Pages

Saturday, December 10, 2022

MEMORI GEREJAWI DI TEPIAN BATANGHARI


Aku dengar nama sungai Batanghari sejak lama, saat lagi booming drama radio Saur Sepuh. Siapa yang tak kenal Brahma Kumbara dan Mantili. Kami rela bergerombol mengelilingi radio. 

Di sela-sela mengisi diskusi publik Hari HAM di salah satu ruang komplek Gubernuran Jambi, Rabu (7/12), aku mengunjungi rumah ibadah Huria Kristen Indonesia (HKI) Alam Barajo, pinggiran kota.

Suasana Natal sudah begitu terasa. Terdapat beberapa terop besar di samping gereja. Ada pernak-pernik natal sederhana. 

Sudah empat tahun ini mereka tidak bisa menempati gereja mereka karena disegel walikota Jambi. Gereja mereka tidak jauh dari terop tersebut. 


Jaraknya mungkin setengah meter saja. Di terop itu, mereka biasanya melakukan ibadah minggu.

"Sudah empat tahun ini kami beribadah di samping gereja. Kami tidak mengerti kenapa bisa seperti ini?" kata salah satu warga jemaat. 

Menurutnya, tidak ada keberatan dari warga sekitar. Semuanya hidup rukun. Diduga kuat penyegelan tersebut beraroma politik. Saat itu pesta demokrasi pemilihan walikota memang sedang menghangat. 

Aku ke sana bersama Defripal Rahman, kordinator GUSDURian Jambi. Ia masih muda, sedang menuntaskan skripsinya di prodi Ilmu Politik Universitas Jambi. 

Anak muda ini memang sengaja aku sertakan untuk memperkuat relasi GUSDURian dan kelompok gereja yang ada di Kota Jambi. Khususnya, setelah aku meninggalkan kota ini. Strategi encountering-broker seperti ini selalu aku lakukan di wilayah yang kebetulan aku kunjungi.


"Kalau yang di atas itu gereja apa, mas?" tanyaku ke pendeta Advent Nadapdap, penanggung jawab HKI Alam Barajo.
"Itu GSJA, mas. Ikut disegel juga bersama kami. Yang sebelah itu, GMI. Sama dengan kami saat itu. Disegel," ujarnya.  

Kami pun bergerak menuju GSJA. Kebetulan saat itu ada pria paruh baya bersama perempuan. Rupanya itu pendetanya bersama istri. 

Dari logat bicaranya, sang pria tersebut, aku meyakini bukan Batak. Melayu Jambi pun tidak. Terasa aroma ngapak.

"Bukan asli sini kan, pak pendeta?" tebakku.
"Saya Jonathan, marga Purba. Purbalingga," sambutnya tertawa. Pantesan jejak ngapaknya sangat terasa. Istrinya orang Boyolali. 

Kami pun ngobrol dengan bahasa campuran; Jawa, Ngapak, dan Indonesia. Aku tidak berani ngomong Batak. Tak secuil pun aku mampu.

"Tanah seluas ini, yang dibuat gereja, dibantu oleh orang Islam. Dulu gereja kami ada di sana, yang sekarang jadi kandang," ujarnya bercerita,


Saat ia dan jemaatnya ditawari tanah oleh ibu Siti Juwariyah. Namun ia tak punya uang. Ia diminta membayar separuh saja. Yang separuhnya lagi dihibahkan.

"Tetap saja kami tidak punya uang. Namun Bu Juwariyah mempersilahkan kami mencicil. Ya, kami cicil semampu kami. Gereja ini berhutang kebaikan pada beliau," ujar  

Sama seperti HKI, GSJA juga sedang mempersiapkan acara natal, di halaman samping gereja yang disegel hingga saat ini. 

Yang agak mengagetkanku, tidak melihat ada simbol-simbol penyegelan di dua tempat tersebut. Tidak kertas, palang pintu, maupun semacam "police line,"  

Kabarnya tiga gereja tersebut ditutup tanpa ada selembar surat apapun. Pokoknya disegel. Titik.

Dari kronologi yang diberikan Pdt. Advent padaku https://tinyurl.com/2kj234mw pihak pemkot memerintahkan GSJA dan HKI pindah tempat jika mereka tidak mau bergabung tempat ibadahnya di GMI. 

Perintah ini sekedar perintah tanpa disertai upaya fasilitasi. Dua gereja ini tak pelak harus bersusah payah membeli lahan dan mulai pengurusan dari nol. 

Aku melihat kekecewaan mendalam di setiap wajah jemaat dan pendeta HKI dan GSJA. Kekecewaan ini ditutupi dengan ketabahan spiritualitas dan kepasrahan. 

Tenaga perlawanan yang seharusnya mereka tunjukkan sebagai respon ketidakadilan terlihat benar-benar padam. 

Entah mengapa, aku selalu berpikir Alkitab selalu berhasil membuat para pengikut Yesus menjadi pribadi yang senantiasa mengedepankan ketaatan, nriman, pengampunan dan tetap bersuka cita meski dalam penindasan. 

Aku jadi teringat film The Book of Eli, bercerita tentang upaya mati-matian Denzel Washington mempertahankan Alkitab supaya tidak jatuh ke tangan, Carnegie, pemimpin tiran yang meyakini Alkitab merupakan obat bius ampuh agar rakyat bisa dikendalikan, tidak melawan, meskipun dijajah. 

Mungkin strategi ini juga digunakan Belanda, salah satunya, untuk melanggengkan penjajahan. Elit Belanda saat itu, kabarnya, meyakini lebih mudah "bekerja sama," dengan penduduk Hindia Belanda pengikut Yesus ketimbang Muslim. 

Mungkin itu pula sebabnya, dalam kurun waktu 1920-1940, pribumi Protestan/Katolik menerima gelontoran subsidi keagamaan fantastis ketimbang mereka yang Islam. Perbandingannya sangat jomplang; kisaran 1.000.000 vs. 5.500 gulden. M. Natsir pernah mencatat hal ini dalam kumpulan tulisannya, "Islam dan Kristen di Indonesia,"

Dalam perspektif strategi adu-domba, kebijakan ini tak pelak menempatkan pribumi Islam meradang dalam kurun waktu lama dan kebencian terhadap Belanda dipercikkan kepada saudara mereka yang pribumi Kristen/Katolik.

Jejak-jejak memori kepahitan seperti ini sangat mungkin menelusup dan diwariskan hingga saat ini, membuat sebagian besar orang Islam masih belum bisa menerima kelompok Kristen/Katolik sepenuhnya tanpa prasangka. Tak terkecuali Walikota Jambi terhadap tiga gereja di Smpang Rimbo.

"Kamu dan kawan-kawan GUSDURian dari Islam perlu sesering mungkin tahu penderitaan mereka," ujarku pada Def. Penderitaan akan menaikkan kadar empati serta mencegah seseorang bertindak zalim kepada orang lain.

Selain Def, datang juga beberapa kawan muslim lain dari GDian, diantaranya Imam Nasution dan satu lagi anak KAMMI. Yang mengagetkan, ternyata kawan lamaku, Hafidzen --seorang aktifis, juga tinggal di Jambi, dekat dengan lokasi kami nongkrong di Simpang Rimbo.

"Kita nongkrong dan ngopi-ngopi di sini ya, Zen" balasku melalui WA.

Malam itu aku senang sekali. Jagongan di HKI Alam Barajo menjadi pertemuan para aktifis Islam jambi dan jemaat gereja tersebut. Diskusi kami menjadi lebih gayeng manakala Cak Wawa, anggota komisioner Komnas HAM, ikut bergabung. 

"Belum ada surat pengaduan terkait penyegelan tiga gereja ini masuk ke Komnas HAM," ujar Cak Wawa.

Aku tentu saja agak kaget. Semestinya setiap tindakan yang melanggar hak asasi manusia dilaporkan ke Komnas HAM, supaya terdata dan bisa ditindaklanjuti oleh lembaga tersebut. 

Aku kemudian meminta Pdt. Advent menyempatkan membuat surat pengaduan dalam 1-2 minggu ini. Dalam benakku, penanggung jawab sebuah kota/kabupaten akan dipaksa memberi atensi manakala wilayahnya dikunjungi secara resmi oleh Komnas HAM. 

Diskusi kami terhenti. Makan malam sudah datang. Ditata di karpet. Kami semuanya bersiap untuk makan. Namun sebelum itu, aku meminta Ephorus HKI Pdt. Firman Sibarani memimpin doa makan. 

Suasana makin meriah karena secara tak terduga jemaat HKI juga mengeluarkan kue tart dengan lilin di atasnya. Rupanya Pdt. Advent ulang tahun. Entah yang keberapa.

Paginya, saat mengantarku ke bandara, aku sempat menitipkan pesan khusus kepada Pdt. Adven dan Mas Nainggolan, sintua. Pesan ini adalah materi yang sempat aku diskusikan dengan beberapa jemaat HKI saat makan malam. 

"Meski gereja disegel, tolong jangan perlakukan gedung tersebut seperti organisme yang mati karena tidak terawat," ujarku. 

Bangunan gereja yang disegel harus tetap diperlakukan sebagaimana organisme yang hidup. Ia harus dibersihkan tiap hari. Jendela dan pintunya dibuka agar sirkulasi udara tetap terjaga. 

"Wah nanti malah didatangi aparat pemkot, mas" kata Pdt. Advent sembari tertawa nyengir.
"Ya ndak papa didatangi. Kan, jemaat tidak beribadah, hanya membersihkan dan menata, apa salahnya?" ujarku. Dia manggut-manggut.

Yang tidak aku sangka adalah kejadian saat akan check-out dari hotel. Saat itu lobby terasa begitu ramai. Mirip ketika ada pejabat atau artis datang.

"Pak..pak.. Bolehkah kita berfoto dulu?" teriak pegawai hotel di depanku kepada pria tegap berjenggot tipis, berpeci, dikelilingi beberapa satpol PP. 

Mereka bergerombol menata pose.

"Siapa dia, mas?" tanyaku kepo, berbisik kepada Pdt. Advent.
"Walikota Jambi, mas" ujarnya sambil tersenyum.
"Ooooo..."(*)

Sunday, November 20, 2022

THE MIGHTY KINZIE


"Aku Kinzie, gus, kita pernah bertemu di pertemuan nasional penggerak GUSDURian di Surabaya kemarin," katanya memperkenalkan diri saat kami bertemu di Catolic Center Kota Medan, Rabu, 16 November.

Aku perhatikan sekilas anak ini, Tionghoa berpenampilan maskulin dengan sisa-sisa feminitasnya yang masih terasa. 

Aku kembali mengingat apakah saat acara GUSDURian di Asrama Haji Sukolilo beberapa bulan lalu pernah bertemu dengannya. Sayangnya memoriku terlalu usang.

"Ketemu dengan Amar Alfikar juga?" aku memberanikan diri menebaknya. Kinzie mengiyakan. 

Tebakan ini sebenarnya ingin mengkonfirmasi dugaanku terkait dirinya dan dari "faksi," GUSDURian apa ia berelasi. 

Penggerak GDian yang bernaung dalam Jaringan GUSDURian itu seperti, katakanlah, polisi. Punya "detasemen," masing-masing, selain tentu saja, terbagi secara geografis. Ada sabhara, Intel, reserse, brimob, dll. 

