Pages

Tuesday, February 7, 2023

JANGAN KUATIR TIDAK ADA BABINYA KOK

Tidak seperti kawan-kawanku lainnya, saat di Sidoarjo kemarin siang, Selasa (7/2), aku tak sempat berfoto dengan para elit NU atau negeri ini. Mereka sudah pada balik ke Jakarta. 

Selain itu, aku memang mencukupkan diriku menikmati hal-hal ringan selama bergabung dengan ratusan ribu jemaat NU di #1AbadNU. 

Contohnya saat aku di posko GKI Sidoarjo. Aku membantu panitia lokal gereja menjadi among tamu sementara. 

Begitu banyak peserta acara lalu lalang di depan posko. Kebanyakan berhenti sebentar, melihat ke atas, dan mereka tahu kalau posko itu adalah gereja.

"Monggo bapak ibu, ngasoh dulu. Ada toilet, nasi, snack, teh, kopi, air mineral. Semua gratis," ujarku berseru. Persis marketing tenant di bandara, berusaha menarik sebanyak mungkin pengunjung. 

Sayangnya, belum banyak yang terjaring, hingga serombongan ibu-ibu berpakaian putih masuk ke halaman dan langsung duduk di karpet menghadap screen besar. Posko ini memang melengkapi dirinya dengan live streaming acara dari Youtube. 

Aku dekati mereka, melihat wajahnya dari dekat. Seperti wajah orang  yang butuh asupan makan namun sungkan jika langsung mengambil makanan di meja. Memang, semua makanan dijaga dengan ketat oleh ibu-ibu dari GKI. 

"Sampun nedo?" tanyaku.
"Sampun," ujar salah satu dari mereka pelan. 

Aku tahu ia tidak sepenuhnya jujur. 
Aku terus mempersuasi mereka untuk mau mengambil makanan. Mereka masih malu-malu dan terlihat takut. 

Aku begitu bernafsu "memaksa," mereka berani ekspresif atas rasa laparnya. Aku tahu betul rasanya. Sungguh.

Negoisasi begitu cukup alot. Aku tiba-tiba bersuara agak keras.

"Ibu-ibu, jangan kuatir. Makanan ini nggak ada babinya kok. Nggak bakalan jadi Kristen setelah mengambil makanan dan minuman di meja itu,"

Sontak mereka tertawa, termasuk para pengurus gereja. 

Guyonanku pelan-pelan mencairkan suasana. Beberapa orang mulai mau mengambil makanan. Beberapa lagi masih keukeuh mengaku tidak lapar.

Aku lalu mengambil nasi bungkus dan nasi kotak serta air mineral, memberikan kepada yang tadi mengaku tidak lapar. Eh, diterima. 

Suasana begitu akrab. Beberapa ibu GKI menghampiri mereka. Menemani ngobrol di atas karpet. 

Tiba-tiba ada lelaki pakai sarung dan tas. Masuk ke posko. Di punggungnya terpasang tongkat dan bendera NU.

"Mau kopi atau teh, mas?" tanyaku.
"Nganu, mau ikut pipis," ujarnya sembari tingak-tinguk menahan sesuatu.

Aku lalu tunjukkan toilet posko. Toilet tersebut sering aku gunakan saat berkunjung ke GKI. 

Dalam momen #1AbadNU, banyak orang melayani acara ini, dengan berbagai cara yang berbeda. Aku dan Fathur memilih cara yang sederhana saja. Cara yang menurut kami akan memberikan impresi berbeda bagi sebagian kecil para tamu acara.

Kelak, mereka yang memilih beristirahat di posko milik gereja akan memiliki cerita tersendiri. Cerita ini pastinya akan disebarkan ke lingkaran mereka. 

Aku membayangkan setiap kali mereka bertemu dengan orang Islam yang menarasikan miring terkait gereja, sangat mungkin mereka akan menepisnya dengan argumentasi historis pengalaman personal ini. "Kata siapa gereja menakutkan? Aku lho pas acara NU tinggal di gereja, diperlakukan dengan baik,"

Sikap tidak menutup diri seperti ini tak ayal akan menyumbang pendewasaaan warga NU dalam bernegara. Survei SMRC menunjukkan NU memiliki modalitas pluralisme cukup besar. 

Sebanyak 57% warganya tidak setuju umat Islam (kelompok mayoritas) mendapat privilege (perlakuan lebih baik) ketimbang minoritas. Juga, sekitar 58% mereka tidak setuju sila pertama Pancasila harus dipahami "hanya sesuai dengan yang diyakini orang Islam,"

Pengalaman personal berinteraksi akan membentuk sikap komunitas. Begitu juga yang akan terjadi saat para tamu posko GKI pulang ke rumah dan komunitas mereka.

Mereka akan pulang membawa seluruh pengalaman selama di Sidoarjo. Tak ada argumentasi paling sahih selain pengalaman personal yang dialami masing-masing orang.

Persis seperti pengalamanku pertama kali menjajal catwalk di perempatan besar CiPlaz.(*)


Friday, February 3, 2023

DITOLAK MK, KAWIN BEDA AGAMA TETAP BISA. BEGINI CARANYA.


