Aku perhatikan sekilas anak ini, Tionghoa berpenampilan maskulin dengan sisa-sisa feminitasnya yang masih terasa.
Aku kembali mengingat apakah saat acara GUSDURian di Asrama Haji Sukolilo beberapa bulan lalu pernah bertemu dengannya. Sayangnya memoriku terlalu usang.
"Ketemu dengan Amar Alfikar juga?" aku memberanikan diri menebaknya. Kinzie mengiyakan.
Tebakan ini sebenarnya ingin mengkonfirmasi dugaanku terkait dirinya dan dari "faksi," GUSDURian apa ia berelasi.
Penggerak GDian yang bernaung dalam Jaringan GUSDURian itu seperti, katakanlah, polisi. Punya "detasemen," masing-masing, selain tentu saja, terbagi secara geografis. Ada sabhara, Intel, reserse, brimob, dll.
Penggerak GDian juga demikian. Mereka memiliki fokus kerja masing-masing. Aku menyebutnya "faksi," atau "detasemen,"
Nah dalam pemetaanku secara personal, kerja-kerja para penggerak GDian terbagi menjadi berbagai isu, sesuai passion dan concern masing-masing. Ada yang bergerak di isu interfaith, ekologi, filantropi, community development, pendidikan, disabilitas, dan lain-lain, tak terkecuali detasemen LGBT.
Amar Alfikar, di kalangan para penggerak GDian, sudah tersohor ada di detasemen ini. Aku barangkali juga akan dinisbatkan ke dalamnya.
Aku masih ingat, saat bertemu gus Amar di acara Sukolilo, ia mengatakan ada penggerak GDian yang seperti dirinya, transman, dari Medan. Waktu itu aku belum sempat mengeksplorasi lebih jauh terkait dirinya.
Di kalangan penggerak GDian, aku memang sedang getol mengkampanyekan ruang aman bagi mereka di Jaringan GDian. Artinya, jaringan ini tidak hanya memperjuangkan isu lintas agama, lintas etnis, ekologi, filantropi, namun juga kesetaraan gender dan seksualitas.
Berdasarkan radar yang aku miliki, ada puluhan penggerak GDian yang menaruh minat dalam isu ini. Baik mereka yang berstatus allies maupun yang berasal dari komunitas LGBTIQ sendiri.
Kinzie datang ke acara di Catholic Center bersama genk GDian Medan lainnya. Beberapa penggeraknya adalah Bhante Dirapunno, Maulana Idris dari Jemaat Ahmadiyyah, dan Purjatian Anhar.
"Aku transman, gus. Dengan satu anak, cewek," ujarnya saat kami ngopi bersama.
Transman adalah istilah dalam rumpun identitas gender, menurut Webster, merujukan pada seorang (yang merasa) lelaki yang dulunya terlahir memiliki organ reproduksi perempuan.
Kinzie bercerita banyak terkait dirinya; bagaimana mengarungi jalan terjal hingga akhirnya mampu menerima kondisinya (coming in) maupun mengekspresikan penerimaan itu ke publik (coming out).
"Esther tahu pergumulanmu, Kinzie?" tanyaku. Esther adalah nama putrinya.
"Tahu dong. Aku kasih tahu dia. Termasuk agar ia memanggillku 'papa,' ketimbang 'mama,"" ujarnya sembari tersenyum.
Kinzie nampak begitu konfiden dan bersemangat menceritakan sejarahnya. Ia mengaku sedang berupaya menulis kisah hidupnya. Aku sangat senang dengan inisiatifnya tersebut.
Aku awalnya mengira ia seorang pengikut Kristus atau folower Siddharta Gautama. Ternyata dugaanku meleset.
"Aku muallaf, gus, aku bisa seperti ini karena merasa dibimbing Kristus," ujarnya. "Menarik ini," batinku.
Dalam pandangan Kinzie, kekristenan adalah akar hidupnya. Tidak bisa dilepas begitu saja, dan tidak akan ia ingkari keberadaannya.
Menurutku ini agak unik manakala kita menjumpai proses konversi agama senantiasa diletakkan dalam kategori binerik-pejorative; melupakan dan mengingkari jasa agama lama --bahkan mengoloknya jika perlu, agar dapat bercinta dengan yang baru.
"Aku selalu ngomong ke publik bahwa Kristen merupakan akar hidupku. Islam adalah my next chapter of life," tambahnya, dengan ekspresi yang menurutku serius.
Dibandingkan dengan model spiritualitas Daniel Mananta yang viral barusan, rasanya Kinzie menawarkan genre yang relatif lebih "dewasa," --menurutku.
"Tau nggak, nyo?" tanyaku
"Opo, gus?"
"Di dunia pesantren, model beragamamu selaras dengan doktrin al-muhafadzotu 'ala al-qadimi al-salih wa al-akhdu di al-jadidi al-aslah,"
"Opo maneh iku, gus?" tanyanya meringis.
"Arti bebasnya, menjaga nilai-nilai lama yang baik serta, dalam waktu bersamaan, juga mengambil nilai-nilai baru yang dianggap lebih baik," jawabku
Kinzie, kepadaku, bertekad akan terus mengkampanyekan pentingnya toleransi dan penciptaan ruang aman bagi orang-orang seperti dirinya. Ia merasa GUSDURian mampu memberinya semacam kekuatan untuk melakukan hal itu.
Kekuatan spiritualitas seperti ini barangkali yang mendorongnya aktif mengelola akun IG @muaraidn --akun yang bergerak mengedukasi publik seputar SOGIESC -- sexual orientation gender identity and expression and sexual characteristic.
Aku bersyukur ia nyaman di GDian dan terus bekerja untuk kemanusiaan melalui detasemen yang ia pilih. Aku melihat teman-temannya di GDian Medan juga menopang kerja-kerja Kinzie. Sebaliknya, Kinzie juga ikut serta mendukung kerja-kerja para penggerak lain.
"Gimana dengan orang tuamu, Kinzie?" tanyaku.
"Aku hidup bersama mamaku. She is fine with me, with life I choose. Mungkin pada saat itu pasanganku beretnis Tionghoa. Tidak tahu juga kalau misalnya aku jalan bukan sama tenglang," ujarnya tertawa.(*)