Penggerak GDian juga demikian. Mereka memiliki fokus kerja masing-masing. Aku menyebutnya "faksi," atau "detasemen,"

Nah dalam pemetaanku secara personal, kerja-kerja para penggerak GDian terbagi menjadi berbagai isu, sesuai passion dan concern masing-masing. Ada yang bergerak di isu interfaith, ekologi, filantropi, community development, pendidikan, disabilitas, dan lain-lain, tak terkecuali detasemen LGBT.

Amar Alfikar, di kalangan para penggerak GDian, sudah tersohor ada di detasemen ini. Aku barangkali juga akan dinisbatkan ke dalamnya. 

Aku masih ingat, saat bertemu gus Amar di acara Sukolilo, ia mengatakan ada penggerak GDian yang seperti dirinya, transman, dari Medan. Waktu itu aku belum sempat mengeksplorasi lebih jauh terkait dirinya. 

Di kalangan penggerak GDian, aku memang sedang getol mengkampanyekan ruang aman bagi mereka di Jaringan GDian. Artinya, jaringan ini tidak hanya memperjuangkan isu lintas agama, lintas etnis, ekologi, filantropi, namun juga kesetaraan gender dan seksualitas. 

Berdasarkan radar yang aku miliki, ada puluhan penggerak GDian yang menaruh minat dalam isu ini. Baik mereka yang berstatus allies maupun yang berasal dari komunitas LGBTIQ sendiri. 

Kinzie datang ke acara di Catholic Center bersama genk GDian Medan lainnya. Beberapa penggeraknya adalah Bhante Dirapunno, Maulana Idris dari Jemaat Ahmadiyyah, dan Purjatian Anhar. 

"Aku transman, gus. Dengan satu anak, cewek," ujarnya saat kami ngopi bersama. 

Transman adalah istilah dalam rumpun identitas gender, menurut Webster, merujukan pada seorang (yang merasa) lelaki yang dulunya terlahir memiliki organ reproduksi perempuan.

Kinzie bercerita banyak terkait dirinya; bagaimana mengarungi jalan terjal hingga akhirnya mampu menerima kondisinya (coming in) maupun mengekspresikan penerimaan itu ke publik (coming out).

"Esther tahu pergumulanmu, Kinzie?" tanyaku. Esther adalah nama putrinya.
"Tahu dong. Aku kasih tahu dia. Termasuk agar ia memanggillku 'papa,' ketimbang 'mama,"" ujarnya sembari tersenyum.

Kinzie nampak begitu konfiden dan bersemangat menceritakan sejarahnya. Ia mengaku sedang berupaya menulis kisah hidupnya. Aku sangat senang dengan inisiatifnya tersebut.

Aku awalnya mengira ia seorang pengikut Kristus atau folower Siddharta Gautama. Ternyata dugaanku meleset. 

"Aku muallaf, gus, aku bisa seperti ini karena merasa dibimbing Kristus," ujarnya. "Menarik ini," batinku.

Dalam pandangan Kinzie, kekristenan adalah akar hidupnya. Tidak bisa dilepas begitu saja, dan tidak akan ia ingkari keberadaannya. 

Menurutku ini agak unik manakala kita menjumpai proses konversi agama senantiasa diletakkan dalam kategori binerik-pejorative; melupakan dan mengingkari jasa agama lama --bahkan mengoloknya jika perlu, agar dapat bercinta dengan yang baru.  

"Aku selalu ngomong ke publik bahwa Kristen merupakan akar hidupku. Islam adalah my next chapter of life," tambahnya, dengan ekspresi yang menurutku serius. 

Dibandingkan dengan model spiritualitas Daniel Mananta yang viral barusan, rasanya Kinzie menawarkan genre yang relatif lebih "dewasa," --menurutku. 

"Tau nggak, nyo?" tanyaku
"Opo, gus?"
"Di dunia pesantren, model beragamamu selaras dengan doktrin al-muhafadzotu 'ala al-qadimi al-salih wa al-akhdu di al-jadidi al-aslah,"
"Opo maneh iku, gus?" tanyanya meringis. 
"Arti bebasnya, menjaga nilai-nilai lama yang baik serta, dalam waktu bersamaan, juga mengambil nilai-nilai baru yang dianggap lebih baik," jawabku

Kinzie, kepadaku, bertekad akan terus mengkampanyekan pentingnya toleransi dan penciptaan ruang aman bagi orang-orang seperti dirinya. Ia merasa GUSDURian mampu memberinya semacam kekuatan untuk melakukan hal itu.

Kekuatan spiritualitas seperti ini barangkali yang mendorongnya aktif mengelola akun IG @muaraidn --akun yang bergerak mengedukasi publik seputar SOGIESC -- sexual orientation gender identity and expression and sexual characteristic.

Aku bersyukur ia nyaman di GDian dan terus bekerja untuk kemanusiaan melalui detasemen yang ia pilih. Aku melihat teman-temannya di GDian Medan juga menopang kerja-kerja Kinzie. Sebaliknya, Kinzie juga ikut serta mendukung kerja-kerja para penggerak lain.

"Gimana dengan orang tuamu, Kinzie?" tanyaku.
"Aku hidup bersama mamaku. She is fine with me, with life I choose. Mungkin pada saat itu pasanganku beretnis Tionghoa. Tidak tahu juga kalau misalnya aku jalan bukan sama tenglang," ujarnya tertawa.(*)

Saturday, October 22, 2022

BERNEGOISASI DENGAN TUHAN DI PASAR


Aku merasa cara pandang manusia terhadap tuhan dapat dianalogikan dengan bagaimana kita bernegoisasi dengan tuhan.

Pagi ini (22/10) aku ke pasar dengan Amiroh. Ia awalnya malas. Lebih suka mager di rumah. Aku agak memaksanya agar ia lebih banyak bergerak. Sejak seminggu ini ia mengeluh badannya sakit semua. Kurang gerak --pikirku.

Kami menyusuri ruang-ruas pasar, baik di lingkar dalam maupun luar. Becek dan berbau khas. Bau yang aku suka. 

Kami mengunjungi sekitar 10 lapak untuk memenuhi kebutuhan kami, dengan berjalan kaki. Diam-diam aku perhatikan bagaimana Amiroh berinteraksi dengan para penjual. 

"Murah-murah, mas," matanya berbinar-binar sembari memilih apa yang ia maui. Tanpa merasa perlu bernegoisasi. Baginya, sangat mungkin, para penjual terlihat begitu pemurah dengan harga yang telah ditetapkan.

Amiroh bisa jadi bertindak seperti ini karena, dalam berbelanja, telah terbiasa menggunakan pendekatan "watch listen and obey, no negotiate,"  

Kalau kita ke supermarket atau mall, kita memakai pendekatan itu. Mereka, para provider, bertindak seolah seperti Tuhan yang kaku dan tak bisa bernegoisasi. 

Label harga adalah firmannya. Jika teks suci masih membuka adanya interpretasi, label harga tidak. Kecuali salah cetak. 

"Mau sawo?" tanyaku padanya saat kami melintas depan  penjual sawo dengan gelaran terpal sempit.

Kami pun balik kanan mennghampirinya. Aku segera berjongkok berusaha menyejajarkan dengan penjualnya yang duduk di aspal jalan. 

Mataku memberi kode "on your knees, please," pada Amiroh yang masih tetap berdiri saat berkomunikasi dengan penjual. 

Aku mendengar sang penjual menyebutkankan harga untuk satu kumpulan sawo. Isinya sekitar 8-10 biji.

Ini model transaksi klasik di mana timbangan tak lagi diperlukan. Semua didasarkan kepantasan dan, tentu saja, firman sang penjual.

"Niki tuwek wit, mas" ujarnya. Kalau bahasa Indonesia, masak pohon, tidak karbitan. Aku ho oh saja. 

"Mas, nek kabeh pinten nggih?" tanyaku seraya menunjuk dua kumpulan sawo. Aku tidak menyebutkan harga. 

Pertanyaanku ini mungkin seperti orang bodoh yang bisa dimaknai aku tidak memahami perkalian dasar. Padahal tanpa kalkulator pun aku tahu harga sebenarnya.

Namun, siapapun yang pernah ke pasar pasti paham ini adalah kode sangat sopan bernegoisasi; minta keringanan.

Sang penjual pun menyebutkan harga yang menurutku sangat pantas untuk semua sawo tersebut. Pelan-pelan ia memasukkan sawo ke kresek, satu per satu. Aku mengeluarkan uang bergambar pak Frans Kaisiepo. Satu-satunya yang tersisa. 

Aku berpikir ketetapan Tuhan mungkin seperti regulasi harga di pertokoan dan mall yang semuanya serba fixed dan rigid. Namun bisa jadi ketetapanNya tidaklah sekaku itu. Menurutku, Tuhan senantiasa tetap menawarkan ruang untuk berdiskusi, bernegoisasi. 

Pernahkah kita merasa terjebak dalam situasi buntu, memilih berdoa bernegoisasi  denganNya dan akhirnya kita merasa mempu menemukan solusi atas keterjebakan tersebut? Jika iya, sangat mungkin itu adalah sebagaimana yang aku maksud dengan open for negotiation.

Tuhan sendiri, dalam beberapa kitab suci, secara eksplisit menyatakan dirinya, "Berdoalah maka akan aku kabulkan," atau --dalam salah satu ayat Alkitab yang aku ingat, ayat favorit- ”Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan 

Maka, secara tidak langsung, (ketetapan) Tuhan itu, menurutku, terasa lentur. Elastis. 

Elastisitas inilah yang membuat Tuhan bersikap asyik, menyesuaikan dengan kondisi dan proses kedewasaan siapa saja yang berpikir atas diriNya. 

Aku pernah ditanya seseorang menyangkut operasi ganti kelamin yang dilakukan beberapa kawan transgender. Bukankah ini mengubah sesuatu yang telah diberikan, dan melawan kodrat, tuhan yang, itu sebabnya, pasti dibenci olehNya? Aku tidak menyalahkan cara pandang seperti itu.

Hanya saja, bukankah "mengubah pemberian tuhan," dalam arti longgar merupakan hal yang jamak dilakukan kita semua? Tiap bulan kita ke tukang cukur rambut, memotong kuku, memakai skincare, mengubah gigi, maupun hal lainnya. Padahal aktifitas tersebut merupakan hal yang bisa dikategorikan mengubah pemberian tuhan.

Aku justru tertarik dengan penanda dari Tuhan bagi kita untuk mengabarkan kapan kita perlu "mengubah" pemberianNya, yakni ketika Dia, dalam al-Quran, mengatakan, "la yukallifu alloha nafsan illa wus'aha" (Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).

Ayat ini, berlaku elastis. Tiap orang memiliki kesanggupannya masing-masing. Ada banyak orang sanggup berambut panjang. Namun, tidak sedikit yang risih memiliki rambut agak panjang, yang oleh karenanya memutuskan untuk memangkasnya.

Secara personal, untuk hal tersebut,  aku merasa lebih nyaman menggunakan frasa "merawat pemberian Gusti," ketimbang "mengubah pemberian Gusti," Frasa ini menurutku lebih netral dan apresiatif. 

Dalam konteks pergantian kelamin, menurutku, Tuhan telah memberi yang terbaik kepada hampir semua orang dengan organ reproduksi masing-masing; penis dan vagina. Sebagian besar sangat nyaman dan bangga atas pemberian tersebut. Itu sebabnya, mereka tidak hendak melakukan transformasi organ reproduksi. 

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan ada orang yang dalam kondisi tertentu merasa tidak nyaman dengan pemberian itu dan berniat melakukan "perawatan ekstra" sebagai tanda rasa syukurnya kepada Tuhan. Untuk hal ini, apakah ada hal yang salah? Kita mungkin bisa berbeda pendapat atas hal ini. 

