Pages

Wednesday, July 26, 2023

WAYANGAN DAN PERKAWINAN PENGHAYAT


Jika tidak ada aral melintang, 5 Agustus nanti, akan ada wayangan. Penyelenggaranya adalah Persatuan Warga Kerokhanian Sapta Darma Kota Surabaya. 

Wayangan untuk memperingati acara Suroan ini mengambil judul "Wahyu Makutharama," dengan Dalang Ki Bambang Handoyo. Acaranya terbuka untuk umum, di Gedung Cak Durasim Surabaya. Silahkan hadir.

Sayangnya, aku menyesal tidak bisa datang. Tanggal itu aku ada di Parigi Moutong. 

Aku sangat bersyukur kawan-kawan Penghayat, salh satunya Sapta Darma, masih diberikan kekuatan merawat wayangan, kesenian agung Jawa yang telah lama diceraikan orang Islam-Jawa (santri). Wayangan dianggap bukan ajaran Islam, yang oleh karenanya, harus ditinggalkan. Sedih sekali. 

Awal Soeharto berkuasa, kelompok Islam --baik tradisional seperti NU maupun modernis seperti Masyumi-- mati-matian tidak menginginkan Aliran Kepercayaan (AP) naik status menjadi agama. 

Dalam pandangan mereka, jika status tersebut naik, maka jumlah orang Islam secara statistik dikuatirkan akan mengalami penurunan lumayan signifikan. Memang, banyak penganut AP yang menjadikan Islam sebagai agama formal, setidaknya dalam KTP.

Salah satu cara yang dilakukan kelompok Islam mengontrol situasi ini adalah melalui politik perkawinan. Kelompok Islam ngotot perkawinan sah hanya bisa dilakukan sesuai agama/kepercayaan. Agama yang diakui kala itu, menurut kelompok Islam, bukan termasuk AP. Artinya, pemeluk AP yang beragama Islam harus kawin dengan cara Islam. 

Penganut AP tentu tidak senang dengan model arogansi seperti ini, terutama dari  kelompok Islam. Mereka ingin perkawinannya dilaksanakan dengan ritual dan tatacara di lingkungan mereka sendiri. 

Salah satu AP yang melakukan perlawanan adalah Yayasan Pusat Srati Darma, berlokasi di Yogyakarta, Yayasan ini pernah mengawinkan penganut AP dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. 

Sayangnya, oleh mahkamah agung, September 1978, sertifikat perkawinan ini dilarang untuk disebarkan. Penyebabnya, Srati Darma dianggap tidak memiliki kewenangan membuat sertifikat perkawinan. Sikap Mahkamah Agung ini tentu saja atas desakan politisi Islam PPP yang ada di MPR.

Sebulan kemudian, Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara, mengirimkan surat kepada seluruh gubernur. Isinya AP tidak boleh melakukan perkawinan menurut kepercayaannya karena AP bukan agama.

Tahun 1981 Mahkamah Agung mengambil kebijakan lebih lunak. Institusi ini bersurat kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, menyatakan perkawinan beda agama (PBA) dan perkawinan AP bisa diakomodasi dalam regulasi perkawinan campur. 

Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya, para penghayat tetap saja mengalami kesulitan mendapatkan haknya untuk kawin menurut tatacara yang mereka kehendaki, sampai akhirnya Mahkamah Konstitusi membuat keputusan penting terkait AP pada 2016. 

Dengan kesabaran dan keteguhan berjuang, para Penghayat kini relatif memiliki kesamaan status diantara agama-agama lain di Indonesia, termasuk kemerdekaan melakukan perkawinan menurut keyakinannya. 

Tulisan ini aku persembahkan untuk mengenang dan menghormati perjuangan kawan-kawan Penghayat. 

Aan Anshori
Muslim-Jawa-Sunni yang tidak bisa baca-tulis aksara Jawa.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...