dicambuk ketimbang memakan daging babi. 

Hanya saja, tidak ada satu kejadian pun di Indonesia modern, yang terekam dalam dokumentasi publik, yang menunjukkan adanya praktek pemaksaan mengkonsumsi babi. Setiap gerai babi pada umumnya memasang tanda cukup jelas agar calon konsumennya sadar sejak awal.  

Sebagai muslim, aku merasa ketidaksukaan banyak orang Islam terhadap babi telah mendorong mereka masuk dalam ketakutan luar biasa yang tidak beralasan, fobia. Fobia menyebabkan seseorang cenderung berbuat destruktif dan merugikan. Padahal al-Quran telah mewanti-wanti; janganlah kebencianmu pada sesuatu/seseorang/kelompok membuatmu berlaku tidak adil padanya. Tak terkecuali terhadap babi dan penikmatnya.


ISLAM MAKMUM KE YAHUDI?
 
Islam terasa mengikuti hukum Musa (Taurat) terkait babi. Secara historis, hal ini bukanlah sesuatu yang rahasia. Saat Nabi Muhammad dan banyak pengikut-awalnya mengalami persekusi dari beberapa kelompok Mekkah, mereka ditolong komunitas Madinah (dulu bernama Yathrib).

Kalau kita percaya Montgomery Watt dalam “Muhammad at Medina,” Madinah merupakan basis kelompok Yahudi. Relasi Yahudi dan Islam-awal menyebabkan tidak sedikit kemiripan dua agama ini. 

Bahkan, sebelum datang perintah Tuhan kepada nabi Muhammad terkait pergantian kiblat, Islam-awal "menemui," tuhannya persis sebagaimana cara orang Yahudi; menghadap Yerussalem. 

Ya, sedekat itu relasi Islam-Yahudi awalnya. Seperti bestie, saling mendukung, dan saling memengaruhi satu dengan lainnya, khususnya Yahudi terhadap Islam, tak terkecuali dalam hal perbabian.

BABI DAN SIKAP AL-QURAN
Jika menelisik Perjanjian Lama (PL), sangat nampak Yahudi-patriarki melakukan perlawanan total terhadap babi. Agama ini tidak hanya melarang umatnya memakan hewan ini, namun juga melarang menyentuhnya. 


Di hadapan PL, babi diposisikan sedemikian rendahnya. Tak punya harga diri. Kitab Keluaran, Imamat, Ulangan, dan Yesaya bisa dirujuk sebagai argumentasinya. 

Sebelum membahas hipotesis ketidaksukaan Yahudi pada babi, aku merasa penting mengetahui terlebih dulu sikap Al-Quran terkait binatang ini. Babi dinarasikan Al-Quran dalam dua gambaran yang pejoratif. Pertama, sebagai simbol negatif perumpaan orang yang menentang perintah Allah (QS. 5:60). Kedua, sebagai salah satu dari yang tidak boleh dikonsumsi.

Uniknya, terkait poin kedua tadi, terdapat 3 ayat al-Quran (QS.2:173; 16:115; 6:145) yang  memberi kelonggaran (kebolehan) memakan daging babi dalam kondisi tertentu, 
".. . Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Alloh mahapengampun, mahapenyayang."

Jika dibandingkan dengan sikap PL yang memborgol rapat keharaman mengkonsumsi daging babi, maka ayat-ayat al-Quran tadi, meski tetap kaku mengharamkan, terasa mengambil sikap yang relatif moderat. 

Al-Quran seperti berkata, "Guys, makan babi ndak boleh lho ya. Namun, kalau dalam kondisi terpaksa, atau ndak sengaja, sepanjang ndak berlebihan, ya ndak papa. Nggak dosa kok,”

Sayangnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara gamblang alasan pelarangan makan babi. Hewan ini oleh alquran cukup distempel dengan kata harram dan rijsun yang artinya terlarang dan kotor/najis. 

Maka menjadi penting bagi siapa saja untuk menemukan alasannya. Namun tidak hanya itu, yang terpenting, kita juga sepatutnya menguji sejauhmana kekokohan alasan tersebut.  

Dalam konteks ini, aku membangun asumsi dasar; pelaran konsumsi babi dalam Islam diduga kuat menapaktilasi ajaran Yahudi. Dengan demikian penyingkapan pengharamannya di Yahudi akan menjadi modalitas bagi kita mengetahui alasan di Islam.

LIMA TEORI BABI
Secara ringkas, terdapat 5 "teori" pelarangan konsumsi babi. Pertama, teori kenikmatan yang diajukan Philo of Alexandria (± 20 SM - 50 M) melalui “On special law 4 (Concerning Animal): 100-107. 