Namun, terhadap Tuhan yang membuka kemungkinan adanya ruang negoisasi, sebagaimana penjual sawo di pasar, kita sangat mungkin memiliki kesamaan titik pijak. Rugi jika tidak.

"Dimakan sawone, mas, ojo ngetik terus," sindir Amiroh. (*)

Thursday, September 15, 2022

Menasehati Talita Kum

Siapalah aku ini diminta menasehati orang lain? Apalagi menasehati, what so called, para kekasih tuhan yang dikirim untuk membawa pesan profetis kesetaraan gender dan seksualitas?
--
Selama tiga hari, 1-4 September 2022, aku di Solo Jawa Tengah mengikuti musyawarah tertinggi Talita Kum. Organisasi ini berdiri sekitar 2009, fokus pada isu kesetaraan hak asasi manusia di kalangan komunitas LBTQ+ (lesbian, bisexual, transgender female to male, and queer).

Sepanjang 2018-2022, aku diminta masuk menjadi salah satu anggota badan penasehat organisasi. Seorang kawan lama, kiai feminis terkenal, kabarnya merekomendasikan namaku pada organisasi tersebut untuk menggantikan posisinya. 

Aku merasa terhormat bisa meneruskan keteladanannya di badan tersebut. Posisi ini sekaligus memberiku kesempatan belajar lebih mendalam terkait isu gender dan seksualitas di Talita Kum. 

Talita Kum punya ciri khusus; melakukan penguatan dan advokasi konstituennya yang hampir semuanya perempuan berorientasi seksual non-hetero. 

"Aku dan kawan-kawan membentuk komunitas ini di Solo tahun 2009," kata Juita Manurung, yang kerap aku panggil itok Jo. 

Dia juga anggota badan penasehat dalam periodeku. Saat berbincang bersama, aku menangkap kesan kuatnya pendirian dan cara pandangnya terkait isu gender dan seksualitas. Setiap orang, menurutnya, memiliki kemerdekaan untuk menentukan identitas dan ketubuhannya, lebih-lebih perempuan.

Sangat mungkin latar belakang teologinya ini memengaruhi itok Jo menginisiasi pengorganisasian terhadap para perempuan yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender berbeda. Kenapa harus mendampingi perempuan non-biner? Aku tidak tahu. Setiap orang memiliki panggilan sucinya masing-masing. Sifatnya sangat personal dan kadang arbitrer.

"Kita memiliki kewajiban untuk membebaskan kelompok yang ditindas," ia menambahkan. Rokoknya terus mengepul dari bibirnya. 

Sangat jelas aura kebatakan memancar dari perempuan ini. Omongannya ceplas-ceplos, terbuka, tanpa tendeng aling-aling, dan kerap diselingi humor. 

Tiga belas tahun Talita Kum berproses mengemban visi dan misinya. Sejauhmana lembaga ini mewarnai republik ini? Pasti cukup signifikan.

Selama periode 2018-2022 menjalankan program kerjanya, Talitaum mengklaim telah menjangkau sekitar 600an perempuan dari komunitas LBTQ+ di Jawa Tengah, khususnya di Pantura. Berbagai aktifitas penguatan diri, kampanye dan advokasi diberikan kepada mereka.

"Berapa estimasi perempuan non-biner di Jawa Tengah, tok," tanyaku padanya.

Ia tidak menjawab secara pasti selain kata "banyak," Ketidakpastian ini barangkali disebabkan belum adanya survei mendalam seputar populasi komunitas LBTQ+ di Indonesia.

Namun, meski ada survei yang, katakanlah, selevel Susenas sekalipun, aku tak terlalu yakin akan berjalan optimal. Salah satu faktornya, gender non-biner dan orientasi non-hetero masih dianggap tabu, kurang pantas, melawan kodrat.

Identitas gender dan orientasi seksual tadi bukanlah hal lumrah untuk disampaikan ke publik. Seseorang tidak dapat dengan mudah mengatakan, "Hai, aku lesbian," "Halo aku perempuan, suka laki dan juga perempuan," atau "Apa kabar? Aku perempuan queer," --Belum bisa seperti itu.

Sebab, aneka potensi persekusi dan diskriminasi siap menerkam siapa saja yang berani menyatakan kejujuran diri. Lihatlah kasus mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin Makassar beberapa hari lau.

Video pengusirannya viral di mana-mana. Ia diusir karena ia berkata jujur pada dua orang dosen. 

Betapa pengetahuan SOGIESC mahasiswa baru tersebut melampaui keduanya.
Banyak dosen, guru dan pendidik di Indonesia belum memahami pengetahuan tersebut, begitu juga di kalangan masyarakat, lebih-lebih dengan kultur agama yang konservatif.

"Saya senang berproses di Talita Kum, mampu mengubah diri saya. Awalnya saya sangat pendiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan terkait identitas saya. Kini saya merasa lebih mampu berekspresi," ujar salah satu partisipan.

Kebangkitan seperti ini mungkin yang diharapkan Jo saat memberi nama organisasi ini Talita Kum. Kata ini ada di Alkitab, berasal dari bahasa Aram. Artinya; wahai perempuan, bangkitlah.

Perempuan diminta bangkit; menyuarakan potensi dan identitasnya secara mandiri dan merdeka. Tidak takut-takut lagi. Bagi penggemar serial televisi The X-Files, ada salah satu episode yang mengambil judul serupa. Hanya saja tidak terkait langsung dengan orientasi seksual.

Homoerotisisme di kalangan perempuan dalam narasi Islam klasik begitu terkunci rapat dengan beragam penghakimam. Yang paling menakutkan, dosa dan penghukumannya disetarakan dengan perzinahan itu sendiri. 

Padahal, aku menduga kuat, penghakiman seperti itu lebih karena didorong oleh keserakahan nalar politik agama yang terobsesi memperbanyak pengkut dengan cara mengoptimalkan perempuan sebagai mesin reproduksi. 

Nalar seperti ini melihat fenomena perempuan-suka-perempuan sebagai penyia-nyiaan rahim yang seharusnya bisa dibuahi dan menghasilkan konstituen baru bagi bagi agama. Memang repot jika agama dimaknai ibarat bisnis multilevel marketing.

Hipotesis ini, bisa jadi merupakan motivasi kuat dibalik pengharaman tingkat tinggi terhadap relasi erotis perempuan-suka-perempuan, sebagaimana kerap kita temui dalam kitab-kitab klasik hukum Islam 

Narasi Alquran QS. 4:15-16 sendiri, menurutku, bersifat inkonklusif, tidak sepenuhnya terang benderang –baik melarang maupun membolehkan. Meskipun, tafsir klasik-konservatif di kalangan Sunni maupun Syiah tentu saja kita tahu isinya; melarang!. 

Hanya saja, tafsir al-Quran sendiri tidaklah tunggal. Orang-orang seperti Fazlur Rahman telah mengenalkan model tafsir progresif. Sa’diyya Shaikh menawarkan apa yang ia sebut sebagai “tafsir praksis,” -- di mana tafsir kitab suci perlu terus didialogkan dengan realitas kehidupan sehari-hari, tak terkecuali pengalaman hidup perempuan – baik heteroseksual maupun non-hetero.

Dalam tradisi Islam klasik, cerita tentang homoerotisisme perempuan tidaklah semelimpah homoerotisisme laki-laki. Akan tetapi, keberadaannya tidak bisa dianggap tidak ada.

Kita tentu tahu cerita agung lesbianisme antara Hind bint al-Nu'man, anak perempuan raja Lakhmid terakhir yang beragama Kristen, dengan Hind bint al-Khuss al-Iyadiyyah --sering dipanggil dengan nama al-Zarqa, dari Yamama Arab. 

"O Hind, you are truer to your word than men. / Oh, the difference between your loyalty and theirs! Begitulah kata Hind kepada Hind (al-Zarga)"

Hind begitu loyal dan mencintal al-Zarqa. Saat al-Zarqa meninggal, Hind begitu berduka.

Ia memotong rambutnya, mengenakan pakaian hitam, meninggalkan semua kesenangan duniawi dan bersumpah pada Tuhan untuk hidup sendiri sampai mati. Ia membangun tempat khusus untuk menyendiri di daerah Kufa Irak.

Percintaan mereka, kabarnya, merupakan cerita lesbian pertama dalam sejarah Arab, sebagaimana tercatat dalam kitab Jawami' al-Ladhdha (Encyclopedia of Pleasure) karya Abul Hasan Ali ibn Nasr al-Katib.

Kisah Hind dan al-Zarqa rupanya bukanlah satu-satunya. Menurut Samar Habib, mengutip al-Fihrist karya al-Nadim, dalam tulisannya berjudul "Medieval Arab lesbians and lesbian-like women," terdapat setidaknya 12 judul buku yang diambil dari nama pasangan perempuan, diduga kuat mereka memiliki jalinan asmara.

Keduabelas buku tersebut yakni the Book of Rihanna and Qoronfel; the Book of Ruqayya and Khadija; the Book of Mo'ees and Zakiyya; the Book of Sakina and al-Rabab; the Book of al-Ghatrifa and al-Dhulafa'; the Book of Hind and Bint al-Nu'man; the Book of 'Abda al-Aqila and 'Abda al-Ghaddara; the Book of Lu'lu'a and Shatira; the Book of Najda and Zu'um; the Book of Salma and Su'ad; the Book of Sawab and Surur; the Book of al-Dahma' and Ni'ma

Sahar Amer juga menambahkan, terdapat karya berbahasa Arab milik Shihab al-Din Ahmad al-Tifashi berjudul Nuzhat al-Albab fi ma la yujad fi kitab, yang berisi tidak hanya informasi seputar homoerotisisme di kalangan laki-laki namun juga perempuan. 

Mengutip penelitian Edwardes (1959), Shahab menceritakan teknik pemuasan seksual antarperempuan juga diajarkan di lingkungan hareem --sebutan para selir dan gundik elit kerajaan yang biasanya hidup bersama dalam satu komplek. 

Namun demikian, tidak berarti institusi hareem harus senantiasa diidentikkan dengan praktek lesbianisme. Hanya saja, temuan Shahab merupakan hal menarik sekaligus mengejutkan.

Temuan ini tak pelak memberi kita kesempatan berpikir ulang terkait dua hal. Pertama; bahwa seksualitas manusia memiliki spektrum luas yang terlalu sederhana untuk diringkas dalam narasi hitam-putih. Dus, yang kedua, pemahaman tersebut menantang kita semua; sejauhmana kita bersedia menghargai mereka sebagai manusia dan memperlakukan mereka secara setara.

Apalagi, terkait poin kedua, survei SMRC yang dirilis Juli 2022 menunjukkan terdapat 49,3 persen rakyat Indonesia tidak menilai komunitas LGBT sebagai manusia. 

"Jadi orang yang memiliki status sosial LGBT dianggap bukan manusia oleh sebagian masyarakat kita. Wow. Sangat mengejutkan, buat saya, bagaimana status atau makhluk manusia itu hilang simply because orientasi seksualnya berbeda,” kata guru besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini secara retoris, dikutip dari rakyatntt.com.

Aspek manusia dan kemanusiaan ini, bagiku, sangatlah penting. Ketika orang tidak lagi menganggap seseorang sebagai manusia maka, biasanya, ia akan tidak keberatan manusia tersebut mengalami diskriminasi, penindasan, maupun persekusi.

Menurutku, hal ini tidak bisa dibiarkan karena bertentangan tidak hanya dengan spirit Islam, namun juga cita-cita Pancasila. 

