Pages

Friday, June 10, 2022

AKAR HOMOFOBIA DAN PRIA TAK BERSELERA WANITA

*** tulisan ini pernah tayang di locita.co 2018 sebelum akhirnya tidak bisa diakses**

Pascatayang di program FAKTA TVOne membahas LGBT, Agama dan HAM, saya mendapat luapan komentar. Sebagian besar menghujat, terutama soal ayat. Saya salah kutip nomor ayat dalam QS. al-Nur. Seharusnya ayat 31, namun saya sebut ayat 30. Sungguh merupakan kekhilafan saya.

Akan tetapi atas substansi topik yang dibahas, saya tetap meyakini Alloh mampu menciptakan manusia yang beragam. Dia berkuasa menciptakan sosok lelaki --baik yang menyukai perempuan atau yang tidak terangsang melihat Christina Aguilera sekalipun.

Kemampuan ini oleh Alloh diabadikan secara benderang dalam dua ayat; qauliyah --sebagaimana tertera dalam QS. 24:31, dan kauniyah --keberadaan mereka dalam realitas empirik.

Allah bahkan saya yakini berkuasa mampu menciptakan apa yang menurut kita mustahil. Sebab, tanpa keyakinan  seperti ini, akan sia-sia bangunan tauhid yang kita percayai selama ini.

Dua ayat ini bisa dikatakan sebagai bukti legalitas tekstual maupun empirikal keberadaan mereka, sebanding dengan legalitas kehadiran ragam ciptaan lain yang bersuku-bangsa, sebagaimana disinggung dalam QS. 49:13.

PRIA TAK BERSELERA WANITA
Lantas, siapakah mereka -- pria tak berselera terhadap wanita ini, sebagaimana tercantum dalam QS. An-Nur 31? Ragamnya bisa banyak, tergantung sejauhmana ketercukupan pengetahuan seseorang dalam membaca alam raya ini.

Dengan merangkum berbagai pandangan (Ibnu Abbas, Qatadah, Mujahid, Sha'bi) yang bersumber dari dua kitab tafsir al-Quran milik Jarir al-Tabari dan Ibnu Kathir, tokoh Sunni ortodok asal Pakistan, Al-Maududi, mencoba menjelaskan sosok yang tertera di QS 24:31 itu di tafsir Tafhim al-Quran.

Dalam versi bahasa Inggris, dia menterjemahkan teks "tabi'in ghoyru uli al-irba" sebagai those from among the men who are your subordinates and have no desire -- pembantu laki-laki yang tidak punya hasrat seksual terhadap perempuan.

Al-Maududi selanjutnya merujuk pada sosok Hit, pria feminim (mukhannats) berdasarkan kisah dari Ummu Salamah dan Aishah yang terekam dalam beberapa kitab hadits kanonik seperti  Bukhari, Muslim, Nasa'i dan Abu Dawud.

Kisah tersebut menceritakan; suatu ketika di rumah Ummu Salamah terjadi obrolan antara 3 orang; Hit duduk di samping Ummu Salamah, dan Abdullah bin Abi Umayyah, saudara Ummu Salamah.
"Eh nanti kalau kamu berhasil menaklukkan kota Taif, jangan lupa mencari puterinya Ghilan Tsaqafi ya," kata Hit ke Abdullah sembari mendeskripsikan kemolekan puteri Ghilan.

Nampaknya Nabi mendengar perbincangan itu dan berkata la yadkhulanna haulai 'alaykunna (mereka --para perempuan-- seharusnya tidak boleh masuk ke rumah kalian --para perempuan--).

Ungkapan bernada ketidaksukaan Nabi ini kemudian bisa dipahami dalam beberapa tafsir. Pertama, Nabi tidak suka dengan seluruh waria secara umum. Namun hal ini tidak cukup beralasan mengingat sangat mungkin Hit adalah asisten rumah tangga, atau minimal dekat, dengan Ummu Salamah. Hal ini bisa diketahui dari kesediaan Ummu Salamah duduk di samping Hit saat itu. Kedua, Nabi tidak suka dengan omongan Hit, bukan keberadaannya.

Hipotesis kedua ini nampaknya yang paling memungkinkan. Saya menduga Nabi kuatir hal-hal pribadi istrinya akan dibocorkan Hit --sebagaimana Hit membocorkan kemolekan puteri Ghilan Tsaqafi kepada Abdullan bin Abi Umayyah.

Namun menurut al-Maududi, nabi bersikap seperti itu karena menganggap Hit tidak sepenuhnya tidak suka perempuan. Kedetilan Hit mendeskripsikan puteri Ghilan dianggap Nabi sebagai indikator ketertarikannya pada perempuan --sungguhpun Hit adalah waria.

Mungkin ini sebabnya, Yusuf al-Kirmani (w. 1384) membagi waria menjadi dua kategori; khilqy (pemberian tuhan, given) dan takallufi (gadungan).