Pria ini meyakini pelarangan makan babi dikarenakan kelezatan dagingnya. Tidak ada daging hewan darat yang menandingi gurih dan empuknya babi.

Bagi Philo, pelarangan diperlukan agar orang Yahudi tetap dapat mengontrol kesederhanaan hidup, mampu menahan nafsu dan kerakusan. 

Rasa enak yang berlebihan, kala itu, menurut Philo, secara moral dan etika dianggap tidak pantas. Mungkin Philo ada benarnya. Hanya saja, sejauhmana relevansi alasan tersebut untuk mempertahankan pelarangan dewasa ini? 

Teori kedua, teori jijik, diperkenalkan Moses Maimonades (1138 M - 1204 M). Dia adalah ahli Taurat yang terpandang dan memiliki peran penting semasa pemerintahan Salahudin al-Ayyubi.

Dalam Dalalat al-Hairin (Panduan bagi Orang Bingung, 3:14) ia mengatakan Taurat melarang babi karena --baik perilaku maupun apa yang ia konsumsi-- dianggap menjijikkan. Teori ini barangkali dengan mudah dibantah, misalnya, dengan mengatakan kenapa kerbau, bebek, ayam --yang kehidupannya tidak lebih menjijikkan dari babi-- tidak serta merta terlarang dikonsumsi? Entahlah.

Teori problem alam yang ditawarkan Marvin Harris merupakan teori ketiga. Ia berargumentasi; pelarangan babi, saat itu, lebih disebabkan karena faktor alam.

Babi membutuhkan banyak air untuk hidup. Sedangkan kawasan Timur Tengah yang dikenal berkontur gurun pasir dianggap tidak mendukung pengembangbiakan babi. Itu sebabnya, untuk mengatasi persoalan teknis, menurut Harris, babi akhirnya dilarang. 

Silahkan percaya pada Harris kalau mau. Hanya saja, ada informasi menarik dari Isabel Kershner. Perempuan ini pernah menulis di The New York Times tahun 2013, berjudul "Who’d Import Pigs to Israel? Ancient Europeans, Researchers Say," 

Menurutnya, sejumlah arkeolog yang dipimpin Israel Finkelstein melakukan penelitian di wilayah Levant --saat ini meliputi Israel, Gaza dan Syiria. Wilayah Levant dulunya dihuni orang Philistine --Goliath, lawan David dalam kisahnya yang terkenal, berasal dari Philistine. 

Para peneliti ini menemukan bukti arkeologis babi pernah dikembangbiakan di sana sekitar tahun 900 SM. 
Penemuan in tak pelak mematahkan teori Harris seputar perbabian. 

Pematahan ini mendorong kita untuk menemukan lebih jauh kenapa babi dilarang oleh bangsa Yahudi sebagaimana tersebat dalam PL. Menjadi menarik untuk mengandaikan; dengan mengacu pada teori Harris,  apakah dengan demikian status pelarangan babi bisa diubah manakala bisa diternakkan? Ternyata tidak. 

Buktinya, hingga saat ini, manakala teknologi telah berkembang sedemikian pesat dan memungkinkan babi bisa dikembangbiakkan di segala medan, hewan ini tetap meringkuk dalam statusnya yang dianggap haram dan najis oleh kalangan Yahudi dan Islam.

Teori keempat adalah teori trichinosis. Teori menyatakan babi, jika dimasak kurang matang, dapat menimbulkan semacam infeksi yang disebabkan sejenis cacing parasit. Parasit ini tidak hanya ada pada babi namun juga binatang lain, misalnya beruang, kucing liar, rubah, anjing, serigala, kuda, anjing laut, atau walrus. 

Apakah trichinosis telah ada saat PL ditulis, ataukah teori ini datang belakangan untuk merasionalisasi demonisasi terhadap babi? Yang pasti, hingga saat ini belum ada penyakit khusus yang bersifat mewabah dan berbahaya dalam skala meluas yang ditimbulkan karena mengkonsumsi babi. 

Alih-alih, berbeda dengan misalnya sapi. Hewan ini pernah membuat geger karena virus anthraxnya. Namun toh sapi tidak lantas diharamkan karena kegegeran tersebut.

Mengapa Yahudi (dan Islam) terasa lebih mengampuni sapi ketimbang babi? Ini pertanyaan yang barangkali hendak dipecahkan oleh teori kelima, aku menyebutnya; teori kesucian reproduksi patriarki.