Nurani dan seluruh akal sehatku tidak dapat menerima kenyataan seseorang boleh ditindas hanya karena ia berusaha menjadi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain. Yakni; mengakui dan merawat identitas gender-seksualitasnya --sesuatu yang aku yakini sebagai sunatullah, pemberian dari Allah. 

Identitas terberikan dari Gusti Alloh inilah yang sejak 2009 hingga saat ini akan terus dirawat Talita Kum. Aku berharap sampai kiamat nanti. Talita Kum kini telah berhasil memilih nahkoda baru. Namanya Dan Panjul, sebagai direktur eksekutif.

Ia yang selama ini telah aku anggap sebagai adikku sendiri akan bekerja selama 4 tahun bersama rekan-rekannya. Masa depan keragaman Indonesia, juga, akan ditentukan oleh Panjul dan Talita Kum. 

"Ya, saya bersedia menjabat kembali sebagai salah satu anggota badan penasehat periode 2022-2026," ucapku menyatakan kesediaan diri dalam forum pembentukan badan penasehat. Keterlibatanku dalam organisasi ini sepenuhnya bersifat sukarela (voluntary), alias tidak mendapat gaji.

Semoga Gusti senantiasa menaungi kerja-kerja Talita Kum (*)


Daftar Bacaan

  1. Amer, Sahar. “Medieval Arab Lesbians and Lesbian-like Women.” Journal of the History of Sexuality 18, no. 2 (2009): 215–36.
  2. Apakah LGBT Dan Yahudi Dihargai Sebagai Manusia, 2022. https://www.youtube.com/watch?v=F3tIZkm2D5c.
  3. Fitriyati, Suciana. “Studi Kasus Tentang Orientasi Seksual Lesbian (Penelitian Kasus Terhadap Tiga Orang Lesbian Di Organisasi Talita Kum Surakarta),” 2016.
  4. “Hasil Survei SMRC, 49,3% Masyarakat Tidak Menilai LGBT Sebagai Manusia - Rakyat NTT,” July 28, 2022. https://rakyatntt.com/hasil-survei-smrc-493-masyarakat-tidak-menilai-lgbt-sebagai-manusia/.
  5. Kinsley, Daniel Allan, and Allen Edwardes. The Jewel in the Lotus: A Historical Survey of the Sexual Culture of the East. Julian Press, 1959.
  6. Kugle, Scott Siraj al-Haqq. “Strange Bedfellows: Qurʾan Interpretation Regarding Same-Sex Female Intercourse.” Theology & Sexuality 22, no. 1–2 (2016): 9–24.
  7. “Laporan LGBT Nasional Indonesia,” n.d., 85.
  8. Lowry, Brian, Chris Carter, and Sarah Stegall. Trust No One: The Official Third Season Guide to the X Files. Vol. 2. Harper Entertainment, 1996.
  9. Müller, Kathrin. “Hind Bt. al-Khuss.” In Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill, July 7, 2016. https://referenceworks.brillonline.com/entries/encyclopaedia-of-islam-3/*-COM_30473.
  10. Oetomo, Dédé, Khanis Suvianita, K. S. Halim, J. Liang, S. Soeparna, and L. Surahman. “Hidup Sebagai Lgbt Di Asia: Laporan Nasional Indonesia.” Diakses Dari: Https://www. Usaid. Gov/Sites/Default/Files/Documents/2496/Being_LGBT_in_Asia_Indonesia_Country_Report_Bahasa_language. Pdf, 2013.
  11. Prihatini, Zintan. “Video Viral Mahasiswa Unhas Diusir Karena Mengaku Non-Biner, Apa Perbedaan Jenis Kelamin Dan Gender?” Accessed September 11, 2022. https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/22/170200223/video-viral-mahasiswa-unhas-diusir-karena-mengaku-non-biner-apa-perbedaan.
  12. Rowson, Everett K. “Homosexuality.” In Encyclopedia of the Qurʾan --Edited by Jane McAuliffe, 2:144–144. Leiden: Brill, 2002.
  13. Shaikh, Sa’diyya. “A Tafsir of Praxis: Gender, Marital Violence, and Resistance in a South African Muslim Community.” Violence against Women in Contemporary World Religions: Roots and Cures, 2007, 66–89.
  14. Sugesti, Francisca Devia. “Dilematika Konsep Diri Transgender Priawan (Studi Fenomenologi),” 2017.
  15. biblestudytools.com. “Talitha Cumi Definition and Meaning - Bible Dictionary.” Accessed September 11, 2022. https://www.biblestudytools.com/dictionary/talitha-cumi/.

Tuesday, August 30, 2022

MELAYANI GEREJA MELAYANI INDONESIA


Persinggunganku meladeni kunjungam GPIB ke Tebuireng dan Tambakberas, Minggu (21/8), menyisakan sebuah refleksi seputar konsep melayani.

Saat banser tengah dikritik habis di kalangan internal karena rutin menjaga gereja saat Natal, mereka tetap kukuh dengan pendiriannya. Salah satu alasannya, dengan mengutip pendirian Gus Dur; bahwa yang sedang dijaga Banser adalah Indonesia.


Gus Dur seolah mengatakan pada kita semua --terlepas betapa sulitnya memahaminya, "Sebagai mayoritas, yang memiliki berbagai macam privilese --termasuk paramiliter, NU harus melindungi Indonesia, salah satu caranya adalah dengan memastikan saudaranya yang berbeda agama dapat merasakan kedamaian dan rasa tenang saat beribadah,"


Sebagai santri madzhab GUSDURian, aku terinspirasi dan berusaha melakoni hal. Sekuat tenaga --sungguhpun tidaklah mudah. Inspirasi itu pelan-pelan membentuk jati diriku; apa yang aku inginkan dalam hidup dan bagaimana cara mewujudkannya. 

Aku merasa seperti seorang jongos dalam relasi antaragama, khususnya Islam-Kristen. Kalau ada orang Islam yang butuh berelasi dengan Kristen/Katolik atau agama lain, aku berusaha membantu mereka. Misalnya, untuk kebutuhan kunjungan, mengenal ajaran agamanya, berteman, atau apa saja. 

Pun, sebaliknya. Jika ada gereja yang ingin berelasi dengan Islam, dalam bentuk yang sama, aku pun dengan senang hati membantunya. 

"Selamat datang di Pesantren Tebuireng," ujarku berkali-kali kepada puluhan orang yang turun dari dua bis besar dan 5 mobil. Mereka adalah rombongan majelis sinode GPIB. Jumlahnya sekitar 70an orang. Banyak temanku di sana. 

Aku seperti tour-guide mereka yang memang sedang ingin mengenal pesantren lebih jauh, khususnya Tebuireng ---tempat bersemayamnya KH. Abdurrahman Wahid.

Aku mendampingi Gus Lukman, yang mewakili pengasuh Tebuireng, membawa rombongan ke makam Tebuireng. Mereka bisa masuk ke lokasi terdalam makam atas kebijakan pengelola makam. 



"Dalam tradisi kami, orang-orang yang kami anggap dekat dengan Gusti hanya mati fisiknya. Mereka tetap kami anggap hidup. Makam ini seperti Yerusalem, diziarahi banyak orang," ujarku pada rombongan. 

Saat itu, selain rombongan GPIB, ada sekitar seratusan lebih peziarah membanjiri makam Tebuireng. Semuanya muslim. Lantunan teks Arab menderu mengurung makam. Persis seperti dupa yang meluap-luap.

Aku tidak tahu bagaimana perasaan semua anggota rombongan GPIB berada di tengah lautan suara ini. Senang? Miris? Begidik? Galau? Biasa saja? Sangat mungkin ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka. 

Tabur bunga dilakukan beberapa pendeta, di atas pusara Gus Dur, salah satunya. Puluhan kamera mengabadikan banyak momen.

"Kak, kalau misalnya mau berdoa, silahkan ya. Ndak papa," ujarku pada Pdt. Elly Debell, salah satu pengurus sinode. 
"Boleh?" katanya dengan muka agak serius. Tatapan konfirmasi. Seperti tidak terlalu percaya. 
"Boleh dong," ujarku.

Kak Elly kemudian meminta seluruh rombongan mendekat ke pusara, termasuk yang di luar pagar. Aku terus menunjukkan gesture ke kak Elly dan rombongan agar tidak ragu berdoa secara kristiani ke pusara Tebuireng.

Di tengah deru ratusan orang mengaji, ia memimpin doa secara Kristen. Khusyuk. Begitu pula anggota rombongan, termasuk aku yang berada di samping agak belakang kak Elly.

"Sebentar lagi, kita akan menuju Pesantren Assaidiyyah 2 Bahrul Ulum Tambakberas," ungkapmu saat mengantar mereka ke kendaraan.

Aku melihat ada perasaan gembira terpancar dari mayoritas rombongan GPIB saat meninggal Tebuireng. Tak lupa aku berpamitan ke Pak Lukman, tour guide Tebuireng, serta Gus Kikin, pengasuh pesantren.

"Matur nuwun, Gus, telah bersedia melayani rombongan GPIB," ujarku sembari mencium tangan Gus Kikin.


Aku datang terlebih dahulu di Tambakberas, menemui Ning Um yang sudah siap-siap di lokasi. 

Rombongan GPIB akan diterima di Pesantren Bayt Al-Quran, unit pengembangan pendidikan pesantren Tambakberas yang diasuh Gus Muhammad Imdad, putra sulung Ning Um. Unit ini memang dikhususkan bagi mereka yang berkehendak menghafalkan Al-Quran.


Saat rombongan datang, beberapa santri sedang berbaris menunggu giliran untuk "setor," hafalan ke ustadznya. Pemandangan ini menarik minat beberapa anggota rombongan.

"Ini adalah salah satu fase rutin di seluruh pesantren yang fokus menghafal Al-Quran. Tidak setiap hari kan kawan-kawan menjumpainya?" ujarku pada mereka.

Banyak dari rombongan GPIB minta izin masuk masjid --tempat "setoran," berlangsung-- untuk mengabadikan proses para santri. 


Sangat mungkin ini pengalaman baru, tidak hanya bagi mereka namun juga para santri. Sebab, tidak setiap hari para santri setor dilihat para pendeta.

"An, kita terima mereka di lantai atas pesantren ya, soalnya masjid dipakai setoran," ujar Ning Um.
"Inggih,"

Aku yang didapuk menjadi moderator dalam forum ramah tamah tersebut berusaha sekuat tenaga mencairkan kekakuan-kekakuan. 


"Ini kenapa ya Pdt. Paulus sambutannya agak tegang? Biasanya kalau khotbah lancar sekali," godaku pada Ketum GPIB yang disambut tawa para peserta. 

Selain Ning Um yang hadir, forum menjadi semakin lengkap karena Kiai Hasan dan Gus Imdad juga hadir. Kiai Hasan adalah suami Ning Um. 

"Npunten Kiai Hasan, Pdt. Paulus ini, kalau dalam struktur NU, selevel dengan Gus Yahya Staquf lho," ujarku.
"Oh ya? Ketua PBNU berarti ya," ujarnya.

Aku memang berusaha menjembatani agar siapapun dapat memahami dunia kekristenan dan struktur organisasinya. Kalau aku ngotot memakai kata "sinode," "mupel," "jemaat" pasti agak sulit dicerna. Paling enak, mencari padanan dalam struktur yang sudah dipahami.


"Jadi yang hadir saat ini, katakanlah, merupakan rombongan PBNU dan perwakilan PWNU seluruh Indonesia," ujarku mengibaratkan.

