Pages

Saturday, December 10, 2022

MEMORI GEREJAWI DI TEPIAN BATANGHARI


Aku dengar nama sungai Batanghari sejak lama, saat lagi booming drama radio Saur Sepuh. Siapa yang tak kenal Brahma Kumbara dan Mantili. Kami rela bergerombol mengelilingi radio. 

Di sela-sela mengisi diskusi publik Hari HAM di salah satu ruang komplek Gubernuran Jambi, Rabu (7/12), aku mengunjungi rumah ibadah Huria Kristen Indonesia (HKI) Alam Barajo, pinggiran kota.

Suasana Natal sudah begitu terasa. Terdapat beberapa terop besar di samping gereja. Ada pernak-pernik natal sederhana. 

Sudah empat tahun ini mereka tidak bisa menempati gereja mereka karena disegel walikota Jambi. Gereja mereka tidak jauh dari terop tersebut. 


Jaraknya mungkin setengah meter saja. Di terop itu, mereka biasanya melakukan ibadah minggu.

"Sudah empat tahun ini kami beribadah di samping gereja. Kami tidak mengerti kenapa bisa seperti ini?" kata salah satu warga jemaat. 

Menurutnya, tidak ada keberatan dari warga sekitar. Semuanya hidup rukun. Diduga kuat penyegelan tersebut beraroma politik. Saat itu pesta demokrasi pemilihan walikota memang sedang menghangat. 

Aku ke sana bersama Defripal Rahman, kordinator GUSDURian Jambi. Ia masih muda, sedang menuntaskan skripsinya di prodi Ilmu Politik Universitas Jambi. 

Anak muda ini memang sengaja aku sertakan untuk memperkuat relasi GUSDURian dan kelompok gereja yang ada di Kota Jambi. Khususnya, setelah aku meninggalkan kota ini. Strategi encountering-broker seperti ini selalu aku lakukan di wilayah yang kebetulan aku kunjungi.


"Kalau yang di atas itu gereja apa, mas?" tanyaku ke pendeta Advent Nadapdap, penanggung jawab HKI Alam Barajo.
"Itu GSJA, mas. Ikut disegel juga bersama kami. Yang sebelah itu, GMI. Sama dengan kami saat itu. Disegel," ujarnya.  

Kami pun bergerak menuju GSJA. Kebetulan saat itu ada pria paruh baya bersama perempuan. Rupanya itu pendetanya bersama istri. 

Dari logat bicaranya, sang pria tersebut, aku meyakini bukan Batak. Melayu Jambi pun tidak. Terasa aroma ngapak.

"Bukan asli sini kan, pak pendeta?" tebakku.
"Saya Jonathan, marga Purba. Purbalingga," sambutnya tertawa. Pantesan jejak ngapaknya sangat terasa. Istrinya orang Boyolali. 

Kami pun ngobrol dengan bahasa campuran; Jawa, Ngapak, dan Indonesia. Aku tidak berani ngomong Batak. Tak secuil pun aku mampu.

"Tanah seluas ini, yang dibuat gereja, dibantu oleh orang Islam. Dulu gereja kami ada di sana, yang sekarang jadi kandang," ujarnya bercerita,


Saat ia dan jemaatnya ditawari tanah oleh ibu Siti Juwariyah. Namun ia tak punya uang. Ia diminta membayar separuh saja. Yang separuhnya lagi dihibahkan.

"Tetap saja kami tidak punya uang. Namun Bu Juwariyah mempersilahkan kami mencicil. Ya, kami cicil semampu kami. Gereja ini berhutang kebaikan pada beliau," ujar  

Sama seperti HKI, GSJA juga sedang mempersiapkan acara natal, di halaman samping gereja yang disegel hingga saat ini. 

Yang agak mengagetkanku, tidak melihat ada simbol-simbol penyegelan di dua tempat tersebut. Tidak kertas, palang pintu, maupun semacam "police line,"  

Kabarnya tiga gereja tersebut ditutup tanpa ada selembar surat apapun. Pokoknya disegel. Titik.

Dari kronologi yang diberikan Pdt. Advent padaku https://tinyurl.com/2kj234mw pihak pemkot memerintahkan GSJA dan HKI pindah tempat jika mereka tidak mau bergabung tempat ibadahnya di GMI. 

Perintah ini sekedar perintah tanpa disertai upaya fasilitasi. Dua gereja ini tak pelak harus bersusah payah membeli lahan dan mulai pengurusan dari nol. 

Aku melihat kekecewaan mendalam di setiap wajah jemaat dan pendeta HKI dan GSJA. Kekecewaan ini ditutupi dengan ketabahan spiritualitas dan kepasrahan. 

Tenaga perlawanan yang seharusnya mereka tunjukkan sebagai respon ketidakadilan terlihat benar-benar padam. 

Entah mengapa, aku selalu berpikir Alkitab selalu berhasil membuat para pengikut Yesus menjadi pribadi yang senantiasa mengedepankan ketaatan, nriman, pengampunan dan tetap bersuka cita meski dalam penindasan. 