Banyak pihak berpikir perkawinan beda agama (PBA) tidak bisa dilakukan di Indonesia pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 24/PUU-XX/2022. Pandangan ini, menurutku, salah kaprah dan keliru. PBA tetap bisa dilakukan. Seperti sedia kala.

Ramos, warga Papua, mengajukan uji materiil UU 1/74 tentang Perkawinan. Menurutnya, UU ini dianggap menghalangi hak konstitusinya untuk mempersunting pasangannya yang berbeda agama. Ia meminta MK menggunakan kewenangannya  untuk mengatakan UU 1/74 bertentangan dengan UUD 1945. 

Sayangnya, MK berpandangan lain. Institusi ini tidak menganggap UU 1/74 bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pandangan MK, sah dan tidaknya perkawinan bukan menjadi domain Negara namun institusi keagamaan. Negara hanya "sekedar" mencatat peristiwa perkawinan yang telah dianggap sah oleh institusi keagamaan. 

Dengan demikian, sepanjang ada institusi keagamaan yang dapat mengesahkan PBA maka negara akan mencatat dan menerbitkan akta/surat perkawinan. 

MK hanya melakukan tugasnya seperti yang sudah biasa dilakukan dalam 9 kasus serupa ; memutuskan untuk menolak uji materiil UU 1/74. Intitusi ini tidak memutuskan PBA dilarang di Indonesia. PBA tetap bisa dilakukan di Indonesia, seperti biasanya. Pencatatan administratifnya dilakukan oleh Catatan Sipil yang ada di kabupaten/kota.  

Supaya lebih memperjelas, marilah kita simulasikan dalam sebuah ilustrasi.

Kevin, Katolik, Jakarta, ingin menikahi Zulaikha, Jombang, Islam. Keduanya berkeinginan tetap memeluk agamanya masing-masing. Kolom agama di KTP tetap Katolik dan Islam. Bisa? Tentu bisa.

Pengesahan perkawinan mereka berdua diawali dengan pemberkatan perkawinan di lingkungan gereja Katolik yang memang memungkinan untuk itu. Setelah diberkati/disahkan oleh gereja, keduanya akan mendapat surat pemberkatan dari gereja. 

Bagaimana jika Kevin pemeluk Kristen Protestan? Ia bisa menanyakan ke gerejanya apakah dapat melayani PBA. Jika tidak bisa melayani, ia bisa menghubungi  denominasi Protestan yang bisa melayani PBA, misalnya sebagian GKJ, GKI, GKP, GKN, dan denominasi lainnya. 

Berbekal surat ini beserta dokumen lain seperti KTP dan KK, keduanya menulis surat permohonan penetapan perkawinan, ditujukan ke ketua Pengadilan Negeri di mana perkawinan akan dicatatkan, bisa di Jakarta atau Jombang. 

Surat permohonan ini setidaknya memuat tiga hal; permohonan agar perkawinan dianggap sah; permohonan agar hakim memerintahkan Dukcapil mencatat perkawinan tersebut, dan; membebankan biaya perkara kepada pemohon. 

Yang perlu diingat, jangan pernah memasukkan permohonan penetapan perkawinan ke PN SEBELUM mengantongi surat pemberkatan dari gereja. Kecuali jika keduanya memang ingin "kalah," di pengadilan.

Untuk kepentingan ini, pasangan bisa mengurus secara mandiri atau menggunakan jasa pengacara. Banyak pasangan yang melakukan pengurusan secara mandiri. 

Dalam beberapa kasus, ada oknum di PN yang menyatakan PBA tidak bisa dilakukan. Jika menemui hal seperti ini, jangan percaya. 

Oknum tersebut hanya menakut--nakuti saja. PN tidak akan mungkin berani membuat surat resmi yang berisi penolakan tersebut. Sebab, hal tersebut tidak ada dasar hukumnya. 

Setelah berkas dimasukkan ke PN dan dianggap lengkap, proses sidang penetapan akan dilangsungkan. Biasanya berjalan cepat dan tidak bertele-tele. Hakim biasanya akan mengabulkan tiga permohonan di atas.

Setelah itu, pasangan bisa membawa surat penetapan dari PN tersebut ke Dukcapil agar diterbitkan surat/akta perkawinan. 

** 
Jika ini adalah permainan catur antara kelompok pro dan kontra PBA, maka penolakan MK atas legalisasi PBA bisa dikatakan adalah draw/remis. Status quo. Tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah. 

Namun yang paling penting, setiap orang memiliki hak konstitusional untuk menciptakan keluarga dengan orang yang ia cintai, sungguhpun berbeda agama/keyakinan. Putusan MK atas permohonan Ramos tidak mencabut hak tersebut. Sekali lagi; tidak dicabut.

Maka, meski terus-menerus mendapat tekanan dari kelompok kontra yang senantiasa terobsesi menyucikan dirinya, siapapun masih dapat melakukan PBA di Indonesia, secara sah, tercatat dan murah.(*)