Baik Ning Um, Kiai Hasan dan Gus Imdad, ketiganya memberikan pandangan seputar Islam, pesantren dan komitmen keindonesiaan. Pantikan ini tak pelak menyulut animo banyak peserta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. 

Forum berjalan begitu gayeng dan penuh kehangatan persahabatan. Itu sebabnya, waktunya molor. 

Kehangatan tersebut mungkin salah satunya disebabkan karena ada irisan antara GPIB dan pesantren ini; Ning Um dan Gus Imdad adalah lulusan UIN Sunan Kalijaga --tempat puluhan pendeta GPIB menyelesaikan studi master dan doktoralnya.

"Boydo, ndak usah sungkan dengan kakak angkatanmu ya. Kalian ini satu almamater," ujarku pada Pdt, Boydo kepada Ning Um. 

Sebelum meninggalkan Tambakberas, rombongan GPIB meninggalkan kenang-kenangan. Mereka menanam beberapa pohon di areal pesantren.


Aku melihat ada semangat dan ketulusan terpancar, baik di Tebuireng dan Tambakberas. Semangat menghormati dan  melayani setiap orang yang bersilaturahmi, tak terkecuali gereja. 

Namun kemampuanku terbatas. Aku tidak dapat membaca pikiran Gus Kikin, Ning Um, Kiai Hasan dan Gus Imdad dibalik keramahan dan kehangatan penyambutan rombongan GPIB.

Namun sangat mungkin mereka, yang memang sudah terdidik mempertahankan identitas keindonesiaan, berpikiran; melayani gereja merupakan bagian dari melayani Indonesia.(*)

Saturday, July 9, 2022

Bagaimana MSAT Akhirnya Menyerahkan Diri?


Hingga Jumat sore, 8/7, aku belum menemukan satu liputan yang menggambarkan bagaimana Moh. Subchi A Tsani (MSAT) menyerahkan diri. 

Apa yang membuat pria ia memilih menyerah? Apakah karena pemadaman lampu? Dijebak? Atau jangan-jangan ia dikhianati anak buahnya sendiri?

***
Setelah dikepung selama lebih kurang 15 jam oleh seribu lebih gabungan polisi Polda Jawa Timur dan Polres Jombang, akhirnya MSAT menyerahkan diri sekitar pukul 23.00, Kamis (7/7). 

Hal ini diketahui setelah Kapolda Nico melakukan jumpa pers di depan gerbang pesantren, mengabarkan MSAT telah menyerahkan diri. 

Sayangnya, sosok MSAT tidak diperlihatkan ke publik pada saat itu. Kabarnya, ia langsung dibawa menuju Polda Jawa Timur. Tidak seberapa lama, terlihat mobil sedan mewah hitam keluar dari gerbang pondok. 

"Siapa itu, mas?" tanyaku pada si Hitam
"Itu pak yai dan bu nyai Sof, menyusul MSAT ke Polda," ujarnya, di salah satu warung makan belakang Pabrik Gula Jombang Baru, Jumat (8/7) pukul 19.30.

Si Hitam adalah nama polisi yang menjadi pelindungku saat aku ikut penggerebekan di pesantren Ploso, Kamis (7/7). Saat banyak polisi mencurigai keberadaanku dalam penggerebekan tersebut, ia selalu bilang; intel. Semuanya diam. 

Tak terhitung berapa kali aku dicurigai aparat. Sangat mungkin karena wajah dan tubuhku terlalu imut untuk ukuran polisi.

Aku tak pernah tahu posisi si Hitam di Polda. Namun sepanjang yang aku bisa saksikan dalam penggerebekan, ia memiliki posisi yang cukup sentral. 

HPnya tidak pernah berhenti digunakan. Baik untuk menelpon atau menerima telpon. Terutama untuk menemukan lokasi persembunyian MSAT. Puluhan anggota Brimob serta Reskrim juga mengikuti arahannya. 

Aku melihat sendiri ia dipanggil dan diberi arahan oleh Pak Totok, Direktur Ditreskrimum Polda Jatim pada saat melakukan negoisasi dengan keluarga Yai Tar. Yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata, "Siap, ndan. Nggih, ndan" 

Menurut sumberku di Polres Jombang, sangat mungkin si Hitam  berkantor Kamneg (Keamanan Negara). "Kalau urusan teroris, dia yang turun, gus," ujarnya di sebuah kedai kopi daerah Sengon, Sabtu (9/7).

Saat bertemu si Hitam sehari pascapenggerebekan, aku langsung bertanya padanya bagaimana proses MSAT menyerah. 

"Apakah karena lampu dimatikan, mas?" tanyaku. Faktor pemadaman lampu di areal pesantren sempat mencuat sebagai salah satu penyebabnya. Hipotesisnya, lampu dimatikan, MSAT tidak kuat lalu menyerahkan diri. 

Hipotesis ini ditepis oleh sumberku di Polres Jombang tadi, Menurutnya, lampu memang semoat dipadamkan namun tak seberapa lama dihidupkan kembali. Lampu mati, menurutnya, justru membuat suasana pesantren akan gelap gulita dan memudahkan MSAT keluar dari pesantren tanpa diketahui.

"Ia bersembunyi di mana sih, mas?" tanyaku pada si Hitam, "Hampir semua lokasi sudah kita susuri lho. Apakah benar ia sembunyi di bunker?" 

Aku menyerocosinya dengan aneka pertanyaan. Aku benar-benar kepo pada saat itu.

"Kami bernegoisasi alot dengan keluarga. Jika MSAT tidak diserahkan maka siapapun yang menghalanginya akan dibawa ke Polda karena menghalang-halangi penegakan hukum, termasuk pak yai dan bu nyai," ujar si Hitam.

Kabarnya, gertakan ini cukup ampuh menyiutkan nyali, terutamasang ibu. 

Tak seberapa lama keluarga akhirnya bersedia menyerahkan MSAT dengan syarat; harus menghadirkan seorang perwira menengah polisi. Keluarga mempercayai perwira tersebut.

"Lho kok gitu, mas?" tanyaku.
"Entahlah, aku yo kaget kok," ujar si Hitam tersenyum kecut.
"Dia ada dalam tim penggerebekan?"
"Tidak,"
"Looh.. Tapi dia dinas di Jawa Timur?" tanyaku memburu
"Iya,"
"Terus?"
"Ya akhirnya ia diperintahkan untuk ke Jombang malam itu juga,"
"Dari?"
"Surabaya,"
"Namanya, mas?" aku sudah tak sabar.
"*&*&**(*(*((" ujar si Hitam.

Aku kemudian menggogling namanya. Rupanya dia pernah berdinas di Polres Jombang. 

Entah punya kesaktian apa perwira menengah tersebut sehingga Yai Tar mempercayainya dalam proses penyerahan diri anaknya. 

"Embuh, mas, aku juga ndak tahu," ujar si Hitam menghisap rokoknya dalam-dalam.

"Sebentar, mas," tanyaku, "Jadi selama proses penggerebekan dan pengepungan pondok, MSAT sembunyi di mana?"

"Di rumah adik ibunya, sekitar satu kilo dari pondok," ujarnya.

Menurutnya, sangat mungkin MSAT masih di dalam pondok saat penggerebekan. Ia menyelinap keluar pondok sekitar jam 9 pagi. Sebagai catatan, pasukan brimob membuka paksa gerbang pondok sekitar jam 7.45. Aku bersama mereka.

"Kok bisa ya, mas? Bukannya polisi sudah mengepung rapat lokasi tersebut?" ujarku tidak terima.

"Lha ya itu mas, aku juga heran," ujar si Hitam meringis. Ia menyiratkan ada kemungkinan faktor mistis dalam lolosnya MSAT. 

"Tapi dari mana sampeyan tahu ia masih di pondok hingga jam 9 pagi?" tanyaku tetap dengan intonasi tidak terima.

Menurutnya ada jejak-jejak di kamar MSAT yang mengindikasikan dia masih di sana pada saat itu.

"Oh ya, mas, nemu laptop milik MSAT nggak?" tanyaku to the point.
"Sudah kami amankan," ujarnya tertawa.
"Woww keren! Isinya?"
"Horor" ujarnya tertawa.
"Termasuk rekaman adegan ritual esek-esek MSAT, mas?" tanyaku super kepo.

Si Hitam hanya tersenyum dan mengedipkan mata kirinya, seperti ingin mengatakan; ada deeehhh.

Asyemm.

Friday, June 17, 2022

MENGADILI BABI DENGAN LIMA TEORI


Ketidaksukaan terhadap babi atas nama agama perlu dilucuti. Sebab, ia sudah melampaui ambang batas, telah berubah menjadi kebencian yang membahayakan hak orang lain. 

Tidak memakan babi karena alasan ajaran agama merupakan hal baik. Hanya saja, ketika pilihan ini berada dalam level tertentu dan menyebabkan konsumen/produsen babi terlanggar hak konstitusionalnya, inilah yang aku maksud dengan "melampaui ambang batas,"

Viralnya kasus pemolisiaan warung nasi pandang berdaging babi merupakan satu dari sekian fragmen ketidaksukaan yang telah berubah menjadi kebencian. Sebelumnya, beberapa tahun lalu, sekelompok umat Islam di Makassar memaksa sebuah lapak babi ditutup. Dengan alasan agama, babi begitu dibenci dan dianggap menakutkan sehingga membuat individu/kelompok nekat berbuat seperti itu. 

SINDROM ELEAZAR
Mungkin para pelakunya secara tidak sadar sedang terjangkiti sindrom Eleazar. Ini istilahku sendiri. Nama Eleazar merujuk pada orang Yahudi terpandang yang dipersekusi Antiochus IV Epiphanes (175-164 SM) dengan cara dipaksa memakan daging babi. 

Eleazar tentu sekuat tenaga menolaknya. Ia memilih mati dicambuk ketimbang memakan daging babi. 

Hanya saja, tidak ada satu kejadian pun di Indonesia modern, yang terekam dalam dokumentasi publik, yang menunjukkan adanya praktek pemaksaan mengkonsumsi babi. Setiap gerai babi pada umumnya memasang tanda cukup jelas agar calon konsumennya sadar sejak awal.  

Sebagai muslim, aku merasa ketidaksukaan banyak orang Islam terhadap babi telah mendorong mereka masuk dalam ketakutan luar biasa yang tidak beralasan, fobia. Fobia menyebabkan seseorang cenderung berbuat destruktif dan merugikan. Padahal al-Quran telah mewanti-wanti; janganlah kebencianmu pada sesuatu/seseorang/kelompok membuatmu berlaku tidak adil padanya. Tak terkecuali terhadap babi dan penikmatnya.


ISLAM MAKMUM KE YAHUDI?
 
Islam terasa mengikuti hukum Musa (Taurat) terkait babi. Secara historis, hal ini bukanlah sesuatu yang rahasia. Saat Nabi Muhammad dan banyak pengikut-awalnya mengalami persekusi dari beberapa kelompok Mekkah, mereka ditolong komunitas Madinah (dulu bernama Yathrib).

Kalau kita percaya Montgomery Watt dalam “Muhammad at Medina,” Madinah merupakan basis kelompok Yahudi. Relasi Yahudi dan Islam-awal menyebabkan tidak sedikit kemiripan dua agama ini. 

Bahkan, sebelum datang perintah Tuhan kepada nabi Muhammad terkait pergantian kiblat, Islam-awal "menemui," tuhannya persis sebagaimana cara orang Yahudi; menghadap Yerussalem. 

