Tidak seperti kawan-kawanku lainnya, saat di Sidoarjo kemarin siang, Selasa (7/2), aku tak sempat berfoto dengan para elit NU atau negeri ini. Mereka sudah pada balik ke Jakarta.
Selain itu, aku memang mencukupkan diriku menikmati hal-hal ringan selama bergabung dengan ratusan ribu jemaat NU di #1AbadNU.
Contohnya saat aku di posko GKI Sidoarjo. Aku membantu panitia lokal gereja menjadi among tamu sementara.
Begitu banyak peserta acara lalu lalang di depan posko. Kebanyakan berhenti sebentar, melihat ke atas, dan mereka tahu kalau posko itu adalah gereja.
"Monggo bapak ibu, ngasoh dulu. Ada toilet, nasi, snack, teh, kopi, air mineral. Semua gratis," ujarku berseru. Persis marketing tenant di bandara, berusaha menarik sebanyak mungkin pengunjung.
Sayangnya, belum banyak yang terjaring, hingga serombongan ibu-ibu berpakaian putih masuk ke halaman dan langsung duduk di karpet menghadap screen besar. Posko ini memang melengkapi dirinya dengan live streaming acara dari Youtube.
Aku dekati mereka, melihat wajahnya dari dekat. Seperti wajah orang yang butuh asupan makan namun sungkan jika langsung mengambil makanan di meja. Memang, semua makanan dijaga dengan ketat oleh ibu-ibu dari GKI.
"Sampun nedo?" tanyaku.
"Sampun," ujar salah satu dari mereka pelan.
Aku tahu ia tidak sepenuhnya jujur.
Aku terus mempersuasi mereka untuk mau mengambil makanan. Mereka masih malu-malu dan terlihat takut.
Aku begitu bernafsu "memaksa," mereka berani ekspresif atas rasa laparnya. Aku tahu betul rasanya. Sungguh.
Negoisasi begitu cukup alot. Aku tiba-tiba bersuara agak keras.
"Ibu-ibu, jangan kuatir. Makanan ini nggak ada babinya kok. Nggak bakalan jadi Kristen setelah mengambil makanan dan minuman di meja itu,"
Sontak mereka tertawa, termasuk para pengurus gereja.
Guyonanku pelan-pelan mencairkan suasana. Beberapa orang mulai mau mengambil makanan. Beberapa lagi masih keukeuh mengaku tidak lapar.
Aku lalu mengambil nasi bungkus dan nasi kotak serta air mineral, memberikan kepada yang tadi mengaku tidak lapar. Eh, diterima.
Suasana begitu akrab. Beberapa ibu GKI menghampiri mereka. Menemani ngobrol di atas karpet.
Tiba-tiba ada lelaki pakai sarung dan tas. Masuk ke posko. Di punggungnya terpasang tongkat dan bendera NU.
"Mau kopi atau teh, mas?" tanyaku.
"Nganu, mau ikut pipis," ujarnya sembari tingak-tinguk menahan sesuatu.
Aku lalu tunjukkan toilet posko. Toilet tersebut sering aku gunakan saat berkunjung ke GKI.
Dalam momen #1AbadNU, banyak orang melayani acara ini, dengan berbagai cara yang berbeda. Aku dan Fathur memilih cara yang sederhana saja. Cara yang menurut kami akan memberikan impresi berbeda bagi sebagian kecil para tamu acara.
Kelak, mereka yang memilih beristirahat di posko milik gereja akan memiliki cerita tersendiri. Cerita ini pastinya akan disebarkan ke lingkaran mereka.
Aku membayangkan setiap kali mereka bertemu dengan orang Islam yang menarasikan miring terkait gereja, sangat mungkin mereka akan menepisnya dengan argumentasi historis pengalaman personal ini. "Kata siapa gereja menakutkan? Aku lho pas acara NU tinggal di gereja, diperlakukan dengan baik,"
Sikap tidak menutup diri seperti ini tak ayal akan menyumbang pendewasaaan warga NU dalam bernegara. Survei SMRC menunjukkan NU memiliki modalitas pluralisme cukup besar.
Sebanyak 57% warganya tidak setuju umat Islam (kelompok mayoritas) mendapat privilege (perlakuan lebih baik) ketimbang minoritas. Juga, sekitar 58% mereka tidak setuju sila pertama Pancasila harus dipahami "hanya sesuai dengan yang diyakini orang Islam,"
Pengalaman personal berinteraksi akan membentuk sikap komunitas. Begitu juga yang akan terjadi saat para tamu posko GKI pulang ke rumah dan komunitas mereka.
Mereka akan pulang membawa seluruh pengalaman selama di Sidoarjo. Tak ada argumentasi paling sahih selain pengalaman personal yang dialami masing-masing orang.
Persis seperti pengalamanku pertama kali menjajal catwalk di perempatan besar CiPlaz.(*)
Sumber: Facebook Aan Anshori