Waria jenis takallufi adalah ia yang menyamar menjadi perempuan padahal  masih punya hasrat seksual terhadap perempuan. Kepura-puraannya hanyalah kedok untuk melakukan kejahatan, misalnya kekerasan seksual (Rowson 1991). Sangat mungkin Nabi kuatir Hit adalah waria takallufi, yang itu sebabnya ia diusir.

Lebih lanjut, tidak ditemukan lagi penjelasan apakah pascaperistiwa itu Hit tetap di rumah Ummu Salamah atau tidak. Jika tetap di sana, maka saya anggap ia telah berhasil mengklarifikasi dirinya adalah waria khilqy. Waria jenis ini, dalam kacamata kajian gender dan seksualitas, adalah laki-laki homoseksual (karena tidak punya hasrat terhadap perempuan) dengan identitas gender feminim (berpenampilan gemulai). Sebab ada juga jenis laki-laki homoseks yang tetap mempertahankan identitasnya sebagai pria maskulin.

AKAR HOMOFOBIA
Lalu, kenapa banyak diantara kita yang marah dan kejang-kejang menerima hal ini, bahkan cenderung bertindak destruktif?

Sulit untuk tidak mengatakan masih banyak orang mengidap problem psikologis dalam bentuk homofobia -- yakni ketakutan akut terhadap orang yang suka sesama jenis. Menariknya, jika seringkali rasa takut menyebabkan keminderan bagi penderitanya, maka ketakutan berjamaah ini bisa membentuk semacam penyatuan psikologis dengan ikatan yang sangat kuat. Layaknya air bah, ketakutan ini berubah menjadi kekuatan mematikan yang intimidatif.

Hemat saya, homofobia muncul melalui tiga tahap utama --sebelum bertengger di tahap dua terakhir; diskriminasi dan kekerasan fisik terhadap kelompok LGBT.

Tahap pertama adalah bias -- yakni cara pandang yang bertumpu pada keyakinan bahwa identitas tertentu lebih unggul/baik ketimbang identitas lainnya. Kelompok hetero merasa dirinya lebih baik ketimbang non-hetero, salah satunya karena keunggulan reproduktif.

Laki-laki feminim dan perempuan maskulin dipersepsi sebagai aib, tidak natural dan mencoreng kehormatan diri, keluarga dan lingkungan.

Namun, apakah cara pandang ini diperbolehkan Islam? Saya ragu. Al-Quran tidak pernah memerintah kita menumpahkan kebencian atas keragaman identitas. Justru menurut Alloh, setiap orang berada dalam derajat yang sama, dengan ketakwaan sebagai barometer pembedanya -- bukan jenis kelamin, kemampuan reproduksi, atau faktor lainnya.

Di tahap kedua, bias tadi mendapat topangan kokoh dari "stereotype" --yakni anggapan miring semua orang dengan ciri tertentu pasti sama semua. Misalnya, anggapan bahwa semua laki-laki pasti suka lawan jenis, atau semua yang berorientasi seksual homo pastilah melakukan persetubuhan-paksa seperti kaum Luth, atau pemangsa anak laki-laki seperti Robot Gedeg.

Cara pandang ini sama ngawur dengan simpulan; "semua laki-laki hetero pasti seperti Syekh Puji, sebab dia juga hetero". Puji adalah laki-laki hetero asal Semarang yang tersandung kasus perkawinan perempuan bawah umur beberapa tahun lalu. Stereotype sangat berbahaya jika digunakan secara berlebihan, sebab bisa menjerumuskan pikiran ke dalam jurang kesesatan logika.

Kedua tahap ini selanjutnya disempurnakan oleh tahap ketiga, yakni prejudice -- praduga tanpa ketercukupan pengetahuan yang bisa menimbulkan perasaan tidak suka terhadap seseorang/sesuatu. Minimnya pengetahuan tentang Syiah, Ahmadiyah, Tionghoa, Penghayat, Korban 65-66, Non-Muslim maupun LGBT, seringkali mendongkrak sentimen negatif kita atas mereka. Yang ujungnya, seseorang akan mudah bertindak diskriminatif dan melakukan kekerasan.

Saya merasa ketiga tahapan homofobia ini tumbuh subur dan massif dengan memanfaatkan tafsir agama tanpa disertai keberimbangan dan ketercukupan pemahaman mengenai kelompok ini. Tanpa belajar tentang keilmuan gender dan seksualitas, ditambah keengganan berinteraksi langsung dengan kelompok LGBT, saya ragu seseorang akan mampu memupus bias, stereotype dan juga prejudice.

Bagaimana mungkin kita bisa mendaku sebagai hakim tanpa terlebih dahulu memahami dan menguasai kasus yang hendak diputus? Menurut saya, menghukumi LGBT tanpa terlebih dahulu memahami secara utuh tentang gender dan seksualitas akan menyebabkan ketidakadilan hukum. Dan menurut St. Agustine, hukum yang mengabaikan keadilan bukanlah hukum.