Aku jadi teringat film The Book of Eli, bercerita tentang upaya mati-matian Denzel Washington mempertahankan Alkitab supaya tidak jatuh ke tangan, Carnegie, pemimpin tiran yang meyakini Alkitab merupakan obat bius ampuh agar rakyat bisa dikendalikan, tidak melawan, meskipun dijajah. 

Mungkin strategi ini juga digunakan Belanda, salah satunya, untuk melanggengkan penjajahan. Elit Belanda saat itu, kabarnya, meyakini lebih mudah "bekerja sama," dengan penduduk Hindia Belanda pengikut Yesus ketimbang Muslim. 

Mungkin itu pula sebabnya, dalam kurun waktu 1920-1940, pribumi Protestan/Katolik menerima gelontoran subsidi keagamaan fantastis ketimbang mereka yang Islam. Perbandingannya sangat jomplang; kisaran 1.000.000 vs. 5.500 gulden. M. Natsir pernah mencatat hal ini dalam kumpulan tulisannya, "Islam dan Kristen di Indonesia,"

Dalam perspektif strategi adu-domba, kebijakan ini tak pelak menempatkan pribumi Islam meradang dalam kurun waktu lama dan kebencian terhadap Belanda dipercikkan kepada saudara mereka yang pribumi Kristen/Katolik.

Jejak-jejak memori kepahitan seperti ini sangat mungkin menelusup dan diwariskan hingga saat ini, membuat sebagian besar orang Islam masih belum bisa menerima kelompok Kristen/Katolik sepenuhnya tanpa prasangka. Tak terkecuali Walikota Jambi terhadap tiga gereja di Smpang Rimbo.

"Kamu dan kawan-kawan GUSDURian dari Islam perlu sesering mungkin tahu penderitaan mereka," ujarku pada Def. Penderitaan akan menaikkan kadar empati serta mencegah seseorang bertindak zalim kepada orang lain.

Selain Def, datang juga beberapa kawan muslim lain dari GDian, diantaranya Imam Nasution dan satu lagi anak KAMMI. Yang mengagetkan, ternyata kawan lamaku, Hafidzen --seorang aktifis, juga tinggal di Jambi, dekat dengan lokasi kami nongkrong di Simpang Rimbo.

"Kita nongkrong dan ngopi-ngopi di sini ya, Zen" balasku melalui WA.

Malam itu aku senang sekali. Jagongan di HKI Alam Barajo menjadi pertemuan para aktifis Islam jambi dan jemaat gereja tersebut. Diskusi kami menjadi lebih gayeng manakala Cak Wawa, anggota komisioner Komnas HAM, ikut bergabung. 

"Belum ada surat pengaduan terkait penyegelan tiga gereja ini masuk ke Komnas HAM," ujar Cak Wawa.

Aku tentu saja agak kaget. Semestinya setiap tindakan yang melanggar hak asasi manusia dilaporkan ke Komnas HAM, supaya terdata dan bisa ditindaklanjuti oleh lembaga tersebut. 

Aku kemudian meminta Pdt. Advent menyempatkan membuat surat pengaduan dalam 1-2 minggu ini. Dalam benakku, penanggung jawab sebuah kota/kabupaten akan dipaksa memberi atensi manakala wilayahnya dikunjungi secara resmi oleh Komnas HAM. 

Diskusi kami terhenti. Makan malam sudah datang. Ditata di karpet. Kami semuanya bersiap untuk makan. Namun sebelum itu, aku meminta Ephorus HKI Pdt. Firman Sibarani memimpin doa makan. 

Suasana makin meriah karena secara tak terduga jemaat HKI juga mengeluarkan kue tart dengan lilin di atasnya. Rupanya Pdt. Advent ulang tahun. Entah yang keberapa.

Paginya, saat mengantarku ke bandara, aku sempat menitipkan pesan khusus kepada Pdt. Adven dan Mas Nainggolan, sintua. Pesan ini adalah materi yang sempat aku diskusikan dengan beberapa jemaat HKI saat makan malam. 

"Meski gereja disegel, tolong jangan perlakukan gedung tersebut seperti organisme yang mati karena tidak terawat," ujarku. 

Bangunan gereja yang disegel harus tetap diperlakukan sebagaimana organisme yang hidup. Ia harus dibersihkan tiap hari. Jendela dan pintunya dibuka agar sirkulasi udara tetap terjaga. 

"Wah nanti malah didatangi aparat pemkot, mas" kata Pdt. Advent sembari tertawa nyengir.
"Ya ndak papa didatangi. Kan, jemaat tidak beribadah, hanya membersihkan dan menata, apa salahnya?" ujarku. Dia manggut-manggut.

Yang tidak aku sangka adalah kejadian saat akan check-out dari hotel. Saat itu lobby terasa begitu ramai. Mirip ketika ada pejabat atau artis datang.

"Pak..pak.. Bolehkah kita berfoto dulu?" teriak pegawai hotel di depanku kepada pria tegap berjenggot tipis, berpeci, dikelilingi beberapa satpol PP. 

Mereka bergerombol menata pose.

"Siapa dia, mas?" tanyaku kepo, berbisik kepada Pdt. Advent.
"Walikota Jambi, mas" ujarnya sambil tersenyum.
"Ooooo..."(*)