Ramos, warga Papua, mengajukan uji materiil UU 1/74 tentang Perkawinan. Menurutnya, UU ini dianggap menghalangi hak konstitusinya untuk mempersunting pasangannya yang berbeda agama. Ia meminta MK menggunakan kewenangannya untuk mengatakan UU 1/74 bertentangan dengan UUD 1945.
Sayangnya, MK berpandangan lain. Institusi ini tidak menganggap UU 1/74 bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pandangan MK, sah dan tidaknya perkawinan bukan menjadi domain Negara namun institusi keagamaan. Negara hanya "sekedar" mencatat peristiwa perkawinan yang telah dianggap sah oleh institusi keagamaan.
Dengan demikian, sepanjang ada institusi keagamaan yang dapat mengesahkan PBA maka negara akan mencatat dan menerbitkan akta/surat perkawinan.
MK hanya melakukan tugasnya seperti yang sudah biasa dilakukan dalam 9 kasus serupa ; memutuskan untuk menolak uji materiil UU 1/74. Intitusi ini tidak memutuskan PBA dilarang di Indonesia. PBA tetap bisa dilakukan di Indonesia, seperti biasanya. Pencatatan administratifnya dilakukan oleh Catatan Sipil yang ada di kabupaten/kota.
Supaya lebih memperjelas, marilah kita simulasikan dalam sebuah ilustrasi.
Kevin, Katolik, Jakarta, ingin menikahi Zulaikha, Jombang, Islam. Keduanya berkeinginan tetap memeluk agamanya masing-masing. Kolom agama di KTP tetap Katolik dan Islam. Bisa? Tentu bisa.
Pengesahan perkawinan mereka berdua diawali dengan pemberkatan perkawinan di lingkungan gereja Katolik yang memang memungkinan untuk itu. Setelah diberkati/disahkan oleh gereja, keduanya akan mendapat surat pemberkatan dari gereja.
Bagaimana jika Kevin pemeluk Kristen Protestan? Ia bisa menanyakan ke gerejanya apakah dapat melayani PBA. Jika tidak bisa melayani, ia bisa menghubungi denominasi Protestan yang bisa melayani PBA, misalnya sebagian GKJ, GKI, GKP, GKN, dan denominasi lainnya.
Berbekal surat ini beserta dokumen lain seperti KTP dan KK, keduanya menulis surat permohonan penetapan perkawinan, ditujukan ke ketua Pengadilan Negeri di mana perkawinan akan dicatatkan, bisa di Jakarta atau Jombang.
Surat permohonan ini setidaknya memuat tiga hal; permohonan agar perkawinan dianggap sah; permohonan agar hakim memerintahkan Dukcapil mencatat perkawinan tersebut, dan; membebankan biaya perkara kepada pemohon.
Yang perlu diingat, jangan pernah memasukkan permohonan penetapan perkawinan ke PN SEBELUM mengantongi surat pemberkatan dari gereja. Kecuali jika keduanya memang ingin "kalah," di pengadilan.
Untuk kepentingan ini, pasangan bisa mengurus secara mandiri atau menggunakan jasa pengacara. Banyak pasangan yang melakukan pengurusan secara mandiri.
Dalam beberapa kasus, ada oknum di PN yang menyatakan PBA tidak bisa dilakukan. Jika menemui hal seperti ini, jangan percaya.
Oknum tersebut hanya menakut--nakuti saja. PN tidak akan mungkin berani membuat surat resmi yang berisi penolakan tersebut. Sebab, hal tersebut tidak ada dasar hukumnya.
Setelah berkas dimasukkan ke PN dan dianggap lengkap, proses sidang penetapan akan dilangsungkan. Biasanya berjalan cepat dan tidak bertele-tele. Hakim biasanya akan mengabulkan tiga permohonan di atas.
Setelah itu, pasangan bisa membawa surat penetapan dari PN tersebut ke Dukcapil agar diterbitkan surat/akta perkawinan.
**
Jika ini adalah permainan catur antara kelompok pro dan kontra PBA, maka penolakan MK atas legalisasi PBA bisa dikatakan adalah draw/remis. Status quo. Tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah.
Namun yang paling penting, setiap orang memiliki hak konstitusional untuk menciptakan keluarga dengan orang yang ia cintai, sungguhpun berbeda agama/keyakinan. Putusan MK atas permohonan Ramos tidak mencabut hak tersebut. Sekali lagi; tidak dicabut.
Maka, meski terus-menerus mendapat tekanan dari kelompok kontra yang senantiasa terobsesi menyucikan dirinya, siapapun masih dapat melakukan PBA di Indonesia, secara sah, tercatat dan murah.(*)
No comments:
Post a Comment