BERFIKIR WARAS
Homofobia --atau fobia-fobia yang lain -- jelas berangkat dari sebuah ketidakpahaman yang memunculkan perasaan takut. Tidak sedikit kalangan hetero yang kuatir tertular menjadi homo. Itu hanya mitos, sebagaimana mitos minum kencing unta akan membuat otak menjadi lebih encer. Orientasi seksual bukanlah sesuatu yang menular, sebagaimana HIV/AIDS.

Disamping aspek minimnya interaksi dan pengetahuan, ada kemungkinan besar pengidap homofobia justru orang yang punya orientasi seksual homo. Kok bisa? Iya. 

Hipotesisnya, ia belum bisa menerima kenyataan dirinya secara utuh. Jiwanya masih meronta dan menggugat keberbedaan yang ia miliki. Yang bersangkutan belum siap dan merasa tidak aman hidup di tengah lingkungan yang sangat fanatik mengusung kredo heteronormatifitas.

Orang seperti ini membutuhkan rasa aman untuk menyembunyikan jati dirinya yang sesungguhnya. Caranya? Ikut-ikutan merisak dan mempersekusi kelompok LGBT.

Dengan cara ini, ia berharap identitasnya tetap terlindungi dan bisa diterima oleh lingkungannya. Strategi seperti ini mungkin relatif sama dengan pelaku kejahatan yang berupaya menutupi jejaknya dengan cara berpura-pura ikut membantu menyingkap kasus tersebut.

Selain itu, pengidap homofobia kemungkinan besar merupakan seseorang yang bersimpati pada anak-anak korban kekerasan seksual sejenis, ataupun bersimpati memburuknya situasi penyebaran HIV/AIDS.

Sayangnya, keinginan mulia tersebut disalurkan pada kanal yang salah; yakni membenci secara membabi buta orang yang suka sejenis meskipun ia tidak pernah melakukan perkosaan terhadap anak. Dan, menumpahkan seluruh kesalahan HIV/AIDS serta aneka penyakit kelamin kepada kelompok ini --padahal menurut Pusat Data Informasi HIV/AIDS Kementerian Kesehatan, kelompok paling rentan tertular HIV/AIDS adalah kalangan heteroseksual, yakni ibu rumah tangga (Kompas 1/12/2017).

Menghilangkan homofobia, saya bisa katakan merupakan proses mudah tapi agak sulit. Dikatakan mudah, karena kita tinggal membuang prasangka yang kerap mengepung cara berfikir kita. Namun hal ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Musuh terbesar dalam hal ini tak lain adalah diri kita sendiri, ego kita.

Jika kuatir akan ada gay yang akan menyukai kita, janganlah panik, apalagi merasa dilecehkan kelelakiannya. Cara pandang seperti itu tak berguna sedikit pun, malah justru akan memerosotkan kedewasaan anda dalam merespon persoalan.

Apakah jika ada pria yang suka dengan kita (laki-laki) maka secara otomatis membuat kita menjadi homo? Tentu tidak. Kegopohan ini imbas merupakan imbas dari didikan cara pandang klasik-konservatif; bahwa pria hanya boleh disukai oleh lawan jenisnya.

Namun bagi sebagian orang, disukai lawan jenis dianggap terlalu mainstream. "Wajar lah.. kalau laki-laki atletis, rupawan dan pintar banyak disukai perempuan. Nah kalau ada laki-laki yang juga tertarik, itu berarti dirimu telah sempurna --dicintai dua jenis kelamin " kata kawan saya. Ia yang merupakan lelaki hetero menjelaskan bahwa lelaki tampan sejati bukanlah ia yang hanya digilai perempuan. Lebih jauh ia juga diminati oleh lelaki.

Saya tahu, bagi seorang homofobik, disukai sesama jenis memang akan terasa cukup aneh, namun kita tidak bisa melarang dengan siapa orang jatuh cinta. Sungguhpun begitu kita tetap punya hak untuk membalas cintanya dengan sepadan (jika kita homo) atau mengucapkan terima kasih dan menolaknya (jika kita hetero), atau kita bisa marah dan memukulinya sebagai bentuk penolakan kita (jika kita homofobia).

Homofobia sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan kita tentang kelompok ini. Semakin minim informasi, bisa dipastikan semakin besar potensi kesalahpahaman yang akan terjadi. Oleh karena itu, kerendahan hati untuk belajar adalah kata kunci.

Dengan belajar dan berinteraksi, prejudice (prasangka buruk) yang telah mengendap lama dan mengerak dalam memori kita akan terlucuti. Sebab jika tidak, memori purba ini akan menjadi modal awal dan dikelola dalam tiga tahap di atas tadi. Pada waktunya, memori tersebut akan berubah menjadi penyumbang utama praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT. Wallohu a'lam.

Aan Anshori

No comments:

Post a Comment