Tadi malam, Minggu (5/6), aku kedatangan tamu. Satu keluarga. Terdiri dari ayah, ibu dan satu orang anak lelaki.
Sang anak adalah dokter. Sangat disayang kedua ortunya. Sayangnya, kedua ortu belum bisa menerima kondisi sang anak yang memiliki orientasi seksual non-hetero dengan ekspresi gender yang cenderung feminin.
"Pak Ustadz, kami sekeluarga tidak bisa menerima kondisi dia," ujar sang ibu, sangat serius.
Dia bersikukuh anaknya sedang terpengaruh oleh lingkungan sejak dia masuk kuliah. Berkali-kali ia meyakinkanku bahwa sang anak tidak seperti itu awalnya.
"Pokoknya dia salah gaul. Saya ibunya, yang melahirkan, merawat, tahu bagaimana dia sejak lahir. Dia harus kembali normal. Lha wong dia pernah pacaran sama perempuan kok," ujarnya berapi-rapi.
Ditengah argumentasinya ia tak mampu menahan airmatanya. Ambrol bak bendungan.
Ia tetap berorasi di depan kami dengan suara yang hampir parau diselingi isakan tertahan.
"Nggih, bu. Minum dulu ya bu," ujarku selembut mungkin.
Ia menolak air minum yang aku sodorkan. Juga snack yang telah aku sediakan sejak sore untuk mereka. Tak disentuhnya sama sekali.
Mungkin ia dan suaminya sudah merasa aku bukan di pihak mereka. Tatapan mereka padaku memang agak lain, seperti berkata, "Hah? Ini ustadz anakku? Nggak salah apa?"
Di menit awal, aku memang menjelaskan dengan perlahan. Ilmu pengetahuan dan Alquran tidak saling bertentangan terkait orang seperti anaknya.
"Ada lho bu Alquran menyebut lelaki yang yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap perempuan, Mungkin seperti anak ibu ini," ujarku menjelaskan.
Sang ibu segera mengambil kertas dan pulpen, mencatat nama ayat dan nomornya. Mungkin ia akan membaca dan mengklarifikasikan kepada guru agamanya.
Berkali-kali aku melirik anaknya, si dokter. Aku melihat ia mati-matian menahan amarah, resah, dan luapan emosi saat ibunya memuntahkan kejengkelannya.
"Ia pernah mau minggat. Hidup sendiri. Emang dikira gampang apa? Apa iya, orang yang akan menampung dia akan sesayang kami?" ujar perempuan ini. Intonasinya campuran, antara sinis dan rasa sayang.
Ungkapan "Kami sangat menyayanginya," keluar sedemikian banyaknya dari mulut sang ibu. Tak terhitung lagi.
Sang dokter tampak makin emosional. Ia menahan sekuat tenaga.
Mukanya makin kusut, terlihat seperti ingin menangis dan ngamuk. Saking inginnya, ia bahkan tak tahu apa yang harus diperbuat.
"Aku ke mobil dulu. Supaya kalian lebih mendapat privacy," kata sang dokter, agak ketus, sembari ngeloyor. Kami akhirnya bertiga di forum.
Kesempatan ini aku gunakan untuk ngomong secara lebih terbuka lagi, menyampaikan gagasanku pada kedua orang tuanya.
"Kalau sampeyan berdua sudah siap kehilangan anak ini, silahkan teruskan menggunakan cara seperti ini. Apa kurang cukup anak sampeyan mencoba bunuh diri tiga kali? Sampeyan berdua ini orang terpelajar lho, berkali-kali ngomong sayang pada dia," ujarku sembari menatap tajam mereka.
Nampaknya mereka mulai melunak. Tidak sefrontal tadi.
Aku mengingatkan mereka betapa pentingnya menyediakan ruang yang nyaman bagi anak agar bisa tumbuh secara baik. Seorang anak akan stress jika terus-menerus dipojokkan dengan dalih sayang.
"Bayangkan sampeyan, mas, " kataku sambil mengarahkan pandangan pada sang ayah, "...terus menerus dipojokkan, dimarahi, disalahpahami orang terdekat. Apa nggak stress?"
Aku meminta keduanya untuk berdiskusi dengan psikolog atau psikiater terkait hal ini. Agar, kataku, pengetahuan kita tentang ciptaan Tuhan makin bertambah.
Namun lagi-lagi sang ibu ngotot, merasa paling tahu kondisi sang anak. "Karena saya ibunya, yang mengandung, merawat, dan membesarkannya,"
Aku menahan tawa dalam hati, "Gusti, ampuni hambamu (aku) yang lemah ini,"
"Bu, kalau mobil sampeyan rusak, bengkel memberi saran lalu sampeyan yang tidak paham mesin menolak saran tersebut dengan argumentasi sampeyan yang membeli dan merawat hingga saat ini, apa pas ya seperti itu?" ujarku sembari tersenyum.
Sebelum mereka pamit pulang, aku mengajak keduanya lebih bersabar terhadap anaknya. Termasuk, bersabar untuk tidak terlalu memaksakan kehendak.
Bagiku, mencintai berarti memahami dan melayani. Memang tidaklah mudah.
**
"Mas, aku pengen nasi goreng," -- pesan WA dari pasanganku saat aku melepas kepergian tamu.
Aku segera bergegas menelpon penjual nasi goreng dan menembus dinginnya malam mengambil dua bungkus nasgor mawut superpedas.(*)
No comments:
Post a Comment