Aku punya setidaknya tiga nama. Nama pertama, Urip Santoso, nama Jawa --sebelum akhirnya "dikudeta" oleh nama berbau Arab dan diformalkan menjadi Mohammad Anshori. Sedangkan nama ketiga adalah nama panggung; Aan Anshori.
Selama ini Pdt. Selvi hanya mengenal nama panggungku. Namun saat membantuku beli tiket ia akhirnya tahu nama formalku, melalui KTP.
"Oooo, ada Mohammad-nya," katanya saat itu.
Aku pun maju ke depan, disaksikan ratusan orang yang baru saja selesai ibadah Minggu. Ibadah dilayani Pdt. Hendra. Aku mengikuti ibadah sejak awal, duduk barisan depan, di samping Pdt. Billy Bokay.
Sebagian besar warga GPID Pniel Mensung Parigi Moutong keturunan Bali. Mereka datang melalui program transmigrasi era Soeharto, sekitar tahun 70an.
Selama ibadah berlangsung aku kerap berdiskusi dengan Pdt. Billy, terutama untuk menanyakan hal-hal seputar prosedur dan isi ibadah. Tak terkecuali kenapa ada tiga kantong persembahan yang disodorkan kepada para jemaat, termasuk padaku.
"Mas, aku hanya masukin uang untuk satu kantong saja. Apakah tidak mengapa?" ujarku berbisik setelah melihat Pdt. Billy memasukkan tangannya ke dalam tiga kantong secara bergantian. Dia hanya tersenyum, kode untuk menenangkanku.
Ibadah tersebut merupakan "sesi" terakhir dari rangkaian acaraku di gereja tersebut. Dua hari sebelumnya, 4-5 Agustus, aku mengisi latihan kepemimpinan dasar bagi para remaja gereja tersebut. Semua berjalan lancar.
Selain aku, ada dua lagi fasilitator; Pdt. Billy dan Hendra, dosen humaniora dari UKDW Yogyakarta. Kami bahu-membahu mendorong pemuda gereja lebih memahami aspek mendasar terkait kepemimpinan gerejawi.
Saat malam keakraban di hari pertama, Jumat, aku "dibombardir" para peserta dengan pertanyaan menyangkut keislaman, khususnya kenapa wajah Islam Indonesia begitu masam pada kekristenan.
Aku berusaha menjelaskan sesederhana mungkin dua hipotesisku; terkait sejarah terbentuknya kristologi Islam dan pengalaman relasi Islam-Kristen Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan.
"Tapi, Gus, aku kok merasa masih ada ganjalan ya. Bukannya aku tidak mengerti yang Gus Aan jelaskan. Namun gimana ya?" ujar Pdt. Selvi di meja makan pastori, setelah kami pulang malam itu.
"Terkait apa, kak?"
"Soal itu lho, kenapa kami begitu terasa dibenci. Aku merasa masih ada yang kurang," ujarnya, terlihat menyimpan ketidakpuasan.
Di meja makan malam itu, kami tidak sendirian. Seluruh fasilitator dan co-fasilitator kumpul. Begitu juga dengan anak-anak serta suami Pdt. Selvi, termasuk Pdt. Hendra yang dikawal Ravel, mahasiswa teologi semester akhir. Kami memang ngobrol banyak topik sembari menikmati makan malam.
"Apa mungkin karena persoalan penerimaan Muhammad, nabiku, di kalangan Kristen ya, kak?" ujarku mencoba menawarkan hipotesis lanjutan.
Di kalangan Islam, apapun sekte teologinya, ujarku, setiap orang diwajibkan mengimani --sekali lagi, mengimani, figur-figur penting utusan Tuhan selain Muhammad, tak terkecuali mengimani Yesus Kristus.
Bahkan, jika kekristenan memiliki pengakuan iman, begitu pula umat Islam. Percaya pada Muhammad dan figur-figur profetis sebelum masa Islam merupakan salah satu pondasi iman di kalangan Islam.
"Nah, sepanjang perjalananku di banyak gereja, baik Katolik dan Protestan, sangat jarang aku mendengar ada semacam apresiasi terhadap sosok nabiku. Entah kenapa,"ujarku meringis sembari mendedas ikan bakar.
"Bayangin, kak, bagaimana perasaan kami; diwajibkan mengakui sosok suci agama lain namun mereka terasa tidak mengakui sosok penting bagi kami. Ada semacam problem rekognisi," ujarku nyerocos.