TEORI KESUCIAN REPRODUKSI PATRIARKI
Teori ini pertama kali aku baca dari tulisan Nicole Ruane, "Pigs, Purity and Paternity: The Multiparity of Swine and Its Problems for Biblical Ritual and Gender Construction," 

Ruane meyakini Yahudi merupakan agama yang tidak hanya patriarki --sistem sosial dan budaya yang menempatkan lelaki lebih unggul ketimbang perempuan-- namun juga patrilineal --sistem garis keturunan yang bertumpu pada ayah.

Dua atmofsir ini, menurut Ruane, membuat agama tersebut sangat menjaga kesucian dalam aspek reproduksi dan seksualitas. Cara pandang ini, dengan sekuat tenaga, diproyeksikan/direfleksikan terhadapa apa yang boleh dan tidak boleh mereka konsumsi.

Dari semua hewan darat yang dianggap suci dalam kitab Ulangan, babi dianggap "mbalelo," karena mempunyai satu kemampuan yang tidak dimiliki mereka. Yakni, mampu bereproduksi secara luar biasa pada saat hewan-hewan tersebut hanya mampu melahirkan tunggal atau kembar. 

Sedangkan babi, ia rata-rata mampu melahirkan 12 hingga 37 anak babi dalam sekali proses kelahiran. Angka terakhir tadi berdasarkan catatan Guiness World Record di Inggris tahun 1993. 

Kemampuan reproduksi babi yang sedemikian luar biasanya ini dianggap "mengganggu," superioritas patriarki. Ada ketakutan hebat, lebih tepatnya; kecemburuan, dalam diri patriarki, posisinya akan tersaingi oleh kemampuan seperti ini -- sungguhpun hal tersebut hanya terjadi dalam hewan darat. 

Patriarki terobsesi untuk sedapat mungkin mengontrol apa saja, termasuk apa yang dianggapnya ideal dalam galaksi kuliner. Semua harus tunduk dan menghamba pada kemasyhuran patriarki. Tidak boleh ada yang berpotensi merusak kemasyhuran tersebut, terlebih oleh perempuan dengan menggunakan faktor kesuburan reproduktif.

Yahudi-patriarki merasa terganggu superioritas kesuburannya akan kalah mentereng dibanding kesuburan perempuan dengan menggunakan faktor melimpahnya keturunan. Sangat mungkin Yahudi-patriarki terobsesi tidak ingin meniru masyarakat Hittie, pilar kerajaan Kusara di semenanjung Anatolia (1750-1650 SM). 
Hittie yang begitu mengagungkan kesuburan perempuan sebagai elemen superiotasnya, menurut Collins dalam "Necromancy, Fertility and the Dark Earth," maupun "Pigs at the Gate," bahkan dikabarkan memiliki semboyan heroik, "let her give her often like pig,"

Bagi Yahudi-patriarki, melahirkan 1 hingga 4 bayi secara bersamaan masih bisa ditolerir. Namun 12 hingga 37 anak sekaligus? Hal tersebut merupakan mimpi buruk yang harus dicegah.

Bagi mereka; yang tidak boleh terjadi dalam dunia manusia sedapat mungkin juga tidak boleh terjadi di dunia hewan. 
Bagi Yahudi-patriarki, tambah Ruane, kesuburan reproduksi babi yang begitu melimpah juga menyisakan problem imaji-psikologis; mereka kesulitan menentukan babi mana yang dianggap sulung. 

Memang, PL tidak membahas khusus menyangkut aspek anak sulung babi. Hanya saja kesulitan ini memunculkan konflik tersendiri di kalangan Yahudi-patriarki terkait ritus-biblikal yang berhubungan dengan hewan persembahan.

Dalam PL, sulung dari hewan darat yang diternakkan (termasuk babi, seharusnya) bukanlah binatan sembarangan. Dia dianggap paling suci dan itu sebabnya memiliki privilage untuk dipersembahkan kepada tuhan maupun Levites (Keluaran 13:12; Ulangan 15:19-20; Bilangan 18:15-17).

Yahudi-patriarki, sekali lagi, berupaya memproyeksikan keunggulan status sulung dalam sistem sosial budaya mereka ke dalam ritus-biblikal yang berkaitan dengan hewan. Bukan rahasia lagi, anak sulung dalam sistem Yahudi-patriarki, setidaknya tercermin dalam PL, memiliki hak-hak khusus yang tidak dimiliki anak setelahnya, terutama dalam hal garis keturunan dan pewarisan, yang juga dapat kita temukan dengan mudah di sistem sosial-budaya kelompok lain.

Oleh karena Yahudi-patriarki terlihat tidak mampu mengontrol model reproduksi babi maka yang dapat dilakukan adalah mengeksklusi babi dari kehidupan sehari-sehari; melabelinya dengan ketabuan, kenajisan, kekotoran serta aneka lainnya.

