Pages

Tuesday, July 25, 2023

NASIB PERKAWINAN BEDA AGAMA SETELAH KELUARNYA SEMA


Banyak orang bertanya bagaimana nasib perkawinan beda agama (PBA) paskakeluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) kontroversial yang memerintahkan para hakim menolak permohonan PBA di pengadilan.

Nasib PBA di Indonesia makin babak belur. Jika sebelumnya kekuatan intoleran berhasil menekan banyak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) kabupaten/kota agar menolak permohonan PBA, kini jalur pengadilan pun ditutup. 

Betul, selama ini pengadilan negeri (PN) merupakan benteng terakhir keadilan bagi mereka yang ditolak Dukcapil. Tapi kini situasinya telah berubah. 

Kelompok intoleran terbukti berhasil membungkam pemerintah dan legislatif agar tidak membela hak konstitusional warganya yang ingin melakukan PBA. Lebih jauh, mereka juga sukses membuat MA bertekuk lutut menuruti keinginannya. 

SEMA a quo, bagaimanapun, bersifat legal namun pada saat bersamaan, menunjukkan arogansinya,  memberangus keadilan warganegara yang telah dijamin undang-undang. 

Secara hukum, PBA di Indonesia secara hukum masih bisa dilakukan. Tidak ada perubahan dalam UU Adminduk yang menjadi salah satu dasar hukum diperbolehkannya PBA. SEMA a quo merupakan upaya internal yang dilakukan ketua MA untuk mempengaruhi putusan semua hakim dalam mengadili permohonan. 

Padahal, setiap hakim memiliki kemerdekaan sekaligus kewenangan secara mandiri dan berkewajiban memutus setiap perkara secara adil. Artinya, secara teori, mereka tidak bisa diintervensi, apalagi oleh produk hukum yang jelas-jelas memberangus keadilan warganegara. Setiap hakim akan mempertanggungjawabkan putusannya secara mandiri kepada Tuhan. 

Dalam al-Quran, prinsip pertanggungjawaban mandiri jelas disebutkan dalam QS. 6:164; "wa la taziru waziratun wizra ukhra," Tuhan tidak akan meminta pertanggungjawaban kesalahan hakim kepada pihak lain, termasuk kepada ketua MA. Hakim akan bertanggung jawab secara mandiri. Personal.

Ditengah babak belurnya nasib PBA di Indonesia, aku melihat beberapa celah yang, meski sulit namun, tetap memungkinkan untuk dilakukan publik, termasuk pasangan beda agama. Pertama, mempersoalkan SEMA a quo agar tidak berlaku lagi. Caranya, bisa menggunakan jalur internal MA atau mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. 

Untuk langkah yang kedua tadi, meski tampaknya sangat sulit karena yang digugat merupakan produk hukum milik pihak yang memutuskan keadilan (vested interest) namun hal ini dimungkinkan dalam sistem hukum kita. Biarlah akal sehat dan nurani peradaban hukum Indonesia yang menilai sejauhmana pengadilan mampu bertindak adil. 

Kemungkinan langkah ini berhasil semakin tipis manakala kekuatan intoleran dalam kasus ini, secara realitas politik, didukung oleh mayoritas umat Islam yang berasal dari kalangan konservatif maupun moderat. Mereka adalah ceruk besar penentu kemenangan dalam politik elektoral tahun depan. Partai politik akan berpikir seribu kali seandainya kehilangan suara mereka.

Kedua, mengandaikan SEMA a quo tetap berlaku, pasangan PBA bisa tetap memilih melangsungkan perkawinannya seperti sediakala, tanpa menyamakan kolom KTP, dan mendaftarkannya ke Dukcapil. Di beberapa kabupaten/kota, masih ada Dukcapil merah-putih yang mau mencatatkan. Jika institusi ini menolak maka pasangan bisa melaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia. 

Secara bersamaan, pasangan bisa mendaftarkan permohonan tersebut ke PN setempat. Secara teoritik, tetap saja ada peluang permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim. Aku mempercayai masih cukup banyak hakim di MA yang berstatus merah-putih. 

Seandainya permohonan penetapan PBA ditolak PN berdasarkan SEMA a quo, pemohon bisa melaporkan hakim yang bersangkutan ke Komisi Yudisial (KY) dan Komnas HAM. Biarlah dua institusi ini yang berurusan dengan MA sesuai kewenangan yang diberikan undang-undang.

Namun demikian, jika pasangan PBA bertanya; untuk apa kita melawan MA padahal kita tahu nasib PBA kita tidak jelas status hukumnya, bukankah hal tersebut hanyalah kesia-siaan belaka? Maka, sikap menyerah sebelum bertanding seperti ini justru yang diharapkan kelompok intoleran. Kelompok ini akan berjuang sekeras mungkin merontokan moral perjuangan kita, sampai kita tunduk dan berhalusinasi keadaan seperti ini merupakan idealitas di Indonesia. Menyerah tanpa perlawanan adalah cita-cita mereka. 

Ketiga, melaksanakan PBA di luarnegeri. Cara ini memang bisa dilakukan. Hanya saja, yang perlu diingat, PBA luarnegeri tetap mensyaratkan pasangan untuk melaporkan dan mendaftarkannya ke Dukcapil setempat. Estimasi prosesnya bisa kembali merujuk pada poin kedua. 

Keempat, konversi agama/keyakinan secara temporer. Pasangan terlebih dahulu harus menyamakan kolom agama di KTP sebelum melangsungkan perkawinan. Setelah mendapatkan surat/akta perkawinan, salah satu dari pasangan kembali ke agama asal diikuti perubahan kolom agama di KTP. Cara ini meski kerap dituding sebagai "jalan munafik" namun tetap bisa dilakukan karena situasi hukum Indonesia berstatus "darurat" -- yakni situasi hukum yang telah direkayasa sedemikian rupa oleh sebagian kelompok sehingga keadilan menjadi terhambat. 

Konversi temporer masih mungkin dilakukan berpijak pada hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan. Kecuali, kedepannya, hak mengubah kolom agama di KTP ini akan dipersulit Dispendukcapi dan harus meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Itupun, jika Mahkamah Agung tidak mengeluarkan surat edaran baru yang berisi perintah bagi para hakim untuk menolak permohonan pindah agama, khususnya dari penganut agama Islam.

Perjuangan melawan SEMA a quo tidaklah semata-mata memperjuangkan keadilan. Lebih jauh, upaya ini merupakan kewajiban bagi kita semua dalam merawat keragaman bangsa, akal sehat dan nurani --jika tiga hal itu masih ada. (*)

No comments:

Post a Comment