Di kampusku Ciputra, tidak ada Fakultas Hukum. Entah kenapa. Mungkin 5 tahun lagi baru ada.
Namun pagi kemarin, Jumat (5/5), aku bereksperimentasi, mencoba mengajak mahasiswa/i matakuliahku "Becoming Indonesia," berselancar tipis ke dunia hukum.
Aku meminta mereka membaca putusan/penetapan PN Surabaya terkait perkawinan beda agama (PBA) yang diajukan Rizal Adikara dan E. Debora Sidauruk.
Pagi tadi mereka mendengarkan presentasi dua kelompok terkait asimilasi dan akulturasi melalui perkawinan beda agama/etnis. Mereka banyak memapar aspek sosial dan psikologis.
"Menurut saya, pak, sebaiknya ndak usah kawin beda agama. Berat," kata Zefnat, salah satu jurubicara. Wajahnya mendadak berkabut.
"Kenapa, Zef? Sepertinya ada yang ingin kamu ceritakan. Silahkan. Pengalamanmu akan sangat berguna bagi kelas ini," sahutku, mendorongnya.
Seperti sedang mengeluarkan beban yang sangat berat, anak ini menceritakan dinamika keluarganya. Ibunya berasal dari keluarga Islam, memutuskan berpindah agama mengikuti ayahnya.
"Kami bahagia, pak. Namun aku menyaksikan sendiri mami butuh 20 tahun untuk bisa diterima lagi keluarganya," suaranya berat.
Baginya, kawin bukanlah perkara sederhana. Tidak hanya penyatuan suami-istri namun tapi juga dua keluarga.
Mungkin itu sebabnya lelaki ini menafsirkan sila pertama tidak mendukung PBA dalam presentasinya. "Tuhan itu Esa. Ndak bisa dicampur-campur,"
Tafsir ini disanggah Janet, salah satu temannya. Ia berpandangan sebaliknya; sila tersebut justru mengakomodir semua agama dan bisa hidup bersama. Kawin-mawin. Aku kemudian mengambil kesempatan menjelaskan duduk perkara munculnya dua tafsir terkait sila pertama.
"Saya juga mau cerita, pak," sahut Justin.
"Silahkan,"
Justin menceritakan keluarga papanya, keluarga Khonghucu. Emaknya --nenek Justin-- begitu terpukul saat beberapa anaknya pindah Katolik dan melarangnya bersembahyang (a la Khong Hucu) saat anaknya yang Katolik meninggal.
"Kata romo kalau sudah Katolik ndak boleh disembahyangi. Mereka pindah Katolik karena saat itu lebih mudah memproses perkawinan," ujarnya.
"Menurutmu, kalau ada orang mendapat doa dari banyak agama, baik atau buruk?" tanyaku.
"Ya lebih baik, pak. Didoakan banyak orang kan makin bagus," ujar Justin.
Memang, obsesi menjadi yang paling murni, paling asli, paling suci merupakan akar persoalan munculnya intoleransi berbasis identitas. Tak terkecuali dalam perkawinan beda agama.
Obsesi ini, ibarat jamur kulit, akan tumbuh subur dalam komunitas yang masih mempertahankan kehidupan yang homogen. Semakin homogen, semakin kuat obsesinya.
"Pak, menurutku, dengan siapa orang mau kawin merupakan haknya. Kenapa dilarang? Mereka sudah dewasa tahu dampak positif dan negatifnya," ujar salah satu mahasiswi.
Pagi itu, kami sadar kelas telah berlangsung hampir 2 setengah jam. Kami larut dalam obrolan seputar pengalaman keluarga. Aku bercerita dua model perkawinan beda agama; Nadiem-Franka serta Soekemi-Nyoman Rai, orangtua Presiden Soekarno.
"Berbahagialah kalian yang memiliki pengalaman hidup berwarna-warni," ujarku sembari meminta Juan memimpin doa.
"Kawan-kawan, mari kita berdoa. Saya pimpin secara Katolik," ujarnya.
Kami pun khusuk mengamini secara daring.(*)
No comments:
Post a Comment