Pages

Saturday, October 22, 2022

BERNEGOISASI DENGAN TUHAN DI PASAR


Aku merasa cara pandang manusia terhadap tuhan dapat dianalogikan dengan bagaimana kita bernegoisasi dengan tuhan.

Pagi ini (22/10) aku ke pasar dengan Amiroh. Ia awalnya malas. Lebih suka mager di rumah. Aku agak memaksanya agar ia lebih banyak bergerak. Sejak seminggu ini ia mengeluh badannya sakit semua. Kurang gerak --pikirku.

Kami menyusuri ruang-ruas pasar, baik di lingkar dalam maupun luar. Becek dan berbau khas. Bau yang aku suka. 

Kami mengunjungi sekitar 10 lapak untuk memenuhi kebutuhan kami, dengan berjalan kaki. Diam-diam aku perhatikan bagaimana Amiroh berinteraksi dengan para penjual. 

"Murah-murah, mas," matanya berbinar-binar sembari memilih apa yang ia maui. Tanpa merasa perlu bernegoisasi. Baginya, sangat mungkin, para penjual terlihat begitu pemurah dengan harga yang telah ditetapkan.

Amiroh bisa jadi bertindak seperti ini karena, dalam berbelanja, telah terbiasa menggunakan pendekatan "watch listen and obey, no negotiate,"  

Kalau kita ke supermarket atau mall, kita memakai pendekatan itu. Mereka, para provider, bertindak seolah seperti Tuhan yang kaku dan tak bisa bernegoisasi. 

Label harga adalah firmannya. Jika teks suci masih membuka adanya interpretasi, label harga tidak. Kecuali salah cetak. 

"Mau sawo?" tanyaku padanya saat kami melintas depan  penjual sawo dengan gelaran terpal sempit.

Kami pun balik kanan mennghampirinya. Aku segera berjongkok berusaha menyejajarkan dengan penjualnya yang duduk di aspal jalan. 

Mataku memberi kode "on your knees, please," pada Amiroh yang masih tetap berdiri saat berkomunikasi dengan penjual. 

Aku mendengar sang penjual menyebutkankan harga untuk satu kumpulan sawo. Isinya sekitar 8-10 biji.

Ini model transaksi klasik di mana timbangan tak lagi diperlukan. Semua didasarkan kepantasan dan, tentu saja, firman sang penjual.

"Niki tuwek wit, mas" ujarnya. Kalau bahasa Indonesia, masak pohon, tidak karbitan. Aku ho oh saja. 

"Mas, nek kabeh pinten nggih?" tanyaku seraya menunjuk dua kumpulan sawo. Aku tidak menyebutkan harga. 

Pertanyaanku ini mungkin seperti orang bodoh yang bisa dimaknai aku tidak memahami perkalian dasar. Padahal tanpa kalkulator pun aku tahu harga sebenarnya.

Namun, siapapun yang pernah ke pasar pasti paham ini adalah kode sangat sopan bernegoisasi; minta keringanan.

Sang penjual pun menyebutkan harga yang menurutku sangat pantas untuk semua sawo tersebut. Pelan-pelan ia memasukkan sawo ke kresek, satu per satu. Aku mengeluarkan uang bergambar pak Frans Kaisiepo. Satu-satunya yang tersisa. 

Aku berpikir ketetapan Tuhan mungkin seperti regulasi harga di pertokoan dan mall yang semuanya serba fixed dan rigid. Namun bisa jadi ketetapanNya tidaklah sekaku itu. Menurutku, Tuhan senantiasa tetap menawarkan ruang untuk berdiskusi, bernegoisasi. 

Pernahkah kita merasa terjebak dalam situasi buntu, memilih berdoa bernegoisasi  denganNya dan akhirnya kita merasa mempu menemukan solusi atas keterjebakan tersebut? Jika iya, sangat mungkin itu adalah sebagaimana yang aku maksud dengan open for negotiation.

Tuhan sendiri, dalam beberapa kitab suci, secara eksplisit menyatakan dirinya, "Berdoalah maka akan aku kabulkan," atau --dalam salah satu ayat Alkitab yang aku ingat, ayat favorit- ”Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan 

Maka, secara tidak langsung, (ketetapan) Tuhan itu, menurutku, terasa lentur. Elastis. 

Elastisitas inilah yang membuat Tuhan bersikap asyik, menyesuaikan dengan kondisi dan proses kedewasaan siapa saja yang berpikir atas diriNya. 

Aku pernah ditanya seseorang menyangkut operasi ganti kelamin yang dilakukan beberapa kawan transgender. Bukankah ini mengubah sesuatu yang telah diberikan, dan melawan kodrat, tuhan yang, itu sebabnya, pasti dibenci olehNya? Aku tidak menyalahkan cara pandang seperti itu.

Hanya saja, bukankah "mengubah pemberian tuhan," dalam arti longgar merupakan hal yang jamak dilakukan kita semua? Tiap bulan kita ke tukang cukur rambut, memotong kuku, memakai skincare, mengubah gigi, maupun hal lainnya. Padahal aktifitas tersebut merupakan hal yang bisa dikategorikan mengubah pemberian tuhan.

Aku justru tertarik dengan penanda dari Tuhan bagi kita untuk mengabarkan kapan kita perlu "mengubah" pemberianNya, yakni ketika Dia, dalam al-Quran, mengatakan, "la yukallifu alloha nafsan illa wus'aha" (Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).

Ayat ini, berlaku elastis. Tiap orang memiliki kesanggupannya masing-masing. Ada banyak orang sanggup berambut panjang. Namun, tidak sedikit yang risih memiliki rambut agak panjang, yang oleh karenanya memutuskan untuk memangkasnya.

Secara personal, untuk hal tersebut,  aku merasa lebih nyaman menggunakan frasa "merawat pemberian Gusti," ketimbang "mengubah pemberian Gusti," Frasa ini menurutku lebih netral dan apresiatif. 

Dalam konteks pergantian kelamin, menurutku, Tuhan telah memberi yang terbaik kepada hampir semua orang dengan organ reproduksi masing-masing; penis dan vagina. Sebagian besar sangat nyaman dan bangga atas pemberian tersebut. Itu sebabnya, mereka tidak hendak melakukan transformasi organ reproduksi. 

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan ada orang yang dalam kondisi tertentu merasa tidak nyaman dengan pemberian itu dan berniat melakukan "perawatan ekstra" sebagai tanda rasa syukurnya kepada Tuhan. Untuk hal ini, apakah ada hal yang salah? Kita mungkin bisa berbeda pendapat atas hal ini. 

Namun, terhadap Tuhan yang membuka kemungkinan adanya ruang negoisasi, sebagaimana penjual sawo di pasar, kita sangat mungkin memiliki kesamaan titik pijak. Rugi jika tidak.

"Dimakan sawone, mas, ojo ngetik terus," sindir Amiroh. (*)

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...