Memang, setiap agama memiliki sistem ideologi dan ritual keagamaan yang tidak hanya unik namun juga menarik untuk dicermati ketika menyangkut sesuatu yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi, termasuk agama Yahudi, Kristen dan Islam. 

Namun, sikap ideologis Yahudi-patriarki terkait babi memang terasa cukup ganjil sebab, tambah Ruane dalam tulisannya, terdapat agama-agama kuno yang, meskipun patriarki dan patrilineal tetapi, tidak alergi mempersembahkan babi bagi Tuhannya.

Mungkinkah Yahudi-Patriarki, melalui PLnya saat itu, tengah mengembangkan model baru dalam sistem patriarki dan patrilineal? Benarkah model ini kemudian, secara diam-diam, diikuti oleh bestienya, Islam? Hanya Alloh yang tahu.(*)


Bacaan Lanjutan
  1. Sapir-Hen, L., Bar-Oz, G., Gadot, Y., & Finkelstein, I. (2013). Pig Husbandry in Iron Age Israel and Judah: New Insights Regarding the Origin of the" Taboo". Zeitschrift des Deutschen Palästina-Vereins (1953-), (H. 1), 1-20.
  2. Translation of the Meanings of the Noble Qur'an - English Translation - Hilali and Kha, https://quranenc.com/en/browse/english_hilali_khan
  3. Watt, W. M. (1981). Muhammad at Medina. Oxford University Press.
  4. Harris, M. (1989). Cows, pigs, wars & witches: The riddles of culture. Vintage.
  5. Ruane, N. J. (2015). Pigs, purity, and patrilineality: the multiparity of swine and its problems for biblical ritual and gender construction. Journal of Biblical Literature, 134(3), 489-504.
  6. Kershner, Isabel. (n.d.). Who’d Import Pigs to Israel? Ancient Europeans, Researchers Say - The New York Times. Retrieved June 16, 2022, from https://www.nytimes.com/2013/11/05/world/middleeast/pigs-in-israel-originated-in-europe-researchers-say.html
  7. Duffy, & Daniel Philip. (n.d.). Eleazar. Retrieved June 16, 2022, from https://catholicism.en-academic.com/4165/Eleazar
  8. Collins, B. J. (2015). Necromancy, fertility and the dark earth: The use of ritual pits in Hittite cult. In Magic and ritual in the ancient world (pp. 224–241). Brill.
  9. Collins, B. J. (2006). Pigs at the gate: Hittite pig sacrifice in its eastern Mediterranean context. Journal of Ancient Near Eastern Religions, 6(1), 155–188.
  10. Philo of Alexandria, https://plato.stanford.edu/entries/philo/
  11. CDC, What is Anthrax?, https://www.cdc.gov/anthrax/basics/index.html

Friday, June 10, 2022

AKAR HOMOFOBIA DAN PRIA TAK BERSELERA WANITA

*** tulisan ini pernah tayang di locita.co 2018 sebelum akhirnya tidak bisa diakses**

Pascatayang di program FAKTA TVOne membahas LGBT, Agama dan HAM, saya mendapat luapan komentar. Sebagian besar menghujat, terutama soal ayat. Saya salah kutip nomor ayat dalam QS. al-Nur. Seharusnya ayat 31, namun saya sebut ayat 30. Sungguh merupakan kekhilafan saya.

Akan tetapi atas substansi topik yang dibahas, saya tetap meyakini Alloh mampu menciptakan manusia yang beragam. Dia berkuasa menciptakan sosok lelaki --baik yang menyukai perempuan atau yang tidak terangsang melihat Christina Aguilera sekalipun.

Kemampuan ini oleh Alloh diabadikan secara benderang dalam dua ayat; qauliyah --sebagaimana tertera dalam QS. 24:31, dan kauniyah --keberadaan mereka dalam realitas empirik.

Allah bahkan saya yakini berkuasa mampu menciptakan apa yang menurut kita mustahil. Sebab, tanpa keyakinan  seperti ini, akan sia-sia bangunan tauhid yang kita percayai selama ini.

Dua ayat ini bisa dikatakan sebagai bukti legalitas tekstual maupun empirikal keberadaan mereka, sebanding dengan legalitas kehadiran ragam ciptaan lain yang bersuku-bangsa, sebagaimana disinggung dalam QS. 49:13.

PRIA TAK BERSELERA WANITA
Lantas, siapakah mereka -- pria tak berselera terhadap wanita ini, sebagaimana tercantum dalam QS. An-Nur 31? Ragamnya bisa banyak, tergantung sejauhmana ketercukupan pengetahuan seseorang dalam membaca alam raya ini.