Meja makan terasa lebih sepi. Gonggongan anjing tetangga terdengar bersahutan.
Yang tidak aku sangka, Pdt. Selvi kemudian menceritakan sebuah peristiwa. Ada satu pendeta, dalam sebuah kuliah umum, menyatakan dirinya membayangkan saat di surga nanti akan bertemu figur-figur penting perwakilan agama, seperti Sidhharta Buddha Gautama, Musa, Nabi KhongCu dan lainnya, termasuk Nabi Muhammad.
Rupanya, pernyataan pendeta tersebut, utamanya terkait nama yang disebut terakhir, memicu polemik di kalangan para pendeta. Dia keberatan saat diminta mendatangi satu per satu gereja untuk mengklarifikasi dan sekaligus mencabut pernyataan tersebut.
Pendeta tersebut bersikukuh dengan pendiriannya, tak mundur sedikitpun. Oleh karenanya, dia harus membayar mahal atas kekukuhannya. Dia kabarnya dikucilkan di lingkungan gerejanya.
Kata "Muhammad," yang diucapkan di kalangan Kristen ternyata sama seramnya dengan diksi "Yesus," jika diucapkan di lingkungan Islam.
Meski bisa jadi memiliki beban psikologis dan latarbelakangnya sendiri, dua diksi tersebut tidak boleh sembarangan diumbar, seperti halnya nama "Voldermort" dalam film Harry Potter.
"Mmm.. Namun aku sangat bisa memahami kok, kak, kenapa banyak gereja keberatan dengan nabiku. Mereka tidak bisa disalahkan. Citra nabiku sangat dipengaruhi oleh sepak terjang perilaku pengikutnya," ujarku mencoba menetralisir Pdt. Selvi
Di Indonesia, tambahku, tak terhitung berapa jumlah gereja mengalami kekerasan dari tidak sedikit orang Islam. Belum lagi, berbagai praktek diskriminasi, marjinalisasi, dan subordinasi diberlakukan pada pengikut Kristus.
"Aksi-reaksi-aksi-reaksi-aksi-reaksi-aksi-reaksi.. AKan terus seperti itu. Entah siapa yang memulai dan kemana ini akan berakhir," kataku tak kalah masygul.
Bagiku, praktek mata-dibalas-mata hanya akan membuat dunia terus menerus dikurung kegelapan. Buta.
Itu sebabnya, setiap pemeluk agama di Indonesia perlu mati-matian menahan diri dan, yang paling penting, mengedepankan sikap apresiatif.
Mengapresiasi diri sendiri DAN orang lain, menurut guru spiritualku, merupakan langkah pertama dalam perjalanan spiritualitas. Dengan demikian, memuja-muji agamanya sendiri setinggi langit bisa dikatakan merupakan separuh perjalanan dari langkah awal spiritualitas.
Bagiku, Islam dan Kristen sama-sama memiliki cara unik dalam mengapresiasi sosok Yesus. Sayangnya, cara kedua agama ini berbeda secara vis a vis.
Kekristen kukuh bagai karang dengan kristologi trinitariannya. Sedangkan Islam, sampai kiamat, akan terus menggunakan kristologi antitrinitarian -- Gnosis, Arian, Nestorian, Monofisit, Ebionit, dan sekte-sekte lain yang dilabeli "bidat" oleh Trinitarian. Ruwet.
"Sampai kita mampu untuk saling mengapresiasi, relasi Kristen-Islam rasanya akan jalan di tempat, bahkan bisa jadi mengalami kemunduran seperti di Indonesia," ujarku.
Saat malam keakraban, seorang anak muda, Jo --jika tidak salah, menceritakan masa lalunya. Ia kerap mendapat risakan dari teman-teman sekolahnya yang beragama islam.
"Katanya, gus, kenapa aku menyembah orang yang disalib, bukan Tuhan yang tidak seperti itu. Hatiku sakit sekali, gus," katanya di hadapan puluhan anak muda dan jemaat gereja.
"Sangat mungkin temanmu yang Islam tadi kurang memahami model bertuhanmu. Mereka melihat dari satu sisi yang tidak sepenuhnya salah namun tidaklah juga sepenuhnya benar," ujarku merespon.
Perlu diketahui, tambahku, hampir semua orang Islam tidak mendapatkan pengetahuan dasar seputar kekristenan, termasuk bagaimana kekristenan meyakini model ketuhanan Yesus. Padahal, pengetahuan adalah kunci bagi siapa saja untuk bisa bertoleransi.