Ya, sedekat itu relasi Islam-Yahudi awalnya. Seperti bestie, saling mendukung, dan saling memengaruhi satu dengan lainnya, khususnya Yahudi terhadap Islam, tak terkecuali dalam hal perbabian.

BABI DAN SIKAP AL-QURAN
Jika menelisik Perjanjian Lama (PL), sangat nampak Yahudi-patriarki melakukan perlawanan total terhadap babi. Agama ini tidak hanya melarang umatnya memakan hewan ini, namun juga melarang menyentuhnya. 


Di hadapan PL, babi diposisikan sedemikian rendahnya. Tak punya harga diri. Kitab Keluaran, Imamat, Ulangan, dan Yesaya bisa dirujuk sebagai argumentasinya. 

Sebelum membahas hipotesis ketidaksukaan Yahudi pada babi, aku merasa penting mengetahui terlebih dulu sikap Al-Quran terkait binatang ini. Babi dinarasikan Al-Quran dalam dua gambaran yang pejoratif. Pertama, sebagai simbol negatif perumpaan orang yang menentang perintah Allah (QS. 5:60). Kedua, sebagai salah satu dari yang tidak boleh dikonsumsi.

Uniknya, terkait poin kedua tadi, terdapat 3 ayat al-Quran (QS.2:173; 16:115; 6:145) yang  memberi kelonggaran (kebolehan) memakan daging babi dalam kondisi tertentu, 
".. . Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Alloh mahapengampun, mahapenyayang."

Jika dibandingkan dengan sikap PL yang memborgol rapat keharaman mengkonsumsi daging babi, maka ayat-ayat al-Quran tadi, meski tetap kaku mengharamkan, terasa mengambil sikap yang relatif moderat. 

Al-Quran seperti berkata, "Guys, makan babi ndak boleh lho ya. Namun, kalau dalam kondisi terpaksa, atau ndak sengaja, sepanjang ndak berlebihan, ya ndak papa. Nggak dosa kok,”

Sayangnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara gamblang alasan pelarangan makan babi. Hewan ini oleh alquran cukup distempel dengan kata harram dan rijsun yang artinya terlarang dan kotor/najis. 

Maka menjadi penting bagi siapa saja untuk menemukan alasannya. Namun tidak hanya itu, yang terpenting, kita juga sepatutnya menguji sejauhmana kekokohan alasan tersebut.  

Dalam konteks ini, aku membangun asumsi dasar; pelaran konsumsi babi dalam Islam diduga kuat menapaktilasi ajaran Yahudi. Dengan demikian penyingkapan pengharamannya di Yahudi akan menjadi modalitas bagi kita mengetahui alasan di Islam.

LIMA TEORI BABI
Secara ringkas, terdapat 5 "teori" pelarangan konsumsi babi. Pertama, teori kenikmatan yang diajukan Philo of Alexandria (± 20 SM - 50 M) melalui “On special law 4 (Concerning Animal): 100-107. 

Pria ini meyakini pelarangan makan babi dikarenakan kelezatan dagingnya. Tidak ada daging hewan darat yang menandingi gurih dan empuknya babi.

Bagi Philo, pelarangan diperlukan agar orang Yahudi tetap dapat mengontrol kesederhanaan hidup, mampu menahan nafsu dan kerakusan. 

Rasa enak yang berlebihan, kala itu, menurut Philo, secara moral dan etika dianggap tidak pantas. Mungkin Philo ada benarnya. Hanya saja, sejauhmana relevansi alasan tersebut untuk mempertahankan pelarangan dewasa ini? 

Teori kedua, teori jijik, diperkenalkan Moses Maimonades (1138 M - 1204 M). Dia adalah ahli Taurat yang terpandang dan memiliki peran penting semasa pemerintahan Salahudin al-Ayyubi.

Dalam Dalalat al-Hairin (Panduan bagi Orang Bingung, 3:14) ia mengatakan Taurat melarang babi karena --baik perilaku maupun apa yang ia konsumsi-- dianggap menjijikkan. Teori ini barangkali dengan mudah dibantah, misalnya, dengan mengatakan kenapa kerbau, bebek, ayam --yang kehidupannya tidak lebih menjijikkan dari babi-- tidak serta merta terlarang dikonsumsi? Entahlah.

Teori problem alam yang ditawarkan Marvin Harris merupakan teori ketiga. Ia berargumentasi; pelarangan babi, saat itu, lebih disebabkan karena faktor alam.

Babi membutuhkan banyak air untuk hidup. Sedangkan kawasan Timur Tengah yang dikenal berkontur gurun pasir dianggap tidak mendukung pengembangbiakan babi. Itu sebabnya, untuk mengatasi persoalan teknis, menurut Harris, babi akhirnya dilarang. 

Silahkan percaya pada Harris kalau mau. Hanya saja, ada informasi menarik dari Isabel Kershner. Perempuan ini pernah menulis di The New York Times tahun 2013, berjudul "Who’d Import Pigs to Israel? Ancient Europeans, Researchers Say," 

Menurutnya, sejumlah arkeolog yang dipimpin Israel Finkelstein melakukan penelitian di wilayah Levant --saat ini meliputi Israel, Gaza dan Syiria. Wilayah Levant dulunya dihuni orang Philistine --Goliath, lawan David dalam kisahnya yang terkenal, berasal dari Philistine. 

Para peneliti ini menemukan bukti arkeologis babi pernah dikembangbiakan di sana sekitar tahun 900 SM. 
Penemuan in tak pelak mematahkan teori Harris seputar perbabian. 

Pematahan ini mendorong kita untuk menemukan lebih jauh kenapa babi dilarang oleh bangsa Yahudi sebagaimana tersebat dalam PL. Menjadi menarik untuk mengandaikan; dengan mengacu pada teori Harris,  apakah dengan demikian status pelarangan babi bisa diubah manakala bisa diternakkan? Ternyata tidak. 

Buktinya, hingga saat ini, manakala teknologi telah berkembang sedemikian pesat dan memungkinkan babi bisa dikembangbiakkan di segala medan, hewan ini tetap meringkuk dalam statusnya yang dianggap haram dan najis oleh kalangan Yahudi dan Islam.

Teori keempat adalah teori trichinosis. Teori menyatakan babi, jika dimasak kurang matang, dapat menimbulkan semacam infeksi yang disebabkan sejenis cacing parasit. Parasit ini tidak hanya ada pada babi namun juga binatang lain, misalnya beruang, kucing liar, rubah, anjing, serigala, kuda, anjing laut, atau walrus. 

Apakah trichinosis telah ada saat PL ditulis, ataukah teori ini datang belakangan untuk merasionalisasi demonisasi terhadap babi? Yang pasti, hingga saat ini belum ada penyakit khusus yang bersifat mewabah dan berbahaya dalam skala meluas yang ditimbulkan karena mengkonsumsi babi. 

Alih-alih, berbeda dengan misalnya sapi. Hewan ini pernah membuat geger karena virus anthraxnya. Namun toh sapi tidak lantas diharamkan karena kegegeran tersebut.

Mengapa Yahudi (dan Islam) terasa lebih mengampuni sapi ketimbang babi? Ini pertanyaan yang barangkali hendak dipecahkan oleh teori kelima, aku menyebutnya; teori kesucian reproduksi patriarki.

TEORI KESUCIAN REPRODUKSI PATRIARKI
Teori ini pertama kali aku baca dari tulisan Nicole Ruane, "Pigs, Purity and Paternity: The Multiparity of Swine and Its Problems for Biblical Ritual and Gender Construction," 

Ruane meyakini Yahudi merupakan agama yang tidak hanya patriarki --sistem sosial dan budaya yang menempatkan lelaki lebih unggul ketimbang perempuan-- namun juga patrilineal --sistem garis keturunan yang bertumpu pada ayah.

Dua atmofsir ini, menurut Ruane, membuat agama tersebut sangat menjaga kesucian dalam aspek reproduksi dan seksualitas. Cara pandang ini, dengan sekuat tenaga, diproyeksikan/direfleksikan terhadapa apa yang boleh dan tidak boleh mereka konsumsi.

Dari semua hewan darat yang dianggap suci dalam kitab Ulangan, babi dianggap "mbalelo," karena mempunyai satu kemampuan yang tidak dimiliki mereka. Yakni, mampu bereproduksi secara luar biasa pada saat hewan-hewan tersebut hanya mampu melahirkan tunggal atau kembar. 

Sedangkan babi, ia rata-rata mampu melahirkan 12 hingga 37 anak babi dalam sekali proses kelahiran. Angka terakhir tadi berdasarkan catatan Guiness World Record di Inggris tahun 1993. 

Kemampuan reproduksi babi yang sedemikian luar biasanya ini dianggap "mengganggu," superioritas patriarki. Ada ketakutan hebat, lebih tepatnya; kecemburuan, dalam diri patriarki, posisinya akan tersaingi oleh kemampuan seperti ini -- sungguhpun hal tersebut hanya terjadi dalam hewan darat. 

Patriarki terobsesi untuk sedapat mungkin mengontrol apa saja, termasuk apa yang dianggapnya ideal dalam galaksi kuliner. Semua harus tunduk dan menghamba pada kemasyhuran patriarki. Tidak boleh ada yang berpotensi merusak kemasyhuran tersebut, terlebih oleh perempuan dengan menggunakan faktor kesuburan reproduktif.

Yahudi-patriarki merasa terganggu superioritas kesuburannya akan kalah mentereng dibanding kesuburan perempuan dengan menggunakan faktor melimpahnya keturunan. Sangat mungkin Yahudi-patriarki terobsesi tidak ingin meniru masyarakat Hittie, pilar kerajaan Kusara di semenanjung Anatolia (1750-1650 SM). 
Hittie yang begitu mengagungkan kesuburan perempuan sebagai elemen superiotasnya, menurut Collins dalam "Necromancy, Fertility and the Dark Earth," maupun "Pigs at the Gate," bahkan dikabarkan memiliki semboyan heroik, "let her give her often like pig,"

Bagi Yahudi-patriarki, melahirkan 1 hingga 4 bayi secara bersamaan masih bisa ditolerir. Namun 12 hingga 37 anak sekaligus? Hal tersebut merupakan mimpi buruk yang harus dicegah.

Bagi mereka; yang tidak boleh terjadi dalam dunia manusia sedapat mungkin juga tidak boleh terjadi di dunia hewan. 
Bagi Yahudi-patriarki, tambah Ruane, kesuburan reproduksi babi yang begitu melimpah juga menyisakan problem imaji-psikologis; mereka kesulitan menentukan babi mana yang dianggap sulung. 

Memang, PL tidak membahas khusus menyangkut aspek anak sulung babi. Hanya saja kesulitan ini memunculkan konflik tersendiri di kalangan Yahudi-patriarki terkait ritus-biblikal yang berhubungan dengan hewan persembahan.

Dalam PL, sulung dari hewan darat yang diternakkan (termasuk babi, seharusnya) bukanlah binatan sembarangan. Dia dianggap paling suci dan itu sebabnya memiliki privilage untuk dipersembahkan kepada tuhan maupun Levites (Keluaran 13:12; Ulangan 15:19-20; Bilangan 18:15-17).

Yahudi-patriarki, sekali lagi, berupaya memproyeksikan keunggulan status sulung dalam sistem sosial budaya mereka ke dalam ritus-biblikal yang berkaitan dengan hewan. Bukan rahasia lagi, anak sulung dalam sistem Yahudi-patriarki, setidaknya tercermin dalam PL, memiliki hak-hak khusus yang tidak dimiliki anak setelahnya, terutama dalam hal garis keturunan dan pewarisan, yang juga dapat kita temukan dengan mudah di sistem sosial-budaya kelompok lain.