Dengan merangkum berbagai pandangan (Ibnu Abbas, Qatadah, Mujahid, Sha'bi) yang bersumber dari dua kitab tafsir al-Quran milik Jarir al-Tabari dan Ibnu Kathir, tokoh Sunni ortodok asal Pakistan, Al-Maududi, mencoba menjelaskan sosok yang tertera di QS 24:31 itu di tafsir Tafhim al-Quran.

Dalam versi bahasa Inggris, dia menterjemahkan teks "tabi'in ghoyru uli al-irba" sebagai those from among the men who are your subordinates and have no desire -- pembantu laki-laki yang tidak punya hasrat seksual terhadap perempuan.

Al-Maududi selanjutnya merujuk pada sosok Hit, pria feminim (mukhannats) berdasarkan kisah dari Ummu Salamah dan Aishah yang terekam dalam beberapa kitab hadits kanonik seperti  Bukhari, Muslim, Nasa'i dan Abu Dawud.

Kisah tersebut menceritakan; suatu ketika di rumah Ummu Salamah terjadi obrolan antara 3 orang; Hit duduk di samping Ummu Salamah, dan Abdullah bin Abi Umayyah, saudara Ummu Salamah.
"Eh nanti kalau kamu berhasil menaklukkan kota Taif, jangan lupa mencari puterinya Ghilan Tsaqafi ya," kata Hit ke Abdullah sembari mendeskripsikan kemolekan puteri Ghilan.

Nampaknya Nabi mendengar perbincangan itu dan berkata la yadkhulanna haulai 'alaykunna (mereka --para perempuan-- seharusnya tidak boleh masuk ke rumah kalian --para perempuan--).

Ungkapan bernada ketidaksukaan Nabi ini kemudian bisa dipahami dalam beberapa tafsir. Pertama, Nabi tidak suka dengan seluruh waria secara umum. Namun hal ini tidak cukup beralasan mengingat sangat mungkin Hit adalah asisten rumah tangga, atau minimal dekat, dengan Ummu Salamah. Hal ini bisa diketahui dari kesediaan Ummu Salamah duduk di samping Hit saat itu. Kedua, Nabi tidak suka dengan omongan Hit, bukan keberadaannya.

Hipotesis kedua ini nampaknya yang paling memungkinkan. Saya menduga Nabi kuatir hal-hal pribadi istrinya akan dibocorkan Hit --sebagaimana Hit membocorkan kemolekan puteri Ghilan Tsaqafi kepada Abdullan bin Abi Umayyah.

Namun menurut al-Maududi, nabi bersikap seperti itu karena menganggap Hit tidak sepenuhnya tidak suka perempuan. Kedetilan Hit mendeskripsikan puteri Ghilan dianggap Nabi sebagai indikator ketertarikannya pada perempuan --sungguhpun Hit adalah waria.

Mungkin ini sebabnya, Yusuf al-Kirmani (w. 1384) membagi waria menjadi dua kategori; khilqy (pemberian tuhan, given) dan takallufi (gadungan).

Waria jenis takallufi adalah ia yang menyamar menjadi perempuan padahal  masih punya hasrat seksual terhadap perempuan. Kepura-puraannya hanyalah kedok untuk melakukan kejahatan, misalnya kekerasan seksual (Rowson 1991). Sangat mungkin Nabi kuatir Hit adalah waria takallufi, yang itu sebabnya ia diusir.

Lebih lanjut, tidak ditemukan lagi penjelasan apakah pascaperistiwa itu Hit tetap di rumah Ummu Salamah atau tidak. Jika tetap di sana, maka saya anggap ia telah berhasil mengklarifikasi dirinya adalah waria khilqy. Waria jenis ini, dalam kacamata kajian gender dan seksualitas, adalah laki-laki homoseksual (karena tidak punya hasrat terhadap perempuan) dengan identitas gender feminim (berpenampilan gemulai). Sebab ada juga jenis laki-laki homoseks yang tetap mempertahankan identitasnya sebagai pria maskulin.

AKAR HOMOFOBIA
Lalu, kenapa banyak diantara kita yang marah dan kejang-kejang menerima hal ini, bahkan cenderung bertindak destruktif?

Sulit untuk tidak mengatakan masih banyak orang mengidap problem psikologis dalam bentuk homofobia -- yakni ketakutan akut terhadap orang yang suka sesama jenis. Menariknya, jika seringkali rasa takut menyebabkan keminderan bagi penderitanya, maka ketakutan berjamaah ini bisa membentuk semacam penyatuan psikologis dengan ikatan yang sangat kuat. Layaknya air bah, ketakutan ini berubah menjadi kekuatan mematikan yang intimidatif.

