Ada tiga acara dalam hari itu, saling sambung menyambung. Pertama, talkshow "Trinitas, Gereja dan Harmoni Lintas Agama," dengan dua narasumber, Pdt. Dr. Izak Lattu, dekan Teologi Satya Wacana, dan aku.
Dengan sangat brilian, Mas Izak mengupas bagaimana teologi monoteisme-trinitarian bisa menjadi basis fundamental melawan praktek intoleransi.
Penjelasannya terang benderang. Sarat dengan referensi akademis maupun praktis. Presentasinya bisa dinikmati di https://youtube.com/live/qpEEP2EQhpo?si=EnSIkaIECMiOmarE mulai menit 1:28:58.
Aku tidak bisa menyangkal pemaparannya. Sebab berdasarkan data, hampir semua pengikut Yesus aliran monoteisme-trinitarian yang belajar di semua kampus memiliki tingkat toleransi sangat tinggi. Survei PPIM UIN Jakarta dua tahun lalu menyatakan itu.
Sebaliknya, mahasiswa/i beragama Islam justru terpuruk, kadar toleransinya sangat rendah. Lebih-lebih saat mereka merespon kehadiran kekristenan aliran trinitarian.
Kenapa bisa demikian? Aku mencoba mengurainya dalam durasi sekitar 30-40 menit. Bisa disimak https://youtube.com/live/qpEEP2EQhpo?si=EnSIkaIECMiOmarE mulai menit 48:55.
Pemaparan kami berdua mendapat respon menarik, tidak hanya dari kalangan Kristen namun juga Islam https://youtube.com/live/qpEEP2EQhpo?si=EnSIkaIECMiOmarE (menit 2:12:12). Pada acara tersebut ada sekitar 8 orang perempuan berjilbab yang mengikuti acara. Mereka datang dari komunitas Nahdlatul Ulama Sragen.
Hampir semua dari mereka mengaku baru pertama kali ini masuk gereja. Pengalaman ini menyisakan kesan tersendiri bagi mereka, khususnya pengalaman imani.
"Sempat deg-degan juga pas pertama kali masuk dan duduk di kursi depan mimbar," ujar salah satu dari mereka kepadaku.
Setelah makan siang, peserta diajak belajar tentang enterpreneurship oleh Pdt. Saryoto dari Magelang. Dia juga mengajak kami belajar langsung membuat sabun dan eco enzym. Kami semua maju ke depan menyimak pemaparannya, https://youtube.com/live/wnDlmxLlXl0?si=EnSIkaIECMiOmarE (menit 57:16)
Melihat antusiasme mereka terutama perempuan berjilbab, aku merasa senang. Mereka tak lagi canggung masuk gereja dan berinteraksi dengan warga jemaat.
Kami semua menutup acara dengan peneguhan komitmen, membentuk dan memperkuat komunitas GUSDURian Sukowati, nama lain dari Sragen. Deklarasinya berjalan secara spontan.
Aku minta semua hadirin berdiri depan mimbar. Beberapa orang aku undang menyatakan harapannya secara singkat sebelum akhirnya kami menguncinya dengan melantunkan bersama Bagimu Negeri https://youtube.com/live/wnDlmxLlXl0?si=EnSIkaIECMiOmarE (menit 1:18:23).
Setelah itu, kami menyempurnakan perjumpaan kami dengan menembangkan lagu Endahing Paseduluran. Lalu kami keluar gereja bersama, melepas dua ekor burung merpati putih, simbol sukacita dan komitmen kami.
"Mas, orang Islam itu kalau sudah mau masuk gereja dan makan minum hidangan yang disediakan gereja, insyaalloh tidak akan intoleran," ujarku pada Pdt. Gunawan dan Lupie, istrinya.
Lupie juga sempat berdialog dengan para perempuan berjilbab tadi, dan mendapatkan pengakuan serupa; pengakuan pengalaman pertama kali masuk gereja. Aku minta dia mau menuliskan pengalaman perjumpaan tersebut.
Selama di Sragen, aku ditampung di rumah dinas (pastori) mereka. Mereka hidup bersama putrinya, Kinan. Si sulung tinggal dan bersekolah di Purwokerto.
Aku juga bertemu dengan kawan lamaku, Dimas dan ibunya, cik Naniek, satu-satunya anggota DPRD Sragen beretnis Tionghoa. Rasanya senang sekali selama di Sragen.
"Aku muleh sik, mas. Matur nuwun. Nitip GUSDURian Sragen," ujarku pada Pdt. Wawan dan keluarganya di Stasiun. Badan terasa remuk redam kecapean.(*)
Sumber: Facebook