Oleh karena Yahudi-patriarki terlihat tidak mampu mengontrol model reproduksi babi maka yang dapat dilakukan adalah mengeksklusi babi dari kehidupan sehari-sehari; melabelinya dengan ketabuan, kenajisan, kekotoran serta aneka lainnya.

Memang, setiap agama memiliki sistem ideologi dan ritual keagamaan yang tidak hanya unik namun juga menarik untuk dicermati ketika menyangkut sesuatu yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi, termasuk agama Yahudi, Kristen dan Islam. 

Namun, sikap ideologis Yahudi-patriarki terkait babi memang terasa cukup ganjil sebab, tambah Ruane dalam tulisannya, terdapat agama-agama kuno yang, meskipun patriarki dan patrilineal tetapi, tidak alergi mempersembahkan babi bagi Tuhannya.

Mungkinkah Yahudi-Patriarki, melalui PLnya saat itu, tengah mengembangkan model baru dalam sistem patriarki dan patrilineal? Benarkah model ini kemudian, secara diam-diam, diikuti oleh bestienya, Islam? Hanya Alloh yang tahu.(*)


Bacaan Lanjutan
  1. Sapir-Hen, L., Bar-Oz, G., Gadot, Y., & Finkelstein, I. (2013). Pig Husbandry in Iron Age Israel and Judah: New Insights Regarding the Origin of the" Taboo". Zeitschrift des Deutschen Palästina-Vereins (1953-), (H. 1), 1-20.
  2. Translation of the Meanings of the Noble Qur'an - English Translation - Hilali and Kha, https://quranenc.com/en/browse/english_hilali_khan
  3. Watt, W. M. (1981). Muhammad at Medina. Oxford University Press.
  4. Harris, M. (1989). Cows, pigs, wars & witches: The riddles of culture. Vintage.
  5. Ruane, N. J. (2015). Pigs, purity, and patrilineality: the multiparity of swine and its problems for biblical ritual and gender construction. Journal of Biblical Literature, 134(3), 489-504.
  6. Kershner, Isabel. (n.d.). Who’d Import Pigs to Israel? Ancient Europeans, Researchers Say - The New York Times. Retrieved June 16, 2022, from https://www.nytimes.com/2013/11/05/world/middleeast/pigs-in-israel-originated-in-europe-researchers-say.html
  7. Duffy, & Daniel Philip. (n.d.). Eleazar. Retrieved June 16, 2022, from https://catholicism.en-academic.com/4165/Eleazar
  8. Collins, B. J. (2015). Necromancy, fertility and the dark earth: The use of ritual pits in Hittite cult. In Magic and ritual in the ancient world (pp. 224–241). Brill.
  9. Collins, B. J. (2006). Pigs at the gate: Hittite pig sacrifice in its eastern Mediterranean context. Journal of Ancient Near Eastern Religions, 6(1), 155–188.
  10. Philo of Alexandria, https://plato.stanford.edu/entries/philo/
  11. CDC, What is Anthrax?, https://www.cdc.gov/anthrax/basics/index.html

Friday, June 10, 2022

AKAR HOMOFOBIA DAN PRIA TAK BERSELERA WANITA

*** tulisan ini pernah tayang di locita.co 2018 sebelum akhirnya tidak bisa diakses**

Pascatayang di program FAKTA TVOne membahas LGBT, Agama dan HAM, saya mendapat luapan komentar. Sebagian besar menghujat, terutama soal ayat. Saya salah kutip nomor ayat dalam QS. al-Nur. Seharusnya ayat 31, namun saya sebut ayat 30. Sungguh merupakan kekhilafan saya.

Akan tetapi atas substansi topik yang dibahas, saya tetap meyakini Alloh mampu menciptakan manusia yang beragam. Dia berkuasa menciptakan sosok lelaki --baik yang menyukai perempuan atau yang tidak terangsang melihat Christina Aguilera sekalipun.

Kemampuan ini oleh Alloh diabadikan secara benderang dalam dua ayat; qauliyah --sebagaimana tertera dalam QS. 24:31, dan kauniyah --keberadaan mereka dalam realitas empirik.

Allah bahkan saya yakini berkuasa mampu menciptakan apa yang menurut kita mustahil. Sebab, tanpa keyakinan  seperti ini, akan sia-sia bangunan tauhid yang kita percayai selama ini.

Dua ayat ini bisa dikatakan sebagai bukti legalitas tekstual maupun empirikal keberadaan mereka, sebanding dengan legalitas kehadiran ragam ciptaan lain yang bersuku-bangsa, sebagaimana disinggung dalam QS. 49:13.

PRIA TAK BERSELERA WANITA
Lantas, siapakah mereka -- pria tak berselera terhadap wanita ini, sebagaimana tercantum dalam QS. An-Nur 31? Ragamnya bisa banyak, tergantung sejauhmana ketercukupan pengetahuan seseorang dalam membaca alam raya ini.

Dengan merangkum berbagai pandangan (Ibnu Abbas, Qatadah, Mujahid, Sha'bi) yang bersumber dari dua kitab tafsir al-Quran milik Jarir al-Tabari dan Ibnu Kathir, tokoh Sunni ortodok asal Pakistan, Al-Maududi, mencoba menjelaskan sosok yang tertera di QS 24:31 itu di tafsir Tafhim al-Quran.

Dalam versi bahasa Inggris, dia menterjemahkan teks "tabi'in ghoyru uli al-irba" sebagai those from among the men who are your subordinates and have no desire -- pembantu laki-laki yang tidak punya hasrat seksual terhadap perempuan.

Al-Maududi selanjutnya merujuk pada sosok Hit, pria feminim (mukhannats) berdasarkan kisah dari Ummu Salamah dan Aishah yang terekam dalam beberapa kitab hadits kanonik seperti  Bukhari, Muslim, Nasa'i dan Abu Dawud.

Kisah tersebut menceritakan; suatu ketika di rumah Ummu Salamah terjadi obrolan antara 3 orang; Hit duduk di samping Ummu Salamah, dan Abdullah bin Abi Umayyah, saudara Ummu Salamah.
"Eh nanti kalau kamu berhasil menaklukkan kota Taif, jangan lupa mencari puterinya Ghilan Tsaqafi ya," kata Hit ke Abdullah sembari mendeskripsikan kemolekan puteri Ghilan.

Nampaknya Nabi mendengar perbincangan itu dan berkata la yadkhulanna haulai 'alaykunna (mereka --para perempuan-- seharusnya tidak boleh masuk ke rumah kalian --para perempuan--).

Ungkapan bernada ketidaksukaan Nabi ini kemudian bisa dipahami dalam beberapa tafsir. Pertama, Nabi tidak suka dengan seluruh waria secara umum. Namun hal ini tidak cukup beralasan mengingat sangat mungkin Hit adalah asisten rumah tangga, atau minimal dekat, dengan Ummu Salamah. Hal ini bisa diketahui dari kesediaan Ummu Salamah duduk di samping Hit saat itu. Kedua, Nabi tidak suka dengan omongan Hit, bukan keberadaannya.

Hipotesis kedua ini nampaknya yang paling memungkinkan. Saya menduga Nabi kuatir hal-hal pribadi istrinya akan dibocorkan Hit --sebagaimana Hit membocorkan kemolekan puteri Ghilan Tsaqafi kepada Abdullan bin Abi Umayyah.

Namun menurut al-Maududi, nabi bersikap seperti itu karena menganggap Hit tidak sepenuhnya tidak suka perempuan. Kedetilan Hit mendeskripsikan puteri Ghilan dianggap Nabi sebagai indikator ketertarikannya pada perempuan --sungguhpun Hit adalah waria.

Mungkin ini sebabnya, Yusuf al-Kirmani (w. 1384) membagi waria menjadi dua kategori; khilqy (pemberian tuhan, given) dan takallufi (gadungan).

Waria jenis takallufi adalah ia yang menyamar menjadi perempuan padahal  masih punya hasrat seksual terhadap perempuan. Kepura-puraannya hanyalah kedok untuk melakukan kejahatan, misalnya kekerasan seksual (Rowson 1991). Sangat mungkin Nabi kuatir Hit adalah waria takallufi, yang itu sebabnya ia diusir.

Lebih lanjut, tidak ditemukan lagi penjelasan apakah pascaperistiwa itu Hit tetap di rumah Ummu Salamah atau tidak. Jika tetap di sana, maka saya anggap ia telah berhasil mengklarifikasi dirinya adalah waria khilqy. Waria jenis ini, dalam kacamata kajian gender dan seksualitas, adalah laki-laki homoseksual (karena tidak punya hasrat terhadap perempuan) dengan identitas gender feminim (berpenampilan gemulai). Sebab ada juga jenis laki-laki homoseks yang tetap mempertahankan identitasnya sebagai pria maskulin.

AKAR HOMOFOBIA
Lalu, kenapa banyak diantara kita yang marah dan kejang-kejang menerima hal ini, bahkan cenderung bertindak destruktif?

Sulit untuk tidak mengatakan masih banyak orang mengidap problem psikologis dalam bentuk homofobia -- yakni ketakutan akut terhadap orang yang suka sesama jenis. Menariknya, jika seringkali rasa takut menyebabkan keminderan bagi penderitanya, maka ketakutan berjamaah ini bisa membentuk semacam penyatuan psikologis dengan ikatan yang sangat kuat. Layaknya air bah, ketakutan ini berubah menjadi kekuatan mematikan yang intimidatif.

Hemat saya, homofobia muncul melalui tiga tahap utama --sebelum bertengger di tahap dua terakhir; diskriminasi dan kekerasan fisik terhadap kelompok LGBT.

Tahap pertama adalah bias -- yakni cara pandang yang bertumpu pada keyakinan bahwa identitas tertentu lebih unggul/baik ketimbang identitas lainnya. Kelompok hetero merasa dirinya lebih baik ketimbang non-hetero, salah satunya karena keunggulan reproduktif.

Laki-laki feminim dan perempuan maskulin dipersepsi sebagai aib, tidak natural dan mencoreng kehormatan diri, keluarga dan lingkungan.

Namun, apakah cara pandang ini diperbolehkan Islam? Saya ragu. Al-Quran tidak pernah memerintah kita menumpahkan kebencian atas keragaman identitas. Justru menurut Alloh, setiap orang berada dalam derajat yang sama, dengan ketakwaan sebagai barometer pembedanya -- bukan jenis kelamin, kemampuan reproduksi, atau faktor lainnya.

Di tahap kedua, bias tadi mendapat topangan kokoh dari "stereotype" --yakni anggapan miring semua orang dengan ciri tertentu pasti sama semua. Misalnya, anggapan bahwa semua laki-laki pasti suka lawan jenis, atau semua yang berorientasi seksual homo pastilah melakukan persetubuhan-paksa seperti kaum Luth, atau pemangsa anak laki-laki seperti Robot Gedeg.

Cara pandang ini sama ngawur dengan simpulan; "semua laki-laki hetero pasti seperti Syekh Puji, sebab dia juga hetero". Puji adalah laki-laki hetero asal Semarang yang tersandung kasus perkawinan perempuan bawah umur beberapa tahun lalu. Stereotype sangat berbahaya jika digunakan secara berlebihan, sebab bisa menjerumuskan pikiran ke dalam jurang kesesatan logika.