Hemat saya, homofobia muncul melalui tiga tahap utama --sebelum bertengger di tahap dua terakhir; diskriminasi dan kekerasan fisik terhadap kelompok LGBT.

Tahap pertama adalah bias -- yakni cara pandang yang bertumpu pada keyakinan bahwa identitas tertentu lebih unggul/baik ketimbang identitas lainnya. Kelompok hetero merasa dirinya lebih baik ketimbang non-hetero, salah satunya karena keunggulan reproduktif.

Laki-laki feminim dan perempuan maskulin dipersepsi sebagai aib, tidak natural dan mencoreng kehormatan diri, keluarga dan lingkungan.

Namun, apakah cara pandang ini diperbolehkan Islam? Saya ragu. Al-Quran tidak pernah memerintah kita menumpahkan kebencian atas keragaman identitas. Justru menurut Alloh, setiap orang berada dalam derajat yang sama, dengan ketakwaan sebagai barometer pembedanya -- bukan jenis kelamin, kemampuan reproduksi, atau faktor lainnya.

Di tahap kedua, bias tadi mendapat topangan kokoh dari "stereotype" --yakni anggapan miring semua orang dengan ciri tertentu pasti sama semua. Misalnya, anggapan bahwa semua laki-laki pasti suka lawan jenis, atau semua yang berorientasi seksual homo pastilah melakukan persetubuhan-paksa seperti kaum Luth, atau pemangsa anak laki-laki seperti Robot Gedeg.

Cara pandang ini sama ngawur dengan simpulan; "semua laki-laki hetero pasti seperti Syekh Puji, sebab dia juga hetero". Puji adalah laki-laki hetero asal Semarang yang tersandung kasus perkawinan perempuan bawah umur beberapa tahun lalu. Stereotype sangat berbahaya jika digunakan secara berlebihan, sebab bisa menjerumuskan pikiran ke dalam jurang kesesatan logika.

Kedua tahap ini selanjutnya disempurnakan oleh tahap ketiga, yakni prejudice -- praduga tanpa ketercukupan pengetahuan yang bisa menimbulkan perasaan tidak suka terhadap seseorang/sesuatu. Minimnya pengetahuan tentang Syiah, Ahmadiyah, Tionghoa, Penghayat, Korban 65-66, Non-Muslim maupun LGBT, seringkali mendongkrak sentimen negatif kita atas mereka. Yang ujungnya, seseorang akan mudah bertindak diskriminatif dan melakukan kekerasan.

Saya merasa ketiga tahapan homofobia ini tumbuh subur dan massif dengan memanfaatkan tafsir agama tanpa disertai keberimbangan dan ketercukupan pemahaman mengenai kelompok ini. Tanpa belajar tentang keilmuan gender dan seksualitas, ditambah keengganan berinteraksi langsung dengan kelompok LGBT, saya ragu seseorang akan mampu memupus bias, stereotype dan juga prejudice.

Bagaimana mungkin kita bisa mendaku sebagai hakim tanpa terlebih dahulu memahami dan menguasai kasus yang hendak diputus? Menurut saya, menghukumi LGBT tanpa terlebih dahulu memahami secara utuh tentang gender dan seksualitas akan menyebabkan ketidakadilan hukum. Dan menurut St. Agustine, hukum yang mengabaikan keadilan bukanlah hukum.

BERFIKIR WARAS
Homofobia --atau fobia-fobia yang lain -- jelas berangkat dari sebuah ketidakpahaman yang memunculkan perasaan takut. Tidak sedikit kalangan hetero yang kuatir tertular menjadi homo. Itu hanya mitos, sebagaimana mitos minum kencing unta akan membuat otak menjadi lebih encer. Orientasi seksual bukanlah sesuatu yang menular, sebagaimana HIV/AIDS.

Disamping aspek minimnya interaksi dan pengetahuan, ada kemungkinan besar pengidap homofobia justru orang yang punya orientasi seksual homo. Kok bisa? Iya. 

Hipotesisnya, ia belum bisa menerima kenyataan dirinya secara utuh. Jiwanya masih meronta dan menggugat keberbedaan yang ia miliki. Yang bersangkutan belum siap dan merasa tidak aman hidup di tengah lingkungan yang sangat fanatik mengusung kredo heteronormatifitas.

Orang seperti ini membutuhkan rasa aman untuk menyembunyikan jati dirinya yang sesungguhnya. Caranya? Ikut-ikutan merisak dan mempersekusi kelompok LGBT.

