Aku selalu berusaha berpikir lebih maju, menembus batas normatifitas. Batas akan selalu aku geser menjadi lebih maju. Namun, aku sadar, tidak selamanya publik menerimanya. Tak mengapa.
Seingatku, Gus Dur rasanya pernah bilang; jika ingin perubahan, jangan tunduk pada realitas. Alih-alih, kita harus berani menciptakan realitas baru.
Dulu aku pernah menyatakan; jangan ngaku ganteng atau cantik paripurna jika belum pernah disukai orang berorientasi seksual non-hetero.
Kalau kamu hanya disukai secara seksual oleh sesama etnis; sesama agama; sesama suku --menurutku peringkat keseksianmu biasa-biasa saja. Berbeda, jika yang antri mendapatkan cintamu orang-orang yang berbeda etnis, suku, agama dan ras. Keseksianmu bisa dibilang agak di atas rata-rata. Mungkin.
Begitu juga jika kamu mendapatkan ucapan perayaan hanya dari sesama agama saja maka, menurutku, itu hal yang wajar, normatif, sudah selayaknya. Berbeda halnya jika kamu mendapatkan ucapan tersebut dari pemeluk agama lain.
Ini yang aku yakini sebagai sesuatu yang progresif; selangkah lebih maju. Istilah dalam Islam; ihsan --berbuat lebih baik.
"Mas, ayo ke pesarean," ajak imbrutku Amiroh.
Yang ia maksud adalah pesarean ayahnya, mertuaku. Beliau meninggal hari Sabtu, tepat sehari setelah kami akad nikah, 21 tahun lalu. Kami membaca yasin dan tahlil secara mandiri. Untuk doa, aku yang pimpin.
Oh ya, aku tak selalu memimpin doa dalam keluarga. Setiap kali tarawih di rumah, pasanganku yang memimpin doa tarawih dan witir. Aku mengamini saja.
"Gus, kami otw dari kiai Arif di Dukun," pesan dari Pdt. Lantika masuk ke handphoneku. Kami sudah janjian bertemu di rumahku.
Ia datang bersama 7 orang. Semuanya GKJW. Gabungan dari GKJW Gresik dan GKJW Menganti.
Siang tadi, cuaca begitu terik. Matahari terasa lebih kejam dari biasanya. Aku melihat muka mereka lelah sekali.
"Hayuk makan dulu, sudah aku siapkan bakso. Pengennya sih bakso B2 tapi nggak ada yang jual di sini," selorohku.
Mereka tertawa terbahak-bahak sambil saling menatap satu dengan yang lain. Mungkin sembari mbatin, "Ancen wong gendeng,"
Aku sendiri memilih memperhatikan mereka. Tidak ikut makan karena sedang pantang.
Mereka lahap sekali makannya. Segera aku ke dapur, mengambil magiccom berisi nasi, mempersilahkan mereka menyantapnya bersama bakso.
Kami ngobrol ngalor-ngidul seputar banyak hal, terutama terkait gereja mereka. Aku selalu kepo dengan kondisi mereka. Maksudku, jika aku selalu nyaman beribadah, aku juga ingin mereka merasakan hal serupa.
Dari Pdt. Lantika, aku tahu GKJW Menganti relatif bisa beribadah dengan tenang dan nyaman, meskipun belum bisa memasang papan nama, apalagi salib.
"Kami di perumahan, gus. Jemaat kami makin bertambah," ujarnya.
"Harusnya segera direnovasi biar jemaat nyaman beribadah," ujarku normatif.
Dia tertawa getir sembari menceritakan pengalaman gereja tersebut saat mengurus perijinan. Daftar tanda-tangan 60-90 yang asli raib entah ke mana setelah diserahkan ke oknum aparat desa.
"Kapan-kapan aku main ke tempatmu ya," kataku pada Pdt. Lantika.
Aku kemudian memberikan saran-saran, sembari memapar contoh yang pernah dilakukan kawan-kawan GDian Jombang dalam kasus serupa.
Saran-saran juga aku berikan kepada Pdt. Daniel yang kini melayani di GKJW Gresik, menggantikan mbak Pdt. Arie. Dalam waktu dekat, gerejanya akan mengadakan kupatan bersama GDian Gresik.
"Nanti mbak Khosyiah yang bawa lontong dan kupatnya. Kami sediakan sayur dan lauknya," ujar mbak Erlynna, salah satu warga GKJW Gresik yang ikut dalam rombongan tersebut.
Setelah kenyang, mereka pamit. Namun aku buru-buru mencegah mereka.
"Aku minta doanya ya sebelum pulang. Siapa yang akan pimpin?" tanyaku.
"Vikaris (calon pendeta) Dolar aja, Gus," kata Pdt. Lantika sembari menunjuk Dolar --panggilan dari Sung Sabda Gumelar. Aku tahu Lantika sedang menguji Dolar --apakah ia sudah layak jadi pendeta atau belum.
Dolar merapal mantranya dalam bahasa Jawa. Aku sampai tersengal-sengal berusaha mengunyah diksi-diksi yang ia gunakan, saking tingginya.
Terima kasih sudah mengunjungiku!(*)
Sumber: Facebook Aan Anshori
No comments:
Post a Comment