Kedua tahap ini selanjutnya disempurnakan oleh tahap ketiga, yakni prejudice -- praduga tanpa ketercukupan pengetahuan yang bisa menimbulkan perasaan tidak suka terhadap seseorang/sesuatu. Minimnya pengetahuan tentang Syiah, Ahmadiyah, Tionghoa, Penghayat, Korban 65-66, Non-Muslim maupun LGBT, seringkali mendongkrak sentimen negatif kita atas mereka. Yang ujungnya, seseorang akan mudah bertindak diskriminatif dan melakukan kekerasan.

Saya merasa ketiga tahapan homofobia ini tumbuh subur dan massif dengan memanfaatkan tafsir agama tanpa disertai keberimbangan dan ketercukupan pemahaman mengenai kelompok ini. Tanpa belajar tentang keilmuan gender dan seksualitas, ditambah keengganan berinteraksi langsung dengan kelompok LGBT, saya ragu seseorang akan mampu memupus bias, stereotype dan juga prejudice.

Bagaimana mungkin kita bisa mendaku sebagai hakim tanpa terlebih dahulu memahami dan menguasai kasus yang hendak diputus? Menurut saya, menghukumi LGBT tanpa terlebih dahulu memahami secara utuh tentang gender dan seksualitas akan menyebabkan ketidakadilan hukum. Dan menurut St. Agustine, hukum yang mengabaikan keadilan bukanlah hukum.

BERFIKIR WARAS
Homofobia --atau fobia-fobia yang lain -- jelas berangkat dari sebuah ketidakpahaman yang memunculkan perasaan takut. Tidak sedikit kalangan hetero yang kuatir tertular menjadi homo. Itu hanya mitos, sebagaimana mitos minum kencing unta akan membuat otak menjadi lebih encer. Orientasi seksual bukanlah sesuatu yang menular, sebagaimana HIV/AIDS.

Disamping aspek minimnya interaksi dan pengetahuan, ada kemungkinan besar pengidap homofobia justru orang yang punya orientasi seksual homo. Kok bisa? Iya. 

Hipotesisnya, ia belum bisa menerima kenyataan dirinya secara utuh. Jiwanya masih meronta dan menggugat keberbedaan yang ia miliki. Yang bersangkutan belum siap dan merasa tidak aman hidup di tengah lingkungan yang sangat fanatik mengusung kredo heteronormatifitas.

Orang seperti ini membutuhkan rasa aman untuk menyembunyikan jati dirinya yang sesungguhnya. Caranya? Ikut-ikutan merisak dan mempersekusi kelompok LGBT.

Dengan cara ini, ia berharap identitasnya tetap terlindungi dan bisa diterima oleh lingkungannya. Strategi seperti ini mungkin relatif sama dengan pelaku kejahatan yang berupaya menutupi jejaknya dengan cara berpura-pura ikut membantu menyingkap kasus tersebut.

Selain itu, pengidap homofobia kemungkinan besar merupakan seseorang yang bersimpati pada anak-anak korban kekerasan seksual sejenis, ataupun bersimpati memburuknya situasi penyebaran HIV/AIDS.

Sayangnya, keinginan mulia tersebut disalurkan pada kanal yang salah; yakni membenci secara membabi buta orang yang suka sejenis meskipun ia tidak pernah melakukan perkosaan terhadap anak. Dan, menumpahkan seluruh kesalahan HIV/AIDS serta aneka penyakit kelamin kepada kelompok ini --padahal menurut Pusat Data Informasi HIV/AIDS Kementerian Kesehatan, kelompok paling rentan tertular HIV/AIDS adalah kalangan heteroseksual, yakni ibu rumah tangga (Kompas 1/12/2017).

Menghilangkan homofobia, saya bisa katakan merupakan proses mudah tapi agak sulit. Dikatakan mudah, karena kita tinggal membuang prasangka yang kerap mengepung cara berfikir kita. Namun hal ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Musuh terbesar dalam hal ini tak lain adalah diri kita sendiri, ego kita.

Jika kuatir akan ada gay yang akan menyukai kita, janganlah panik, apalagi merasa dilecehkan kelelakiannya. Cara pandang seperti itu tak berguna sedikit pun, malah justru akan memerosotkan kedewasaan anda dalam merespon persoalan.

Apakah jika ada pria yang suka dengan kita (laki-laki) maka secara otomatis membuat kita menjadi homo? Tentu tidak. Kegopohan ini imbas merupakan imbas dari didikan cara pandang klasik-konservatif; bahwa pria hanya boleh disukai oleh lawan jenisnya.

Namun bagi sebagian orang, disukai lawan jenis dianggap terlalu mainstream. "Wajar lah.. kalau laki-laki atletis, rupawan dan pintar banyak disukai perempuan. Nah kalau ada laki-laki yang juga tertarik, itu berarti dirimu telah sempurna --dicintai dua jenis kelamin " kata kawan saya. Ia yang merupakan lelaki hetero menjelaskan bahwa lelaki tampan sejati bukanlah ia yang hanya digilai perempuan. Lebih jauh ia juga diminati oleh lelaki.

Saya tahu, bagi seorang homofobik, disukai sesama jenis memang akan terasa cukup aneh, namun kita tidak bisa melarang dengan siapa orang jatuh cinta. Sungguhpun begitu kita tetap punya hak untuk membalas cintanya dengan sepadan (jika kita homo) atau mengucapkan terima kasih dan menolaknya (jika kita hetero), atau kita bisa marah dan memukulinya sebagai bentuk penolakan kita (jika kita homofobia).

Homofobia sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan kita tentang kelompok ini. Semakin minim informasi, bisa dipastikan semakin besar potensi kesalahpahaman yang akan terjadi. Oleh karena itu, kerendahan hati untuk belajar adalah kata kunci.

Dengan belajar dan berinteraksi, prejudice (prasangka buruk) yang telah mengendap lama dan mengerak dalam memori kita akan terlucuti. Sebab jika tidak, memori purba ini akan menjadi modal awal dan dikelola dalam tiga tahap di atas tadi. Pada waktunya, memori tersebut akan berubah menjadi penyumbang utama praktek diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBT. Wallohu a'lam.

Aan Anshori

Monday, June 6, 2022

CINTA DIANTARA TAMU DAN DUA BUNGKUS NASI GORENG

Tadi malam, Minggu (5/6), aku kedatangan tamu. Satu keluarga. Terdiri dari ayah, ibu dan satu orang anak lelaki.  

Sang anak adalah dokter. Sangat disayang kedua ortunya. Sayangnya, kedua ortu belum bisa menerima kondisi sang anak yang memiliki orientasi seksual non-hetero dengan ekspresi gender yang cenderung feminin.

"Pak Ustadz, kami sekeluarga tidak bisa menerima kondisi dia," ujar sang ibu, sangat serius.

Dia bersikukuh anaknya sedang terpengaruh oleh lingkungan sejak dia masuk kuliah. Berkali-kali ia meyakinkanku bahwa sang anak tidak seperti itu awalnya. 

"Pokoknya dia salah gaul. Saya ibunya, yang melahirkan, merawat, tahu bagaimana dia sejak lahir. Dia harus kembali normal. Lha wong dia pernah pacaran sama perempuan kok," ujarnya berapi-rapi. 

Ditengah argumentasinya ia tak mampu menahan airmatanya. Ambrol bak bendungan. 

Ia tetap berorasi di depan kami dengan suara yang hampir parau diselingi isakan tertahan.

"Nggih, bu. Minum dulu ya bu," ujarku selembut mungkin.

Ia menolak air minum yang aku sodorkan. Juga snack yang telah aku sediakan sejak sore untuk mereka. Tak disentuhnya sama sekali.

Mungkin ia dan suaminya sudah merasa aku bukan di pihak mereka. Tatapan mereka padaku memang agak lain, seperti berkata, "Hah? Ini ustadz anakku? Nggak salah apa?"

Di menit awal, aku memang menjelaskan dengan perlahan. Ilmu pengetahuan dan Alquran tidak saling bertentangan terkait orang seperti anaknya.

"Ada lho bu Alquran menyebut lelaki yang yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap perempuan, Mungkin seperti anak ibu ini," ujarku menjelaskan. 

Sang ibu segera mengambil kertas dan pulpen, mencatat nama ayat dan nomornya. Mungkin ia akan membaca dan mengklarifikasikan kepada guru agamanya.

Berkali-kali aku melirik anaknya, si dokter. Aku melihat ia mati-matian menahan amarah, resah, dan luapan emosi saat ibunya memuntahkan kejengkelannya. 

"Ia pernah mau minggat. Hidup sendiri. Emang dikira gampang apa? Apa iya, orang yang akan menampung dia akan sesayang kami?" ujar perempuan ini. Intonasinya campuran, antara sinis dan rasa sayang.

Ungkapan "Kami sangat menyayanginya," keluar sedemikian banyaknya dari mulut sang ibu. Tak terhitung lagi.

Sang dokter tampak makin emosional. Ia menahan sekuat tenaga. 

Mukanya makin kusut, terlihat seperti ingin menangis dan ngamuk. Saking inginnya, ia bahkan tak tahu apa yang harus diperbuat. 

"Aku ke mobil dulu. Supaya kalian lebih mendapat privacy," kata sang dokter, agak ketus, sembari ngeloyor. Kami akhirnya bertiga di forum.

Kesempatan ini aku gunakan untuk ngomong secara lebih terbuka lagi, menyampaikan gagasanku pada kedua orang tuanya.

"Kalau sampeyan berdua sudah siap kehilangan anak ini, silahkan teruskan menggunakan cara seperti ini. Apa kurang cukup anak sampeyan mencoba bunuh diri tiga kali? Sampeyan berdua ini orang terpelajar lho, berkali-kali ngomong sayang pada dia," ujarku sembari menatap tajam mereka.

Nampaknya mereka mulai melunak. Tidak sefrontal tadi. 
Aku mengingatkan mereka betapa pentingnya menyediakan ruang yang nyaman bagi anak agar bisa tumbuh secara baik. Seorang anak akan stress jika terus-menerus dipojokkan dengan dalih sayang.

"Bayangkan sampeyan, mas, " kataku sambil mengarahkan pandangan pada sang ayah, "...terus menerus dipojokkan, dimarahi, disalahpahami orang terdekat. Apa nggak stress?" 

Aku meminta keduanya untuk berdiskusi dengan psikolog atau psikiater terkait hal ini. Agar, kataku, pengetahuan kita tentang ciptaan Tuhan makin bertambah. 

Namun lagi-lagi sang ibu ngotot, merasa paling tahu kondisi sang anak. "Karena saya ibunya, yang mengandung, merawat, dan membesarkannya,"

Aku menahan tawa dalam hati, "Gusti, ampuni hambamu (aku) yang lemah ini,"

"Bu, kalau mobil sampeyan rusak, bengkel memberi saran lalu sampeyan yang tidak paham mesin menolak saran tersebut dengan argumentasi sampeyan yang membeli dan merawat hingga saat ini, apa pas ya seperti itu?" ujarku sembari tersenyum.

Sebelum mereka pamit pulang, aku mengajak keduanya lebih bersabar terhadap anaknya. Termasuk, bersabar untuk tidak terlalu memaksakan kehendak.

Bagiku, mencintai berarti memahami dan melayani. Memang tidaklah mudah.
**

"Mas, aku pengen nasi goreng," -- pesan WA dari pasanganku saat aku melepas kepergian tamu.

Aku segera bergegas menelpon penjual nasi goreng dan menembus dinginnya malam mengambil dua bungkus nasgor mawut superpedas.(*)