Dengan cara ini, ia berharap identitasnya tetap terlindungi dan bisa diterima oleh lingkungannya. Strategi seperti ini mungkin relatif sama dengan pelaku kejahatan yang berupaya menutupi jejaknya dengan cara berpura-pura ikut membantu menyingkap kasus tersebut.

Selain itu, pengidap homofobia kemungkinan besar merupakan seseorang yang bersimpati pada anak-anak korban kekerasan seksual sejenis, ataupun bersimpati memburuknya situasi penyebaran HIV/AIDS.

Sayangnya, keinginan mulia tersebut disalurkan pada kanal yang salah; yakni membenci secara membabi buta orang yang suka sejenis meskipun ia tidak pernah melakukan perkosaan terhadap anak. Dan, menumpahkan seluruh kesalahan HIV/AIDS serta aneka penyakit kelamin kepada kelompok ini --padahal menurut Pusat Data Informasi HIV/AIDS Kementerian Kesehatan, kelompok paling rentan tertular HIV/AIDS adalah kalangan heteroseksual, yakni ibu rumah tangga (Kompas 1/12/2017).

Menghilangkan homofobia, saya bisa katakan merupakan proses mudah tapi agak sulit. Dikatakan mudah, karena kita tinggal membuang prasangka yang kerap mengepung cara berfikir kita. Namun hal ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Musuh terbesar dalam hal ini tak lain adalah diri kita sendiri, ego kita.

Jika kuatir akan ada gay yang akan menyukai kita, janganlah panik, apalagi merasa dilecehkan kelelakiannya. Cara pandang seperti itu tak berguna sedikit pun, malah justru akan memerosotkan kedewasaan anda dalam merespon persoalan.

Apakah jika ada pria yang suka dengan kita (laki-laki) maka secara otomatis membuat kita menjadi homo? Tentu tidak. Kegopohan ini imbas merupakan imbas dari didikan cara pandang klasik-konservatif; bahwa pria hanya boleh disukai oleh lawan jenisnya.

Namun bagi sebagian orang, disukai lawan jenis dianggap terlalu mainstream. "Wajar lah.. kalau laki-laki atletis, rupawan dan pintar banyak disukai perempuan. Nah kalau ada laki-laki yang juga tertarik, itu berarti dirimu telah sempurna --dicintai dua jenis kelamin " kata kawan saya. Ia yang merupakan lelaki hetero menjelaskan bahwa lelaki tampan sejati bukanlah ia yang hanya digilai perempuan. Lebih jauh ia juga diminati oleh lelaki.

Saya tahu, bagi seorang homofobik, disukai sesama jenis memang akan terasa cukup aneh, namun kita tidak bisa melarang dengan siapa orang jatuh cinta. Sungguhpun begitu kita tetap punya hak untuk membalas cintanya dengan sepadan (jika kita homo) atau mengucapkan terima kasih dan menolaknya (jika kita hetero), atau kita bisa marah dan memukulinya sebagai bentuk penolakan kita (jika kita homofobia).

Homofobia sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan kita tentang kelompok ini. Semakin minim informasi, bisa dipastikan semakin besar potensi kesalahpahaman yang akan terjadi. Oleh karena itu, kerendahan hati untuk belajar adalah kata kunci.

Dengan belajar dan berinteraksi, prejudice (prasangka buruk) yang telah mengendap lama dan mengerak dalam memori kita akan terlucuti. Sebab jika tidak, memori purba ini akan menjadi modal awal dan dikelola dalam tiga tahap di atas tadi. Pada waktunya, memori tersebut akan berubah menjadi penyumbang utama praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT. Wallohu a'lam.

Aan Anshori

Monday, June 6, 2022

CINTA DIANTARA TAMU DAN DUA BUNGKUS NASI GORENG

Tadi malam, Minggu (5/6), aku kedatangan tamu. Satu keluarga. Terdiri dari ayah, ibu dan satu orang anak lelaki.  

Sang anak adalah dokter. Sangat disayang kedua ortunya. Sayangnya, kedua ortu belum bisa menerima kondisi sang anak yang memiliki orientasi seksual non-hetero dengan ekspresi gender yang cenderung feminin.

"Pak Ustadz, kami sekeluarga tidak bisa menerima kondisi dia," ujar sang ibu, sangat serius.

Dia bersikukuh anaknya sedang terpengaruh oleh lingkungan sejak dia masuk kuliah. Berkali-kali ia meyakinkanku bahwa sang anak tidak seperti itu awalnya. 