"Aku mau bertanya pada kalian yang ada di sini. Apakah KTP ini Komang?" ujarku sembari mengangkat tinggi-tinggi KTP milik Komang.
"Tidaaaakkkk" kata sebagian besar peserta.
Menurut salah satu dari mereka KTP tersebut terbuat dari kertas. Sedangkan Komang terdiri dari daging dan dara. KTP tidak punya perasaan, tidak bisa menangis atau tertawa. Sebaliknya, Komang memiliki perasaan dan mampu menangis sekaligus tertawa.
"Betul sekali," kataku menimpali.
KTP, dengan demikian, adalah 100 persen kertas dan 0 persen Komang. Begitulah kira-kira cara pandang Islam terhadap pertanyaan apakah Yesus adalah Tuhan. Agamaku membuat pembedaan yang sangat tegas antara Tuhan dan Yesus.
"Namun cara pandang kalian atas KTP bukanlah satu-satunya," tambahku.
Ada kelompok yang berpandangan bahwa KTP tersebut 100 persen Komang dan 0 persen kertas. Bagi kelompok ini, yang tampak seperti kertas adalah halusinasi kita, tipuan mata, ilusi.
Itu sebabnya, kelompok ini, karena sangat mencintai Yesus, tidak bisa menerima kenyataan Yesus disalibkankan. Bagi mereka, penyaliban harus disangkal karena tidaklah masuk akal Yesus yang Tuhan menderita dan dihinakan.
Mereka berpandangan Yesus harus "diselamatkan" dari tragedi tersebut. Caranya? Dengan menyangkal apapun yang berkaitan dengan ke-manusia-an dan kedagingan Yesus.
Bagi mereka, Yesus adalah 100 persen Tuhan dan 0 persen manusia --persis seperti KTP yang 100 persen Komang dan 0 persen kertas.
Aku terus saja nyerocos di forum tersebut. Tak memedulikan lagi pakah mereka paham dengan penjelasanku yang mulai meliuk ke atas untuk ukuran mereka. Hampir semua peserta masih duduk di bangku SMA.
"Lalu muncullah pandangan ketiga atas KTP Komang. Pandangan ini berupaya mendamaikan dua kelompok yang berhadap-hadapan tadi," ujarku.
Menurut pandangan ketiga, KTP tersebut adalah 100 kertas dan 100 persen Komang. Pandangan ini tidak ingin terjebak pada pendekatan binerik. Alih-alih, ia sekuat tenaga mengakomodasi kedua pandangan pertama yang saling menegasikan.
Oleh pandangan ini, Yesus dianggap otentik dengan segenap atribut kemanusiaannya --lengkap dengan darah dan dagingnya. Sekaligus, ia juga diimani sebagai sepenuhnya Tuhan.
Tuhan yang awalnya beraroma abstrak dan tak terjamah telah diubah sedemikian dahsyatnya sebagai yang-konkrit nan tersentuh. Bagiku, pendekatan ketiga --meski tak lazim dalam belantara tradisi binerik-- terasa lebih menenangkan.
"Lalu, mana yang benar dari ketiganya?" ujarku menunggu jawaban dari peserta.
Bagiku, setiap dari ketiga pandangan menawarkan keunikan masing-masing. Ketiganya merupakan hasil ijtihad serius bersandarkan pada satu hal; kecintaan atas sosok Yesus.
"Jika kalian memilih pandangan ketiga, trinitarian, dan senyatanya pandangan itu telah mampu menjadikan kalian berpribadi Pancasilais maka yakini pandangan tersebut. Tidak perlu tergoda menyalahkan pandangan pertama dan kedua. Sebab, mungkin saja seseorang bisa Pancasilais melalui dua pandangan tadi," kataku.
Aku memaknai Pancasilais sebagai sifat ideal manusia Indonesia. Cirinya, semakin ia meyakini Tuhan YME semakin ia akan berpegang teguh pada kemanusiaan yang adil dan beradab untuk menjaga persatuan Indonesia dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kristen Pancasilais, maka, adalah model berkristen yang merujuk pada pemaknaan Pancasila sebagaimana di atas. Kekristenan, dan juga agama lain, perlu diselaraskan dengan Pancasila.
Sebab jika tidak, agama berpotensi terjerembab dalam kubangan obsesi ilahiah yang pelan-pelan akan meninggalkan kemanusiaan dan keadilan. Mungkin seperti yang terjadi di Indonesia.(*)
No comments:
Post a Comment