Pages

Wednesday, January 4, 2023

OPPUNG DAN MERTUA


Aku selalu penasaran dengan apa yang sebenarnya bersarang dalam benak pejabat publik seperti Walikota Medan ini. Ia bukanlah satu-satunya pejabat yang secara vulgar dan terbuka mengumbar sentimen kebencian terhadap identitas gender dan orientasi seksual. 

Jika KUHP baru telah diimplementasikan, ia dan lainnya berpotensi terancam pidana pasal 242, "
Setiap Orang yang Di Muka Umum menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu
atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia
berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, jenis
kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV."

Mungkin Bobby Nasution (BN) tidak menyadari ucapannya mengandung narasi kebencian berbasis identitas. Ia sangat mungkin justru merasa tindakannya benar, termotivasi untuk melindungi masyarakat. 

Melindungi dari apa? Inilah yang patut ditanyakan pada BN. Jika ia menganggap LGBT adalah penyakit, ia mungkin tidak perlu merasa malu untuk belajar lagi. LGBT bukanlah penyakit. 

Lelaki suka lelaki sama normalnya dengan perempuan suka lelaki maupun perempuan sama perempuan. Yang bisa dianggap berpotensi mengalami gangguan jiwa justru ketika ada orang yang tidak bisa menerima kondisi dirinya yang berujung terganggunya kondisi psikologis. 

Misalnya, ada lelaki homoseksual yang terus-terusan meyakini dirinya heteroseksual sehingga mengakibatkan kondisi jiwanya terganggu. Nah, ini yang aku sebut sebagai gangguan kejiwaan. 

Dengan kata lain, jika ada orang heteroseksual dan mengekspresikannya dengan cara menggandeng dan berciuman dengan lawan jenis, maka ia tidak sedang mengalami gangguan jiwa. Normal dan wajar --sama halnya dengan dua orang homoseksual yang memanifestasikan perasaan saling ketertarikannya di ruang publik. 

Dengan demikian, homoseksualitas dan heteroseksualitas -- juga orientasi seksual lain yang jumlahnya puluhan-- memiliki kesetaraan hak. 

Warga negara Indonesia, apapun identitas gender dan orientasi harus diperlakukan sama. Tidak peduli kita suka atau tidak. Negara ini tidak dibangun dan diatur berdasarkan perasaan tersebut.


Di titik ini, barangkali kita bisa menafsirkan apa yang pernah disampaikan oleh Menteri Luhut (LBP). Saat itu cukup banyak orang mempertonton kebodohannya. Kebencian terhadap kelompok LGBT diumbar sedemikian massifnya. Riuh rendah.

"Mereka punya hak untuk dilindungi negara karena mereka juga warga negara Indonesia," ujar Luhut sebagaiamana dikutip dari portal Kompas.com, Jumat (12/2/2016).

Luhut tidak setuju jika kelompok LGBT menjadi korban kekerasan. Ia berpesan agar masyarakat bisa merefleksikan diri dan bersikap bijak. 

"Jangan cepat menghakimi oranglah, kalau berbeda diusir, dibunuh. Silakan refleksikan diri sendiri saja," ujar dia

Sudah waktunya BS perlu banyak belajar dari LBP. Termasuk belajar bertindak adil dengan cara tidak menyamaratakan semua individu LGBT dengan predator seksual anak sesama jenis. 

Jika nekat menggebyah uyah seperti itu maka orang heteroseksual juga harus dilarang karena begitu banyak predator seksual berorientasi heteroseksual. Bahkan, secara statistik jumlahnya jauh melebihi pelaku non-heteroseksual.

Medan dikenal sebagai wilayah yang memiliki toleransi cukup tinggi. Aku pernah pernah tinggal di sana beberapa hari dan merasakan hal itu. Kelompok LGBT hidup berdampingan dengan kelompok lain. Saling menjaga dan merawat. 

Aku tidak yakin pluralitas di Medan akan terawat baik jika dikelola dengan cara seperti walikota BS; merawat dengan perasaan takut dan keengganan belajar memahami LGBT.
 
Mas Wali, belajarlah rendah hati seperti oppung dan mertuamu.(*)

No comments:

Post a Comment