"Pokoknya dia salah gaul. Saya ibunya, yang melahirkan, merawat, tahu bagaimana dia sejak lahir. Dia harus kembali normal. Lha wong dia pernah pacaran sama perempuan kok," ujarnya berapi-rapi. 

Ditengah argumentasinya ia tak mampu menahan airmatanya. Ambrol bak bendungan. 

Ia tetap berorasi di depan kami dengan suara yang hampir parau diselingi isakan tertahan.

"Nggih, bu. Minum dulu ya bu," ujarku selembut mungkin.

Ia menolak air minum yang aku sodorkan. Juga snack yang telah aku sediakan sejak sore untuk mereka. Tak disentuhnya sama sekali.

Mungkin ia dan suaminya sudah merasa aku bukan di pihak mereka. Tatapan mereka padaku memang agak lain, seperti berkata, "Hah? Ini ustadz anakku? Nggak salah apa?"

Di menit awal, aku memang menjelaskan dengan perlahan. Ilmu pengetahuan dan Alquran tidak saling bertentangan terkait orang seperti anaknya.

"Ada lho bu Alquran menyebut lelaki yang yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap perempuan, Mungkin seperti anak ibu ini," ujarku menjelaskan. 

Sang ibu segera mengambil kertas dan pulpen, mencatat nama ayat dan nomornya. Mungkin ia akan membaca dan mengklarifikasikan kepada guru agamanya.

Berkali-kali aku melirik anaknya, si dokter. Aku melihat ia mati-matian menahan amarah, resah, dan luapan emosi saat ibunya memuntahkan kejengkelannya. 

"Ia pernah mau minggat. Hidup sendiri. Emang dikira gampang apa? Apa iya, orang yang akan menampung dia akan sesayang kami?" ujar perempuan ini. Intonasinya campuran, antara sinis dan rasa sayang.

Ungkapan "Kami sangat menyayanginya," keluar sedemikian banyaknya dari mulut sang ibu. Tak terhitung lagi.

Sang dokter tampak makin emosional. Ia menahan sekuat tenaga. 

Mukanya makin kusut, terlihat seperti ingin menangis dan ngamuk. Saking inginnya, ia bahkan tak tahu apa yang harus diperbuat. 

"Aku ke mobil dulu. Supaya kalian lebih mendapat privacy," kata sang dokter, agak ketus, sembari ngeloyor. Kami akhirnya bertiga di forum.

Kesempatan ini aku gunakan untuk ngomong secara lebih terbuka lagi, menyampaikan gagasanku pada kedua orang tuanya.

"Kalau sampeyan berdua sudah siap kehilangan anak ini, silahkan teruskan menggunakan cara seperti ini. Apa kurang cukup anak sampeyan mencoba bunuh diri tiga kali? Sampeyan berdua ini orang terpelajar lho, berkali-kali ngomong sayang pada dia," ujarku sembari menatap tajam mereka.

Nampaknya mereka mulai melunak. Tidak sefrontal tadi. 
Aku mengingatkan mereka betapa pentingnya menyediakan ruang yang nyaman bagi anak agar bisa tumbuh secara baik. Seorang anak akan stress jika terus-menerus dipojokkan dengan dalih sayang.

"Bayangkan sampeyan, mas, " kataku sambil mengarahkan pandangan pada sang ayah, "...terus menerus dipojokkan, dimarahi, disalahpahami orang terdekat. Apa nggak stress?" 

Aku meminta keduanya untuk berdiskusi dengan psikolog atau psikiater terkait hal ini. Agar, kataku, pengetahuan kita tentang ciptaan Tuhan makin bertambah. 

Namun lagi-lagi sang ibu ngotot, merasa paling tahu kondisi sang anak. "Karena saya ibunya, yang mengandung, merawat, dan membesarkannya,"

Aku menahan tawa dalam hati, "Gusti, ampuni hambamu (aku) yang lemah ini,"

"Bu, kalau mobil sampeyan rusak, bengkel memberi saran lalu sampeyan yang tidak paham mesin menolak saran tersebut dengan argumentasi sampeyan yang membeli dan merawat hingga saat ini, apa pas ya seperti itu?" ujarku sembari tersenyum.

Sebelum mereka pamit pulang, aku mengajak keduanya lebih bersabar terhadap anaknya. Termasuk, bersabar untuk tidak terlalu memaksakan kehendak.

Bagiku, mencintai berarti memahami dan melayani. Memang tidaklah mudah.
**

"Mas, aku pengen nasi goreng," -- pesan WA dari pasanganku saat aku melepas kepergian tamu.

Aku segera bergegas menelpon penjual nasi goreng dan menembus dinginnya malam mengambil dua bungkus nasgor mawut superpedas.(*)